megamendungkelabu

Kamis, 08 September 2011

Ayahku dan siang hari yang panas.

Siang itu aku masih berdiri menatap langit yang berawan tebal. Ia Berwarna putih bagai gula-gula kapas yang dimuntahkan oleh cakrawala. Panasnya matahari tak membuat gula-gula kapas itu mencair, hanya bergerak perlahan saja memecah kebosanan. Saat itu semuanya bergerak, berpindah, dan dinamis. Hanya obrolan kecil antara aku dan ayahku saja yang enggan berpindah. Tak ada yg spesial sebenarnya, kala itu hanya terjadi perbincangan sederhana mengenai hidup dan impian. Suara ramai dan bisingnya motor tak dapat mengalihkan perhatianku yang tengah menatap wajah ayahku.

Dia berbicara pelan, sesekali termenung sejenak menatap langit biru, kemudian tertawa kecil sambil merapikan kemeja abu-abunya. Ayahku adalah sesosok pria yang menurutku nyentrik. Dia dari dulu sangat suka berdandan, memakai baju yang rapi, menyisir rambutnya dengan minyak, dan tentu saja menirukan siulan burung perkutut. Aku masih ingat ketika dia ribut mencari sikat gigi untuk mengecat rambutnya yang telah memutih. Sikat gigi usang kesayangannya yang kini telah hilang entah kemana, aku tertawa kecil jika teringat tingkah ayahku yang gembira melihat rambutnya hitam legam. Kegembiraan itu pertanda dia siap untuk berangkat menghadiri hajatan tetangga.
Rambut ayahku kali ini masih hitam, hanya saja tidak selebat yang dulu. Waktu sudah cukup lama berlalu. Aku tercenung Melihat wajahnya yang mulai menua, kumis tebal yang memutih, dan wajah yang semakin teduh.


Ternyata waktu terus berlalu tanpa ampun, mengantarkan semua hal menuju satu titik temu yang masih absurd untuk di pahami, waktu yang masih menjadi misteri. Walaupun seperti itu aku tidak perduli, kuacuhkan saja waktu yang berlalu, kudiamkan masa yang mengajakku tuk bercengkrama. Walau rambutnya tak selebat dulu, tangannya tak sekekar dahulu, dia tetap tak berubah. Dia adalah ayah yang nyentrik dengan sejuta kasih sayang buat anak-anaknya. Yeah dia ayah terhebat yang pernah kumiliki:)

Bogor, 10 Januari 2011

Label: