Random dan Blunder
Males banget. Beneran
enggak mau ngapa-ngapain nih. Intinya sih saat ini aku
sedang berada di tahap paling menyebalkan dalam proses pembuatan komik. Woy cok!
Nulis aja belum kok udah ngobrolin ‘Inti’ sih!? Padu waee Leee!! Tahap tersebut adalah
‘pembuatan naskah’. Pembuatan naskah bagiku tidak hanya sekedar proses ‘menulis
cerita’. Lebih dari itu. Tahap ini baru saja aku mulai kemarin, dan ini adalah
hari ke dua. Sudah dua hari berlalu naskah komik tersebut masih berupa
‘corat-coretan sketsa random’.
Terlalu random
hingga terkadang aku bingung dengan apa saja maksud dari coretan tersebut. Wheladalah, masak komikus bingung sama
naskahnya sendiri. Belum selesai dibingungkan dengan naskah, aku masih harus
dibingungkan lagi dengan beberapa masalah sehari-hari yang membuatku bad mood dan art block. Belum ada
masalah aja bawaannya bad mood mulu,
apalagi udah terjebak masalah. Hahahaha.
Satu masalah kecil yang membuatku malas
untuk membuat naskah tersebut adalah riset. Sekedar info, kali ini aku
mengerjakan komik ‘The Proposal’ Bab 3, dengan tokoh utama Archieva
seorang mahasiswi magang di sebuah media
cetak di kota Cirebon. Hingga hari ini aku telah menemui beberapa narasumber
untuk menguatkan cerita. Iya, udah mulai riset kecil-kecilan gituh. Aku menemui
seorang wartawan media cetak yang sudah cukup joss bernama Niko. Doi pernah
bekerja sebagai wartawan/reporter di berbagai media cetak semacam Koran Sindo, Warta
Jateng, hingga media massa on line.
Awalnya
aku mempersilahkan dia untuk membaca storyline
komik ‘The Proposal’, kemudian aku mencoba diam untuk memancing responnya.
Dia kemudian berbicara tahap demi tahap sambil menyesuaikan storyline komik ‘The Proposal’. Obrolan itu berlangsung dua arah, terkadang
aku memberikan penjelasan mengenai detail-detail mengenai apa saja dalam naskah yang harus dia
cermati. Pertemuan tersebut berlangsung
meriah di pendopo Sriwedari jam 16.00 WIB kemarin. Niko bercerita banyak
mengenai pengalamannya dalam mencari berita, para wartawan senior, lika-liku
mahasiswi magang, hingga pentingnya memahami posisi seorang wartawan dalam
memandang suatu permasalahan. Beberapa kali kalimat yang aku tanyakan adalah
“Apakah logis jika bla.. bla..bla.. menjadi sebuah bla.. bla.. bla..”, beberapa
‘bla.. bla.. bla..’ itu berupa adegan-adegan kunci dan karakter-karakter yang
muncul di naskah komik bab 3.
Obrolan itu benar-benar membuat naskah
komikku sangat berkembang. Beberapa scene
dan karakter yang semula aku plot-kan muncul terpaksa direvisi. Di bab ini aku sangat mementingkan
logika bagaimana karakter dan cerita itu terjalin. Keren banget yak. Intinya sih tulisan ‘corat-coretan sketsa random’ yang sudah random itu jadi semakin random
gara-gara obrolan kami di Pendopo Sriwedari.
Byuh, byuh, byuh, ra karu-karuan. Kabar baiknya random-nya naskah ini random ke arah yang lebih baik. Emangnya
ada ya random kea rah yang enggak baik? Ada, dan aku baru saja mengalaminya di
kampus 5 jam sebelum obrolan dengan Niko
di pendopo Sriwedari.
5 jam sebelumnya aku berada di kantin
kampus ISI Surakarta. Tepatnya di kantin sebelah akademik tempat di mana biasanya
para mahasiswa S2 nongkrong. Pagi itu aku memulai ritualku yang paling sakral
bernama ‘bengong mikir naskah komik sambil minum kopi hitam’. Ritual itu
berjalan cukup lancar, hampir separuh naskah sudah terpetakan dengan baik. Terpetakan dengan hampir baik.
Beberapa menit kemudian datang seorang
mahasiswa S2 bernama Dhani. Dia temanku dan kita terlibat obrolan akrab ala
teman lama. Perbincangan kami tiba-tiba saja mengkerucut ke persoalan ‘sedang
apa aku diem sambil ngopi di situ’. Aku berusaha menjelaskan aktivitasku secara
sederhana. Dhani sejurus kemudian membaca storyline
komik ‘The Proposal’. Dia kemudian mulai berbicara kesana-kemari. Tanpa
mempersilahkan aku untuk menjelaskan latar belakangnya, dia tiba-tiba saja
mengkritik, memberi nasihat, membantai, dan mengarahkanku untuk mengubah
naskah. Itu sangat menyebalkan sekali.
Obrolannya terus saja mengalir sampai jauh.
Entah sudah berapa ratus kata terlontar dan hilang saja di telan angin. Hanya
beberapa saja yang masuk ke otakku. Sepertinya aku terlalu tolol untuk memahami
setiap hal yana dia katakan. Atau mungkin sebaliknya. Beberapa kali aku mencoba
meluruskan namun terus saja pelurusanku itu tak berjalan baik. Kemudian aku
segera bertekadn untuk menjadi ‘pendengar yang baik’. Aku berdiam diri sambil terus
menyimak apa yang dia bicarakan. Otakku
memilah semua kata-kata penting atau kata-kata sampah. Perlahan tapi
pasti obrolan tersebut aku arahkan ke tema yang ingin aku dengar, yaitu Trending topic di Twitter.
Banyak hal
yang menarik saat dhani menceritakan dunia internet tersebut (walau beberapa
kali harus terjebak di tema yang gak jelas semacam ‘FPI’, ‘Sensor anti roket
Israel’, hingga ‘Etika Flo saat menghina warga Jogja di Path’. Terserahlah, aku
hanya merekam informasi yang aku butuhkan ). Dhani membicarakan trend anak Twitter dalam membuat ‘Hashtag’ atau ‘Tagar’, anak ‘menengah ngehek’, membicarakan
‘keharusan’-ku mengganti karakter utama ‘The Proposal’, hingga membicarakan
komitmennya dalam memandang ‘seni’ itu rumit dan kompleks. Sangat menyenangkan mendengarkan seseorang yang
berbicara dan terus berbicara. Aku mendapatkan banyak ilmu di sana.
Obrolannya
keren sih, Hanya saja Dhani membuat naskah komikku semakin blunder. Naskah komik
yang blunder adalah bukti jika ada
progress random ke arah yangtidak baik.
Hari itu aku belajar mengenai bagaimana attitude seseorang dalam berkomunikasi.
Dhani, sesosok mahasiswa S2, pandai berteori
karena lama kuliah, namun sedikit payah dalam mendengarkan dan mengembangkan
ide. Dia adalah seorang ‘what’s
wrong-Man’. Ras-ras manusia yang selalu melihat ‘apa yang salah’ dalam
suatu hal, hanya melihat ‘apa yang salah’ dan sayangnya belum cukup ilmu untuk
membenarkan hal yang salah tersebut. Spesies ini sudah terlalu banyak di
masyarakat.
Niko, sesosok reporter muda, pandai meng-analogi-kan obrolan, sedikt payah
dalam berteori, cukup pandai mendengarkan dan mengembangkan ide. Menurutku dia tidak termasuk dalam spesies ‘what’s wrong-Man’. Aku belum tahu dia
termasuk spesies manusia yang mana, namun setidaknya naskah komikku berkembang
menjadi lebih renyah dan siap diolah untuk menjadi komik yang aduhai. Spesies
ini ada di masyarakat namun tidak terlalu banyak.
Tuh kan, proses pembuatan naskah memang
menyebalkan. Naskahnya belum jadi ajah udah bisa nulis kayak gini gara-gara
riset kecil-kecilan itu. Ahh, kacau deh. Sepertinya aku harus segera berbenah
dan bergegas. Bukankah aku ingin komik ini selesai akhir tahun?
Mujix,
ayo coy! naskahnya dikerjain!
udah bulan Oktober nih.
Simo, 10 Oktober 2014
<< Beranda