Tumpukan awan berwarna putih itu
masih diam ketika aku tiba di sini, di sebuah sekolah menengah kejuruan. Tempat
dimana aku belajar seni rupa dan menggambar komik. Iya. Sekarang aku berada di
sekolahku yang dulu. Sepuluh tahun telah berlalu sejak saat itu. Tempat ini
sudah banyak yang berubah.
Gerbang yang dulu hanya tralis dari besi
berkarat, sekarang berganti menjadi gerbang
besar dengan ukiran patung Dewaruci sedang bertarung dengan Naga. Lebai dan
norak banget gerbangnya. Tapi gak papa sih, namanya juga sekolah seni. Gerbang sekolah ini benar-benar terlihat
berbeda apabila dibandingkan dengan gerbang yang sama di sepuluh tahun yang
lalu.
Hari ini adalah jam pulang
sekolah. Para siswa bergerombol dan membludak untuk segera bergegas ke rumahnya
masing-masing. Aku clingak-clinguk
mencari seseorang. Cewek? Bukan. Kali ini aku sedang berkepentingan dengan
seorang cowok.
Seorang cowok jurusan seni rupa yang kukenal hanya melalui
ingatan. Beberapa menit sudah aku berada di gerbang. Namun cowok yang aku cari
tidak segera muncul. Mataku yang jelalatan
ke segala arah itu tidak bisa menemukan dia. Aku menghela nafas panjang.
“Brengsek… kemana bocah itu
pergi” aku segera berjalan menuju ke dalam sekolah. Sejuta kenangan menyambut
dan menikam dada tanpa ampun. Jeruji besi berwarna hitam yang memisahkan area
parkiran dan lingkungan sekolah itu masih berdiri di sana.
Aku memasuki pintu jeruji
besi itu seperti tahanan yang keluar dari penjara. Lantai dari perpaduan tegel
dan keramik juga masih terasa kasar di ujung kakiku. Mading itu, taman kecil
itu, dan papan penanda itu, wah, Semuanya sangat akrab walau terlihat berbeda.
Dari kejauhan terdengar suara
riuh rendah. Beberapa siswa sepertinya masih beraktivitas dengan banyak hal.
Seingatku dulu, siswa-siswa yang masih berkeliaran setelah pulang sekolah
adalah anggota OSIS, Bantara, atau organisasi ekstrakulikuler lain. Mereka yang
berada di sekolah di waktu seperti ini adalah mereka yang aktif di kegiatan
organisasi sekolah, mereka yang haus akan eksistensi dan mereka yang kelebihan energi untuk disalurkan.
“Dung… Dung.. Dung…” bunyi bola basket yang di-dribel mengisyaratkan bahwa seseorang
yang aku cari ternyata ada di sini. Sesosok anak laki-laki sedang berlari membawa
bola basket berwarna kuning. Anak laki-laki itu berambut keriting pendek,
mengingatkanku pada tokoh ‘Laskar Pelangi’ yang bernama Ikal. Seragam SMA yang
ia pakai terlihat kusut dan sedikit basah karena keringat. Wajahnya terlihat
lelah namun bersemangat. Sebuah lompatan pendek dilakukannya ketika dia sampai
di samping ring.
“Uoooh!!” dia berteriak sambil
mengulurkan bolanya ke arah ring. Sejurus kemudian bola itu menabrak ring dan
memantul kena papan.
“Sraaak” bunyi bola tersebut
ketika masuk ke ring.
Dia tersenyum kecil dan kembali
berlari mengambil bola. Sepertinya bocah itu sudah cukup kelelahan untuk
melanjutkan permainan basket tersebut. Aktivitas yang tolol. Hanya orang tolol
yang bermain basket sendirian jam 2 siang di lapangan basket.
Aku berjalan menuju ke arah bocah
tersebut. Dia menyenderkan tubuhnya dan memandang jauh ke arah para anggota
OSIS yang tengah berlatih baris-berbaris. Pandangannya tertuju ke sosok
perempuan dengan rambut pendek di barisan paling belakang. Bocah itu tersenyum
kecil. Aku kemudian duduk di sampingnya. Dia agak kaget dengan kedatanganku.
“Boleh pinjam bolanya?” aku
mengulurkan tangan ke arahnya.
Dia memandangku sesaat.
“Nih!” bocah ini melemparkan bola
tersebut dengan perlahan. Kedua tanganku memegang bola itu dengan sangat
berhati-hati. Aku segera membawa bola itu ke tengah lapangan. Hanya orang tolol
yang bermain basket di jam 2 siang. Aku sepertinya termasuk gerombolan orang tolol
tersebut. Hahaha.
Bola itu aku pantulkan ke lantai
lapangan.
“Dung… Dung.. Dung” bunyi bola
yang terpantul di lantai itu kesannya ‘sesuatu’ banget. Entah sudah berapa
tahun aku tidak memegang bola basket. Terakhir kali tahun 2007 saat ikut UKM
basket di kampus. Aku mencoba berlari sambil me-dribel bola. Agak canggung. Ketahuan sekali kalau udah jarang
berolahraga. Dengan sekali hentakan aku melempar bola itu ke ring.
“Dung!!” bola memantul dan
terpental ke luar lapangan. Fail.
Gagal total. Itu lay up terburuk
semenjak aku kuliah. Bocah itu tertawa terkekeh-kekeh dengan muka tengiknya.
“Bolamu jelek! Apaan! Masak ada
bola benjol gituh?!!” aku mencari alasan untuk menutupi kesalahan lay up payah tersebut.
“Bukan salah bolanya mas!
Kontrolmu aja yang payah” bocah itu terus aja tertawa sambil menerima bola yang
aku ulurkan.
“Cih!! Iya deh! Iya!” kumakan
saja semua caci maki gak jelas itu.
Suasana lapangan basket sangat
berbeda apabila dibandingkan tempat di mana kami beristirahat. Di tengah
lapangan panas bagai berjemur di jalan raya. Di pinggir lapangan ini lebih
baik. Pohon-pohon rindang itu membuat semuanya menjadi sejuk. Belum lagi angin
sepoi-sepoi yang mengusap wajah basah setelah berkeringat. Kurasa inilah yang
disebut surga oleh para pemuka agama.
Kami berdua duduk dengan
memandang ke lapangan basket di sekolah. Tidak ada obrolan lagi. Aku sibuk
dengan lamunanku, dan bocah itu sibuk dengan komik yang dia baca.
Heh? Dia baca komik? Mataku
melirik buku komik tersebut. Sepertinya aku kenal. Slam Dunk! Karya Takehiko
Inoue. Jilid 15. Uoooh. Komik legendaris yang menjadi salah satu inspirasiku.
“Dek, kamu suka baca komik?” aku
tidak tahan untuk bertanya.
Dia diam sejenak, kemudian
melanjutkan aktivitas membacanya.
“Suka.” Aku memperhatikan
ekspresinya saat membaca komik itu. Lucu. Terkadang dia tersenyum. Namun terkadang
bermuka serius dengan muka terkejut. Ketika sampai di lembar terakhir, dia menghela
nafas panjang.
“Kenapa?” aku bertanya lagi.
“Bersambung, Mas! Harus nungguin
jilid berikutnya.”
Hahaha. Bocah itu sepertinya sudah tidak sabar
untuk mengetahui kelanjutannya.
“Aku juga suka baca komik! Saat
ini aku sedang mengikuti komik One Piece dan One Puch Man.”
Bocah itu menoleh dengan mata
berbinar-binar.
“Masnya juga baca komik?
Mana-mana pinjam dong!” tiba-tiba saja dia berada di depanku.
“Enggak aku bawa. Aku bacanya
manga-scan di internet kok!” aku mencoba memberi penjelasan. Sepertinya dia
bingung dengan apa yang aku ucapkan. Bocah itu kecewa.
“Yah! Gimana sih Mas. padahal aku
udah seneng lhooh. Kirain aku bisa baca komik baru tanpa pergi ke rental
komik!”
“Rental komik?”
“Iya, Rental Komik. Karena uang
sakuku terbatas, maklum anak kost. aku cuman bisa baca komik lewat rental
komik.”
Iya sih. Harga komik memang
mahal. Apalagi untuk siswa seusianya. Harga sewa komik biasanya 10% dari harga
yang dijual. Jika suatu komik harganya Rp.20.000, maka harga untuk menyewanya
di rental pasti hanya Rp.2.000. Cukup murah jika mengingat pengalaman baca yang
ditawarkan. Aku dulu juga seperti itu, menyewa banyak komik untuk bahan
pembelajaran. Namun untuk komik yang benar-benar aku sukai, aku pasti akan
membelinya.
“Komik yang sedang kamu baca
bagus mas? sama Slam Dunk bagus mana?” Bocah itu bertanya lagi mengenai komik
yang sedang aku baca.
“Setahuku sih komik One Piece
membosankan. Kalo One Puch Man, aku malah baru tahu!” dia menyambung pertanyaan
yang belum sempat aku jawab.
Aku berpikir sejenak memilih
jawaban yang pas untuk pertanyaan itu.
“One Piece bagus kok. Mungkin
kamu baca versi bajakannya. Jadi terjemahannya agak ngawur. Tapi kalau dibandingkan
dengan Slam Dunk, aku akan tetap memilih Slam Dunk. Aku ngefans sama Hanamichi
Sakuragi soalnya. Itu soal selera genre komik
sih. ”
“Aku juga ngefans sama Hanamichi
Sakuragi Mas. Keren ya tokohnya. ” bocah itu tersenyum penuh arti kemudian
kembali melirik kearah para anggota OSIS yang masih berlatih baris-berbaris.
Sejak tadi, mata bocah itu selalu tertuju ke arah perempuan dengan rambut
pendek di barisan paling belakang .
“Selain baca komik, aku juga
bikin komik dek! Ini komik buatanku!” Saatnya untuk pamer! Aku mengeluarkan
beberapa komik buatanku. Kebetulan aku membawa komik yang berjudul ‘Negara ½
Gila’, ‘Proposal Untuk Presiden’, ‘Komisi Empat Penjuru’ dan ‘Si Amed’.
Buku-buku komik kebanggaan tersebut langsung aku jejer di depannya. Bocah itu
ternganga dan sangat terkejut. Tangannya dengan sedikit gemetar mulai memegang
komik buatanku.
“Masnya seorang Komikus?!
Kereeeeen!!” Dia dengan sangat bernafsu mulai membuka lembar demi lembar komik
yang aku buat.
“Ini cara bikinnya gimana mas?” pertanyaan
tentang proses pembuatan adalah pertanyaan yang sering aku temui ketika bertemu
pembaca baru.
“Ya gituh dek. Kamu gambar dulu manual, terus dipindah pake scanner, lalu di edit deh pake Adobe
Photohoshop!” ujarku sambil tersenyum bangga.
“Kayaknya susah ya mas?!” tukas
bocah itu sambil mengambil sesuatu dari tas rangselnya.
Dia mengeluarkan beberapa buku
dan berlembar-lembar kertas hvs yang penuh dengan gambar. Ternyata bocah itu
juga menggambar komik! Aku kaget.
“Ini komik karya saya mas.
Judulnya ‘Panca Semesta’! ” uoooh. Tebel abis komiknya. Aku mengambil komik itu
dengan penuh antusias. Gokil. Komiknya unik banget.
Komik berjudul ‘Panca Semesta’
itu berupa lembaran-lembaran komik yang distaples menjadi sebuah buku. Covernya
udah diedit pake Adobe Photohoshop. Coloringnya
kasar. Tapi untuk sekelas anak SMA, itu udah keren banget.
“Gokiiiil!!! Ceritanya tentang
apa nih!?” jeritku sambil membuka komik itu lembar demi lembar.
“Ceritanya tentang pendekar
tangguh bernama ‘Joko Pangestu’ mas, terus dia terlempar ke masa depan dengan
misi mengembalikan pusaka perguruannya yang bernama ‘Panca Semesta’!”
“Terus!!? Terus!!?” aku mendesak
dia agar untuk menjelaskannya dengan lebih detail. Obrolan apapun tentang komik
sangat menyenangkan.
“Terus? Baca aja sendiri. Tapi
maap. Komik itu aku bikin langsung loncat ke jilid 32.”
“Whaaaat!!! Udah jilid 32!!!
Gokiiiil” aku tak bisa menahan rasa terkejut melihat kenyataan ini.
Permukaan kasar khas kertas HVS
ini benar-benar nyata. Buku ini pasti dihasilkan dengan segenap curahan
jiwanya. Goresan yang dia buat sangat ekpresif, terlepas dari proporsi dan
anatominya yang salah. Beberapa gambar latar belakang terlihat berantakan.
Namun aku tidak berharap lebih. Aku hanya ingin membaca buku ini sampai
selesai.
“seru! Terus jild 1 sampai 31
mana Dek?” tanyaku dengan penuh harap.
“Anu… masih didalam otak sih Mas.
Aku emang bikinnya langsung loncat ke jilid 32… hahaha” bocah itu tertawa
dengan muka agak dipaksakan seakan ketahuan kebohongannya.
“Dasar! Jangan suka
melompat-lompat gitu dong. Suatu saat kalau kamu jadi komikus professional
sifat itu harus dihilangkan yaa, kasihan sama pembacamu” ujarku memberi nasihat
kepadanya.
“Hahahaha siap Mas!!!” teriaknya
sambil tersenyum lebar.
Di jilid ini ternyata memiliki
cerita yang cukup seru. Tokoh utama yang bernama ‘Joko Pangestu’ bersekolah di
SMA, memiliki teman yang baik, dan tentu saja memiliki kisah cinta. Secara
garis besar, jilid ini bercerita tentang sepak terjang Joko dalam merebut
pusaka yang dimanfaatkan oleh penjahat. Adegan aksi dari panel ke panel cukup absurd. Terkadang ada pertempuran energi
ala-ala komik Dragonball.
“Bagus. Komikmu bagus dek. Hanya
saja cerita cinta yang terselip di komik ini malah sedikit mengganggu.” Aku
memberi saran sotoy kepada bocah itu.
“Oh. Gitu ya mas. Sebenarnya itu
curhat sih.” Tukas bocah tersebut sambil tertawa.
“Yaelah, curhat. Yah. Bagus.
Teruskan aja dek bikin komiknya.” Aku memberikan kalimat penutup agar obrolan
ini segera berakhir.
“Gimana mas? Ada masukan lagi
buat aku?” Tanyanya sambil memasukkan buku itu ke dalam tas.
“Hmm… gimana ya?” aku berpikir
sebentar sambil memegang janggutku. Biar kelihatan keren gituh.
“Oh. Aku paling suka sama
karakter ceweknya. Namanya siapa tadi?”
“Ari! Namanya Ari Irianti mas”
ujarnya sambil tersenyum.
“Oh. Ari Irianti. Gambarnya
bagus. Entah kenapa aku merasakan kalau karakter ini benar-benar ada di dunia
nyata. Gimana ya? Aku seperti melihat ada perasaan yang muncul dari karakter
itu.” Aku langsung saja bercuap-cuap memberikan kesanku.
“Hehehehe iya mas. Karakter itu
aku gambar dari temen sekelasku kok! Nooh! Itu lhoo mas! Embaknya yang sedang
latihan baris di sana” bocah itu berkata sambil menunjuk seorang perempuan
berambut pendek yang sedang kepanasan.
“Ciyeeeeee!!! Pacarnya
ciyeeeeee!!!” aku menggodanya tampa ampun. Dia langsung tergagap dengan muka
memerah dan berkeringat. Aku sudah tahu apa yang terjadi saat ini.
Bocah itu kaget dengan muka merah
padam. Sepertinya aku langsung meng-counter-nya
dengan pertanyaan yang menohok.
“Euuh!! Engg..Enggak kook!!!”
Bocah itu mencoba untuk menutupi rasa panik dengan berbohong. Aku cukup yakin
kalau dia berbohong, terlihat sekali kalau pertanyaanku cukup mengagetkan dia.
“Ciyeee… Ciyeee… beneran enggak
naksir? Aku bilangin ke dia ya?” aku berdiri seolah ingin menghampiri perempuan
tersebut. Bocah itu kemudian menarik jaketku sambil terus meracau tentang apa
yang dia rasakan.
“Jangan Mas!! udah!! Aku ngaku
deh!! Iya iya!! Aku naksir dia kok” kata bocah tersebut dengan wajah memerah.
Hihihi. Lucu deh. Aku kembali ke tempatku semula, menepuk punggungnya sambil
berkata penuh canda.
“Terus gimana? Kamu udah jadian
sama dia?”
“Jadian apanya mas? aku
ditolaknya minggu lalu!” dia berkata lirih sambil memeluk lututnya. Sebersit
kesedihan terpancar dari raut wajah bocah tersebut. Aku tidak tahu harus
berkata apa. Dia tiba-tiba saja bercerita tentang perempuan itu.
“Aku jatuh cinta sama dia sejak
kelas 1 Mas. Dia adalah alasan terbesarku untuk datang ke sekolah. ” Alasan
terbesar? Sok dramatis banget tuh bocah.
“Hahahaha… kenapa kamu masih
senyam-senyum gitu? Padahal kamu habis patah hati lho dek” Bocah itu menoleh ke
arahku, memandang tajam mataku lalu berkata tentang satu hal yang membuatku
kaget.
“Masnya malah lebih parah, enggak
patah hati tapi enggak bisa senyam-senyum” Eng… Ing… Eng… Terucaplah kata-kata
keren yang tiba-tiba membuatku merinding. Suasana di sekitar kami berubah
menjadi sendu. Gila, anak kecil sekarang benar-benar cepat dewasa ya.
Bocah itu tiba-tiba berdiri.
“Mau kemana?” tanyaku dengan
sedikit bingung.
“Sholat Ashar. Udah mau jam tiga.
Mau ikut?”
Aku berjalan mengekor di belakangnya.
Benar saja, suara adzan terdengar dari mushola sekolah. Tidak ada obrolan sama
sekali. Aku juga enggan untuk bertanya. Adzan
bagiku adalah waktu yang tepat untuk mengistirahatkan apapun. Waktu untuk makan
siang, ataupun waktu untuk sekedar membuat teh panas agar makin bersemangat
dalam bekerja.
Kami akhirnya sholat berjamaah. untukku saat ini, sholat hanya
sekedar formalitas. Maaf. Formalitas eksklusif seorang manusia, sebuah ritual yang
kulakukan untuk menandai waktu. Aku tidak mau membebani hidupku dengan surga
dan neraka. Andaikata saat sholat aku bisa khusyuk dan berbincang dengan tuhan,
itu adalah sebuah bonus. Namun pendapatku itu sepertinya berbeda dengan bocah
tersebut.
Sehabis sholat aku berdoa
seperlunya dan langsung nongkrong saja di pelataran masjid. Ketika aku
meninggalkannya, bocah itu masih berdoa dengan khidmat. Mulutnya berkomat-kamit
membaca sesuatu dengan muka serius. Entah dia meminta apa kepada Tuhan, aku
juga tidak terlalu berani untuk menebak.
Pelataran masjid adalah tempat
paling damai di sekolah ini. Tidak ada tempat lain sehangat tempat ini. Apalagi
suasana sore yang cerah menemaniku untuk bernostalgia dengan apapun. Sudah lama
sekali aku tidak duduk-duduk di tempat
pelataran ini.
Aku bisa mengingat banyak hal. Ujian hafalan surat Al Quran saat
UAS, kaca tempatku berdandan saat jumatan, hingga perasaan lega saat aku berhasil
menyatakan cintaku untuk seseorang. Saat itu aku bahkan mengguyur kepalaku dengan
air keran agar kepalaku bisa berpikir dengan normal. Ah. Aku benar-benar ingat
muka kucek dan segala kecerobohanku saat itu.
Hahaha masa muda yang benar-benar
menyebalkan.
Bocah keriting itu sepertinya
sudah selesai dengan ritual berdoanya. Dia agak terkejut karena masih melihatku
di tempat ini.
“Belum pulang mas? Nungguin siapa”
tanyanya sambil mengikat tali sepatu.
“Nungguin temen. Tapi kayaknya
dia gak jadi ke sini. Terus, kamu mau ke mana?” aku menjawabnya dengan santai
dan terus memperhatikan apa yang dia lakukan.
“Pulang dong! Aku mau bikin acara
buka bersama mas. Ntar sore.” Ujarnya sembari merapikan baju dan menenteng bola
basket.
Kami berdua berjalan bersama
keluar area sekolah. Sebentar lagi memang waktu untuk berbuka puasa. Di perempatan
bocah keriting itu berjalan kea rah timur. Sepertinya ini adalah saat yang
tepat untuk berpisah.
“Mas, aku cabut dulu. Udah ke
sorean nih” Dia mencolek tanganku sambil berpamitan.
“Oke! Salam buat teman-temanmu ya”
sebuah kata perpisahan yang konyol.
“Oke, Mas!” Bocah itu berjalan
pelan dengan tubuh sedikit membungkuk.
Sepertinya dia sedang mengalami
hari-hari yang berat. Aku merasakan semua tawa dan keceriaannya tadi hanyalah
topeng belaka. Semuanya terbaca saat melihat punggung dan cara berjalannya dari
belakang. Seperti terlihat sedih. Aku tidak tahan untuk menegurnya sekali lagi.
“Dek!” aku berteriak cukup keras.
Bocah itu menoleh dengan wajah penuh tanda tanya.
“Apa lagi mas?” dia bertanya
dengan wajahnya yang seakan dibuat ceria.
Suasana hening sejenak. Kami hanya
terpisah beberapa meter di ujung jalan. Dan aku tidak menemukan kata-kata yang
tepat untuk membuatnya terhibur.
“Dek, Bertahanlah! Jangan
menyerah untuk apa yang kau cita-citakan” dia tersenyum sambil melambaikan
tangannya.
Aku yakin dia akan baik-baik saja.
Seperti aku yakin akan
kehidupanku saat ini yang nyatanya berjalan dengan baik.
Mujix
Ciyeee yang
udah pake smartphone
terus bikin instagram tapi
bingung mau di isi apaa
Simo, 30 November 2015.