Burung Colibri
Burung Collibri
Aku memandang
kosong kearah jalanan di daerah Rumah Sakit Moewardi. Di sana banyak warung makan berjejer di
trotoar. Penjual sate ayam hingga wedang ronde berkumpul menambah suasana
riuhnya rumah sakit. Aku berhenti sejenak, memandang gedung rumah sakit itu
dengan tatapan nanar. Terkadang disaat seperti itulah aku sangat mensyukuri
anugrah yang bernama ‘kesehatan’. Malam ini aku sangat sehat sekali, terlalu
sehat hingga bisa berjalan menempuh 4 KM hanya numpang tidur di rumah teman. Beberapa jam berlalu, pergi dan menghilang
begitu saja, padahal berbagai masalah yang membuatku pusing masih banyak yang
belum terselesaikan. Udara dingin yang menyergapku kali inipun sepertinya sudah
menjadi kawan akrab. Beberapa jam lalu aku
berada di kampus. Beberapa jam yang sepertinya
diciptakan khusus dari Tuhan untuk memberiku mata kuliah tentang ‘banyak hal
yang tidak aku ketahui’ dan ‘banyak hal
yang tidak bisa aku ubah’.
***
Beberapa jam
yang lalu.
Cerita ini
dimulai pada suatu malam di sebuah tempat bernama perempatan lampu merah Sekarpace,
Solo. Aku berdiri di tempat itu selama setengah jam, dua kali di tolak bis
antar kota antar propinsi, dan dua jam sebelumnya sudah 4 kali panggilanku juga
ditolak takdir untuk bisa bertemu dosen pembimbing skripsi. Bah. Awal tahun
yang menyebalkan.
Perempatan lampu merah Sekarpace adalah tempat yang
seharusnya mudah menemukan Bis jurusan Solo-Jogja, Solo-Surabaya,
Solo-Karangnyar, dan Solo-Zimbabwe. Maaf,
opsi yang terakhir sepertinya fitnah. Aku belum pernah tuh menemukan bis dengan
kode Solo-Zimbabwe. Perempatan itu jaraknya tak terlalu jauh dari kampus 1 ISI
Surakarta, namun sangat jauh dari pusat kota Solo. Yah bisa dikatakan kampusku
memang terletak hampir di perbatasan kota.
Suasana malam kali
ini sangat romantis, apalagi setelah seharian hujan. Udara yang dingin
sepertinya membuat perempatan itu terlihat ramah dari biasanya. Seharian hujan
sebenarnya bukan alasan utama yang mendorongku untuk membuat postingan ini. Pokoknya
Ke-’gak-jelas’-an awal tahun ini memang jelas-jelas disebabkan ketidaktahuanku
tentang jadwal turunnya hujan hari ini. Hujan sialan itu sepertinya sudah
berkolaborasi dengan alam semesta untuk membuatku ngedrop.
Hujan yang turun
gak jelas itu membuatku tersadar, Di dunia ini banyak hal yang tidak aku
ketahui. Aku tidak tahu bagaimana
kinerja lampu merah di Perempatan Sekarpace yang terus menyala dengan teratur dengan sangat
tepat sepersekian detik. Aku tidak tahu mengapa dosenku benar-benar enggan
untuk mengangkat telfonku untuk sekedar memberitahu dimana dia berada. Aku
tidak tahu tentang jadwal turunnya hujan hari ini. Dan yang paling super duper
paling penting, Aku tidak tahu mengapa
takdir harus memaksaku berdiri di tempat itu selama setengah jam. Setengah jam
gak ngapa-ngapain itu lebih baik daripada hidup 25 tahun gak ngapa-ngapain.
Anu… kita ngobrolin apa sih?
Intinya, Di
dunia ini banyak hal yang tidak aku ketahui.
Januari yang
harusnya awesome ini diawali dengan kekacauan jadwal bertemu dosen pembimbing.
Ceritanya guweh mau konsultasi bab 1 dan 2 dari skripsi gituh, namun gara-gara
doi enggan bales pesan singkat dari hape, tau-tau aja udah terdampar di mushola
kampus ampe malem. Bener-bener gak
habis pikir. Apa sih susahnya ngebales sms. Ngetik teks
kira-kira cuman butuh waktu gak nyampe 1 menit. Di suatu ‘penungguan yang entah
kapan ketemu itu’ akhirnya masih dibumbui dengan hujan seharian sampai malam.
Sampai malam hingga membuatku sangat galau
banget. “galau” kalo dibaca terbalik jadi “ualag”, Apa sih.pokoknya ilmu berpikir positif yang selama ini aku
andalkan perlahan-lahan juga mulai
berkarat dan tak berguna.
Hey, apakah kalian tahu? Terkadang di dunia ini ada beberapa hal yang tidak
bisa kita ubah. Aku sudah cukup ‘kenyang’ memahami kenyataan itu semenjak kelas
1 SD. Aku tidak pernah bisa mengubah kenyataan bahwa orang tuaku harus merantau
ke Bogor untuk mencari nafkah. Waktu pertamakali ditinggal, guweh nangis bawang
bombay ala sinetron gituh. yah maklum sih, aku masih kecil banget. sekecil
semut. Saat SMP aku tidak bisa mengubah kenyataan tentang rambutku yang kriting. Saat itu memiliki
rambut keriting adalah aib, sangat mudah untuk menjadi sasaran empuk para genk
labil saat SMP. Tau genk labil saat SMP? Itutuh segerombolan anak SMP yang suka
nonkrong di depan gerbang buat malakin murid lain. Aku dulu sempet menjadi bocah SMP berambut kriting yang ngidam banget punya rambut lurus. Tahun segitu juga belum
musim rebonding. Pokoknya banyak
banget didunia ini hal-hal yang tidak bisa kita ubah. Apalagi jika hal-hal tersebut berkaitan
dengan sesuatu yang lain diluar diri kita.
Aku sangat suka melakukan hal-hal yang absurd, ketika keadaan sudah tak
bisa ditolong dengan ilmu berpikir positif.
Hal absurd yang aku lakukan saat itu adalah segera menerobos hujan dan
pergi ke Perempatan Lampu Merah Sekarpace untuk menemukan Bis
jurusan Solo-Jogja. Eh, hal tersebut
gak absurd katamu? Masa sih? Menerobos hujan untuk mencari bis lhoooh. Biasa aja?
Ya sudahlah. Biasa ajah juga gak papa. ckk. Pokoknya ini adalah awal tahun yang menyebalkan.
Malam itu aku masih terus menunggu. Bis malam yang datang sebenarnya juga
lumayan banyak. Rasa lelah yang mendadak datang yang membuatku diam mematung
cukup lama. Saat-saat seperti itu
biasanya sangat rentan stress. Entah sejak kapan, terkadang aku juga sering
mengalami hari-hari dimana enggan untuk melakukan apapun. Aku hanya ingin stay
dan membiarkan hidup berjalan biasa-biasa saja. Imbas dari keadaan tersebut adalah munculnya pertanyaan-pertanyaan
fundamental yang biasanya merongrong para filusuf di seluruh dunia. Iyah,
pertanyaan semacam “kenapa dunia ini diciptakan” sampai pertanyaan yang paling
gak jelas seperti “kenapa kalo abis
wudhu pasti kebelet pengen buang angin ”. Kabar buruknya adalah keadaan tersebut sering
terjadi akhir-akhir ini, dan kabar baiknya keadaan seperti itu biasanya hanya
berdurasi beberapa jam saja, atau bahkan beberapa menit. Ketika
aku masih mencoba menelaah pertanyaan fundamental tersebut, tiba-tiba
saja terdengar teriakan seorang teman.
“Hey!! Mujix!! Ngapain di situh”
wanita itu berteriak lantang. Aku menoleh ke arah jalan, terlihatlah sosok
mas-mas dan mbak-mbak yang sedang menaiki Vespa berwarna biru gelap. Mereka
adalah sepasang pengantin baru yang juga menjadi teman satu kampusku. Mbak Dwi
dan Nano. Mbak Dwi adalah kakak kelas di jurusan Televisi, teman gayeng-gayengan sama Mbak Norma, dan
biang kerok penyebab guweh kacau balau 3 tahun yang lalu. Nano adalah merk permen yang rasanya manis asam asin rame rasanya.
“Aku nungguin
bis Mbak, mau pulang” kataku singkat.
“Masih ada toh?
Kan udah malam banget..” tanya mbak duwek dengan sedikit kaget.
“Ada kok, hehehe
” jawabku sambil tersenyum. Ngobrol ketika
bertemu di perempatan lampu merah itu enggak enak. Selain berisik terkadang ada
efek asap yang menyembur kayak film action. Pokoknya gak enak. Makanya aku
hanya menjawab singkat dan sekenanya.
“Hei, kamu di
cariiin sama Sanasuke tuh” tiba-tiba mbak duwek merubah obrolan. Dia tertawa
genit menunggu reaksiku yang biasanya kikuk kalau nama ‘sanasuke’ disebut.
“Oh iya? Ya udah
salam aja buat dia, Mbak” reaksiku tak sekikuk biasanya. Mbak Duwek dan Nano tertawa
kecil kemudian pamit untuk melanjutkan perjalanan. Aku menatap laju motor
mereka yang mulai menjauh.
Aku tersenyum
kecut.
Permasalahan
tentang kekacauan jadwal bertemu dosen pembimbing tiba-tiba hilang entah
kemana. Tak ada lagi pertanyaan
fundamental yang hinggap di kepalaku saat itu. Ramainya
malam di perempatan Sekarpace mendadak lengang.
Cerita ini
dimulai pada suatu malam di sebuah tempat bernama perempatan lampu merah
Sekarpace, Solo. Aku berdiri di tempat itu selama setengah jam, dua kali di
tolak bis antar kota antar propinsi, dan dua jam sebelumnya sudah 4 kali
panggilanku juga ditolak takdir untuk bisa bertemu dosen pembimbing skripsi. Di
saat semuanya sudah tak terkontrol itu, nama Sanasuke muncul lagi. Sanasuke
adalah salah satu dari beberapa
hal tidak bisa kita ubah, pemicu dari berbagai pertanyaan
fundamental yang sedang kucari jawabannya hingga hari
ini. Bah. Awal tahun yang menyebalkan.
Apakah Aku sudah
bilang tentang hal-hal yang absurd,
ketika keadaan sudah tak bisa ditolong dengan ilmu berpikir positif? Detik itu terjadi lagi. Hal absurd yang kulakukan kali itu adalah berhenti
menunggu bis antar kota antar propinsi dan berjalan kaki sepanjang 4 KM hanya
numpang tidur di rumah teman. Langkah
pertama untuk menempuh jarak sepanjang 4KM tersebut aku mulai dengan bersiul-siul
mengikuti nada lagu Oasis yang berjudul Don’t Look Back In Anger.
***
Begitulah,
beberapa jam yang melelahkan. Jarak antara Rumah Sakit Moewardi dengan
perempatan lampu merah Sekarpace kurang lebih 2 KM. jalanan
di daerah ini sangat terang benderang. Cahaya yang berasal dari lampu jalanan
terkadang kurang merata di beberapa daerah. Beneran. Di daerah sebelum Rumah Sakit Moewardi ada
tempat yang tidak tersentuh dengan lampu. Siulanku yang tadinya
mengikuti nada lagu Oasis yang berjudul Don’t Look Back In Anger, entah kapan mulai berganti dengan khayalan
tentang masa depan. Berjalan di tempat gelap sambil mengkhayalkan masa depan yang terang benderang itu sangat menyenangkan.
Terang benderang? Iya dong. Masa depan yang aku khayalkan selalu terang
benderang. Mata kuliah tentang ‘banyak hal yang tidak
aku ketahui’ dan ‘banyak hal yang
tidak bisa aku ubah’ itu membuatku tersadar bahwa proses belajar
itu benar-benar tidak akan pernah berakhir hingga ajal menjemput.
Oh iya, mengenai hal‘ yang tidak aku ketahui’ kemarin aku bertemu hewan kecil. Semacam burung yang suka mencari madu. iya, Burung Colibri. Aku bertemu burung itu di suatu tempat yang cukup gelap. itu pertama kalinya aku meliat burung Colibri, kecil banget. Burung itu terbang pelan dipinggir jalan yang ramai menerobos semak-semak. Burung itu terus terbang, hinggap dari satu bunga ke bunga yang lain.
Hey, aku seperti melihat diriku sendiri di dalam sosok Burung Colibri tersebut. Malam itu aku juga sendirian, mungkin memang bukan mencari madu, mencari diri sendiri yang terkadang pergi entah kemana ditenggelamkan air hujan. Yeah, perjalanan ini akan sangat menyenangkan. soalnya mendadak galauku hilang gara-gara Si Burung Colibri. seperti mendapat teman seperjalanan.
Masih tersisa 2 KM lagi, Semangat!
Mujix
Selamat Tahun baru 2014.
telat 20 hari gak papa yah?
Kentingan, 21 Januari 2014
<< Beranda