megamendungkelabu

Jumat, 02 Maret 2012

Si Marwan

aku memanggil orang itu dengan sebutan Si Marwan. Pemuda yang berasal dari Tanah Belitong tersebut saat ini tengah mengalami masa-masa paling tolol. Dia adalah mahasiswa rantau yang tengah berjuang di kota Surakarta, Berbekal minat akan tata ruang interior dan niat mulia untuk menjaga arsitektur rumah adat daerahnya, dia nekat mengambil jurusan Teknik di sebuah universitas swasta. Aku bertemu dia kemarin siang, seperti biasa dia meledek rambut kriboku yang makin panjang.


“Weeeey Boiiiiii, berantakan kali kau sekarang”
Si Marwan menunjuk rambutku sambil terkekeh-kekeh.

Aku diem, kemudian mengambil sebuah batu dan berkata “bang, kamu pernah di timpuk pake batu sebesar ini?”


“hahahaha… jangan marah gituu lah. Bercanda aku sekarang. Sini kau kita cerita-cerita dulu boi”
Si Marwan yang aneh.

Dia melepas helm berwarna hitam, Penampilannya kali ini dia sangat rapi, kemeja panjang berwarna krem, celana hitam dan tentu saja sepatu pantovel mengkilat . ditangannya dia memegang map berwarna biru muda, rambutnya klimis berkilau sedikit berantakan. Yah sekilas aku menebak, dia pasti sedang berusaha mencari pekerjaan untuk.


“tadi aku udah muter-muter di kota solo sampai mampus boi. Kau tau, jurusanku itu mahalnya minta ampun. Kalau aku tak cari pekerjaan sampingan, bisa celaka aku boi…”
dia berkata sambil meyeruput the jahe kegemarannya.

“hehehe di kostku banyak cucian kotor bang, mau kerja di kostku?” ujarku.

“gilaa. Apa kau kuat membayar aku? Marwan si lelaki sejati dari Belitong jauh-jauh cuman buat cuci baju. Bah, apa kata orang di kampungku nanti!!”
Aku tertawa kecil melihat dia berkacak pinggang di depanku, wajahnya terlihat sangat lucu dengan dialek khas Belitongnya. Dia adalah salah satu orang hebat di sekitarku, sangat hebat mengingat perjuangannya mempertahankan hidup di tanah yang jauh dari keluarga dan sanak saudara.


“aku mau cerita soal hidupku boi. Takutnya aku bisa gila kalau tak kuceritakan pada siapapun”
dia berkata dengan sangat pelan dengan melonggarkan dasi berwarna belang tersebut.

Sesekali aku menganggukan kepala dan mengalihkan pandanganku ke segala arah.

“boi, hidup itu cuman persoalan memilih dan menyikapi pilihan”, ceileh, temanya berat amat bang. Perasaan dari pertama mosting disini isinya cuman masalah hidup dan hidup doang, kapan kita bahas sesuatu yang lebih nyata, membahas Nikita Willy misalnya. Si Marwan akhirnya terdiam, dia memandang kelangit sejenak.


“dan tadi malam boi, Tuhan memberikanku suatu persoalan yang tidak sesederhana memilih dan menyikapi pilihan”
dia berkata lirih dan perlahan.


Dia akhirnya memuntahkan semua keluh kesahnya sore itu, aku terdiam dan membiarkan dia berbicara kemanapun dan tentang apapun. Malam itu adalah malam yang berat bagi seorang pemuda rantau bernama Marwan,gara-gara sepeda motornya sedang ngadat di bengkel, beberapa hari ini dia pergi kemanapun dengan berjalan kaki atau memanfaatkan angkutan umum.

Pukul 6 pagi dia berangkat dari kost, berganti angkutan umum, berjalan dari satu tempat ke tempat lain, kemudian memasuki berbagai kantor dinas mengajukan lamaran kerja, lalu dia berjalan lagi, berganti angkutan umum dan seperti itu terus hingga malam menjelang. Berbekal surat kabar terbaru itu, dia berniat untuk segera mendapatkan pekerjaan tetap agar bisa meneruskan kuliah di kota ini.


“kadang-kadang aku sering bengong di pendopo itu boi” dia menunjuk sebuah bangunan joglo ala rumah adat jawa yang khas, tempat itu memang sering menjadi tempat melepas lelah banyak orang. Suasana yang teduh sepertinya memang menjadi kelebihan pendopo tersebut. Apalagi kalau sore hari, banyak penjual camilan beraneka ragam disana. Makanan sederhana seperti cimol, cakue, hingga makanan berat sebangsa Bakso Malang, tahu kupat, mie ayam tersedia sepanjang hari menjelang petang. Ketika malam beranjak, biasanya semakin ramai dengan wedangan khas Solo di samping joglo sebelah barat.


Si Marwan malam itu sepertinya mengalami malam paling payah sedunia. Problemantika ala mahasiswa rantau mencapai titik paling klimaks, dua minggu lagi dia harus membayar SPP, tunggakan kamar kost, dan kegagalannya mencari pekerjaan menjadi momok beberapa hari yang lalu.

“aku sampai trauma dengan hape ini boi” sambil memperlihatkan hape nokia berwarna hitam kusam.

“setiap kali ada sms masuk, aku ketakutan setengah mati. Pikiranku berasumsi banyak hal boi. Uang kostlah, spp lah, penolakan joblah, pernah sekali hape ini aku banting boi” sambungnya dengan menyeruput teh hangat yang kian mendingin. Aku paham apa yang dia bicarakan, sebuah kisah yang sering kualami, sebuah cerita yang sering di rasakan banyak anak rantau.


“makanya hape ini sering aku non aktifkan boi, setidaknya hari ini aku bias focus terhadap apa yang aku ingin lakukan. Walau mungkin bakal terlihat menyebalkan untuk orang lain”
ujarnya.


Suasana sore itu cukup menyenangkan, bau tanah yang basah, suasana dingin usai hujan yang sering aku nantikan. Hujan tadi malam mengguyur kota solo tanpa ampun, kata temanku waktu SD, hujan adalah air mata dari tangisan Tuhan, dia menangisi para manusia di dunia yang telah kejam merusak alam yang dia ciptakan sedemikian rupa. Namun sekarang mitos tentang tangisan hujan itu telah berubah menjadi sekelumit teoari tentang siklus air yang mengalami penguapan dan mengendap di awan dan berubah menajdi hujan. Yah, ketika kalian beranjak dewasa berbagai mitos dan dongeng itu akan lenyap seiring bertambah ‘pintar’-nya kalian melogika tentang lingkungan sekitar.bahkan andaikata teman SD-ku itu aku ceritakan lagi tentang kisah air mata Tuhan, mungkin dia akan mencibir kemudian menganggapku gila.

“tadi malam boi aku terjebak hujan disana, aku tidur beralaskan Koran dan sambil mendekap tas ini” tangannya menunjuk ke sebuah ruko berwarna coklat dengan etalase mewah dari kaca.

Aku kaget, tempat emperan itu hanya berukuran kira-kira 2 meter dari trotoar, jangankan untuk tidur, sekedar berdiri saja terlalu banyak cipratan air yang akan mengenai kalian.


“serius bang!!? Kau tak masuk angin sekarang!!?” aku tak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

“serius lah boi, buat apa aku dusta sama kau… ” hampir tiga jam dia tertidur di emperan , dia tahu bahwa tak mungkin bisa melawan hujan sederas itu. Ketika semuanya sudah mulai reda, Si Marwan segera bergegas pergi meninggalkan tempat itu dengan mengigil kedinginan, dia memasukkan semua dokumen-dokumen penting itu ke sebuah plastic hitam yang dia temukan di tempat sampah, setidaknya benda-benda semacam HP, Flash disk, dan note book itu tidak ikut terkena air hujan.


“Tuhan sedang berusaha mendinginkan kepalaku boi, dia menurunkan hujan, menyinggahkanku ketempat dimana aku bisa berinteraksi dengan dirinya melalui hujan. Rasanya absurd sekali boi. Malam itu hidup terlihat sangat menyebalkan”


Malam itu dia berusaha untuk tidak mengeluhkan semua hal. Menurutnya Tuhan sedang memberinya mata kuliah abadi yang bernama ‘ilmu hidup’. Dia segera saja berjalan meninggalkan trotoar dan pulang ke tempat kawannya,

Sebelum kami berpisah dia berkata dengan cukup serius “sekali lagi boi, hidup itu cuman persoalan memilih dan menyikapi pilihan Berusahalah agar kau bisa menikmati pilahan tersebut dan jangan sekali-kali menyesalinya ” dia segera berjalan menuju motor bebek yang tak jauh dari tempat kami bercerita, dia melambaikan tangannya dan lenyap di ujung tikungan. “duluan boi, kapan-kapan kita sambung lagi”.



Mujix
masa depan adalah sekarang
Solo, 02 Maret 2012

Label: