megamendungkelabu

Selasa, 30 Juni 2015

Draft SMS di hari Rabu

Malam itu tepat jam 11.11 pm saat aku beranjak dari sofa berwarna coklat di ruang tamu. Di kejauhan terdengar suara tadarus yang terus berkumandang menandakan bahwa aku masih terjebak di bulan Ramadhan. Kalau boleh jujur, aku cukup merindukan atmosfer seperti ini. Alasan berpindah tempat dari sofa di ruang tamu menuju ruang kerja kali ini sebenarnya cukup sepele. Aku sepertinya harus menulis tentang ‘draft sms’ yang hingga hari ini belum terhapus

Draft sms yang kuketik sejak tanggal… 
Tunggu sebentar… Tanggalnya mana nih?
Kok enggak ada?

Kampret. Anggap saja tanggal tersebut tidak terlalu penting untuk dituliskan di postingan ini. Kembali ke topik draft sms. Bukan ke Topik Savalas, maupun Topik Hidayat. Ciyeee buat yang mau nge-lucu tapi enggak lucu.

Draft sms tersebut  kira-kira tertulis seperti ini:
“Dibikin tokoh komik sama seseorang itu kayak dibikinin lagu cinta sama pacar. Gregetnya bakalan nongol kalau sudah selesai :j”

Catatan aneh itu muncul secara tiba-tiba beberapa bulan yang lalu. Catatan aneh itu terketik secara tiba-tiba setelah aku terbangun dari sebuah mimpi yang aneh. Semacam lucid dream. Sejenis mimpi dimana kamu bisa mengingatnya dengan sangat jelas. Aku mohon jangan tanya tanggal ya. Intinya beberapa bulan yang lalu. 

Beberapa bulan yang lalu itu mungkin saat heboh berita ‘Syahrini membelikan rumah untuk Soni Wakwaw’, atau kalau enggak ketika ramai gossip ‘perseteruan Daus Mini dengan mantan istriya yang kini sudah cerai’. 

Tunggu sebentar, perasaan berita-berita itu enggak heboh-heboh amat deh. Ah, pokoknya aku hanya ingin memberi informasi bahwa draft sms ini sudah terketik cukup lama di masa lalu.

Di masa lalu. Masa dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’. Masa dimana aku sedikit kebingungan menjawab pertanyaan dari ‘dia’ tentang alasan ‘kenapa aku mengambil sosok dia inspirasi untuk karakter utama’. 

Yeah, ini cerita tentang dia. 
‘Dia’ yang lain, bukan ‘dia’ yang sering aku curhatkan di blog ini. Ini cerita tentang ‘dia’ yang mengajariku bahwa setiap pertemuan memiliki kisah yang bisa diceritakan kepada orang lain. Baiklah, mari kita kembali ke masa lalu sejenak. Masa lalu dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’.

***  

Ini adalah di masa lalu. 
Masa dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’. Petang itu aku berada di wedangan di daerah Kerten. Aku dan teman-teman kontrakan biasa menyebutnya ‘Wedangan Bu Gendut’.

Wedangan itu seperti wedangan umumnya di Kota Solo. Sebuah gerobak angkringan ditutupi terpal berwarna merah dengan lampu bohlam berwarna coklat kemerah-merahan. 

Lampu bohlam itu memang tidak terlalu terang, namun sudah lebih dari cukup untuk sekedar memperlihatkan apa saja benda-benda atau makanan yang berada di wedangan itu. Kursi kayu agak panjang berwarna coklat itu sepertinya sudah tertempel permanen dengan suasana petang yang beranjak hitam kelam. Duduk di kursi itu dengan setengah sadar, memandang layar handphone yang terang benderang, ditemani secuil perasaan aneh bergelayut didalam hati. 
Ajegile, hidupku petang itu benar-benar hidup.

Petang itu aku hanya memesan teh panas. Aku tidak sedang berselera makan nasi kucing, nasi kucing yang isinya telur dadar. Nah, aneh kan, masa nasi kucing isinya telur dadar.  Nasi kucing umumnya di kota solo, biasanya isinya tuh cuilan bandeng, cuilan teri, atau kalau enggak cuilan perasaan cinta yang tertinggal di hati mbak mantan.

Aku hanya ingin sendirian dan memikirkan pesan balasan apa yang aku harus kirim untuknya. Suasana petang itu tidak terlalu ramai, hanya ada Bu Gendut dan suaminya yang hilir mudik mengantarkan pesanan. Wardrobe resmi Bu Gendut di wedangan itu sepertinya sudah pakem sejak dulu kala. Bu Gendut selalu memakai baju merah bercorak bunga dan rok berwarna coklat. Dipadu dengan make up-nya yang super duper tebal, makin gahar dengan lipstick merah darah dibibirnya yang cukup tebal. Ini mau jualan wedangan atau kondangan nikah sih?

Teh panas pesananku sudah datang. Bu Gendut mengantarkan minuman favoritku sambil memberikan lip service formalitas kepada pembeli.

“Lhooh, Mas koncone kok gak di ajak mangan kene?” 
Bu Gendut bertanya sambil meletakkan teh panas di hadapanku. Dasar, kenapa teman-teman kontrakan malah menjulukinya ‘Bu Gendut’ sih? Padahal bagiku yang paling menonjol dari ibu itu adalah alisnya yang ditato berwarna biru tua dengan bentuk lancip. Harusnya mereka menjulukinya ‘Bu Tato Alis Lancip Warna Biru’. 

Apa? Terlalu panjang dan aneh?  
Kalo dipikir-pikir, iya juga sih.

Koncoku do pulang kampung bu.” Aku menjawab sekenanya.  
Aku tidak mungkin bilang kalau teman-temanku tidak datang ke wedangan itu gara-gara porsi nasinya yang sedikit. Mereka lebih memilih makan di warung di dekat masjid karena porsinya yang lebih banyak dengan harga murah. 
Yes, kebohonganku yang entah keberapa untuk hari itu.

Entah sejak kapan aku benar-benar mulai lihai dalam berbohong. Dan detik itu aku benar-benar tengah pusing memikirkan kebohongan apa untuk membalas pesan singkatnya. 

Bunyi pesan singkat itu sebenarnya simple:
“Mas, kenapa sih kamu menjadikan aku sebagai karakter utama di buku komikmu?”

Jawaban jujurnya sebenarnya juga simple, di otakku ada suara teriakan “Itu karena aku naksir kamu, Bego”. Sudah bisa ditebak, dan seperti kisah-kisah sebelumnya, aku tidak punya nyali untuk mengetik teriakkan itu menjadi sms. 

Sepertinya aku benar-benar menjadi pria dewasa. Pria dewasa yang pengecut. Berbeda sekali dengan saat-saat aku muda dulu, dimana ‘menyatakan perasaan’ semudah membeli kacang kulit di Alfamaret.

Aku menghela nafas panjang, memalingkan pandanganku ke jalan raya yang masih cukup terang benderang. Berharap kilaunya dapat memberikan kebohongan yang sederhana untuk memperjelas keadaanku sekarang.

Apa benar aku naksir dia? Jangan-jangan cuman penasaran doang? atau mungkin sebenarnya aku enggak punya rasa apa-apa sama dia, terus sok-sok-an 'punya rasa' biar aku bisa bersemangat karena memiliki ‘alasan yang sentimentil’ untuk mengerjakan komik itu. 

Rumit.
Awal semua ceritaku dan dia, kalau dipikir-pikir lagi dimulai pada tahun 2010. Satu tahun setelah masa-masa paling rumit dalam hidupku. Berarti saat itu aku berusia 22 tahun. 

Waktu dimana aku berusaha move on dari banyak hal.

***

Hari itu hari rabu di tahun 2010, aku masih mencoba move on dari banyak hal. Aku memutuskan untuk menyerah terhadap Sanasuke, aku memutuskan untuk berhenti berharap terhadap Popok, dan aku memutuskan untuk mengulang mata kuliah Agama Islam.

Agama Islam adalah matakuliah abadi bagiku. Tahun itu aku terpaksa harus mengulang mata kuliah tersebut dikarenakan 2 tahun kemarin tidak lulus gara-gara kecelakaan. Bah, kecelakaan yang membuatku mengerti bahwa mengendarai sepeda motor itu harus berhati-hati. 

Btw aku tidak mengendarai sepeda motor, aku membonceng orang yang bahwa mengendarai sepeda motor. Nah itu kampretnya, supirnya yang meleng, aku yang jadi korban. Kakiku sukses nyungsep dan hampir tergilas ban mobil Avanza berwarna hitam. 

Hingga hari ini hatiku suka miris kalau liat mobil Avanza berwarna hitam. Miris. Semiris datang ke kondangan nikahannya mbak mantan.

Sedangkan tahun kemarin aku tidak lulus mata kuliah Agama Islam gara-gara galau sepeda kesayanganku hilang dicolong maling. Gituh.

Jadi, ini sudah ketiga kalinya aku mengambil mata kuliah Agama Islam. 
Ketiga kalinya sodara-sodara!

Aku memandang kertas berwarna coklat yang para mahasiswa di ISI Surakarta menyebutnya ‘KRS’. Kartu Rencana Studi. Kalau cuman berencana terus kapan studinya? Hari ini adalah jadwal kuliah pertamaku sebagai mahasiswa semester 8, dengan mata kuliah Pendidikan Agama Islam yang seyogyanya diluluskan di semester 1. 

Jadi, mulai hari itu 'sang mahasiswa semester 8' bakal sering bercengkrama dengan mahasiswa semester 1.  Saat itu aku benar-benar mempertanyakan keadilan hidup.

Langit pagi itu cerah, angin berhembus kencang dan mengakibatkan daun-daun kering itu berguguran. Musim kemarau terkadang menjadi musim favorit. Aku berjalan pelan menuju gedung F dengan muka masam. 

Bah sepanjang tahun sejak aku menjadi mahasiswa tingkat akhir, mukaku memang selalu masam. Apalagi jika melihat sisa SKS yang belum aku tempuh di kartu KRS. Makin asem, tinggal bawa buah-buahan sama garam, tinggal diulek semua sama ni muka. Jadi deh rujak buah rasa muka masam mahasiswa semester lama.

Hampir semua mahasiswa baru sudah masuk di ruangan nan pengap tersebut. Walau pengap, ruangan itu sangat ngangenin. Apalagi jika kamu adalah mahasiswa lama yang jarang kuliah di kampus. 

Ruangan itu cukup lebar dan luas. Ukurannya agak lupa. Hal yang paling aku ingat dari ruangan tersebut adalah jendela-jendela kacanya yang dicat warna abu kekuning-kuningan dengan tanda silang cat putih. Sebuah papan tulis berwarna putih kusam  berdiri dengan gagah di samping meja dosen. 

Seperti biasa, aku selalu mengambil tempat duduk paling belakang. Meletakkan tas Consina-ku di kursi perkuliahan dengan mencatolkannya pada  kayu tempat punggungku bersandar. Aku memandang sekeliling dengan tatapan kosong. 

Gila, Aku tidak mengenal satupun mahasiswa di ruangan itu.

Aku saat itu adalah aku yang malas untuk melakukan apapun. Bahkan perkuliahan mata kuliah Agama Islam itu pun aku enggak yakin bakal bisa lulus atau enggak. Aku bahkan sudah memikirkan suasana perkuliahan mata kuliah Agama Islam pada tahun berikutnya. 

Sialan. Aku harus benar-benar meluruskan pemikiran burukku ini. 

Aku harus menemukan alasan agar aku bisa terus rajin kuliah mata kuliah Agama Islam. Sebuah alasan yang bisa membuatku bersemangat untuk pergi ke kampus.

Baiklah aku akan mencoba jatuh cinta dengan salah satu mahasiswi di ruangan ini.

Yak! Sudah kuputuskan. Aku akan jatuh cinta dengan perempuan berambut pendek itu. Dia manis, kelihatannya cerewet dan bersemangat. Kurasa sosok itu sudah lebih dari cukup untuk kujadikan alasan agar aku bisa terus menerus ke kampus untuk meluluskan mata kuliah Agama Islam yang terus tertunda. 

Sebuah alasan yang konyol.

Begitulah pertemuanku dengan dia terjadi begitu saja. Kukatakan sekali lagi, Aku akan jatuh cinta dengan perempuan berambut pendek itu. Semenjak saat itu aku menamai ‘perempuan berambut pendek’ itu dengan sebutan ‘Rabu’. 

Kenapa? 
Mungkin karena aku selalu jatuh cinta padanya di setiap hari Rabu. 

Jatuh cinta fiktif yang sudah aku control dengan logika tingkat dewa.

***

Namanya ‘Rabu’. Nama yang aneh. Aku tersenyum kecil jika mengingat semua kebodohan mengenai ‘suasana perkuliahan mata kuliah Agama Islam’, Menjuluki seseorang yang bahkan belum aku kenal namanya dengan nama hari. Mencoba jatuh cinta secara fiktif sekedar menemukan alasan agar aku bersemangat ke kampus setiap hari Rabu. Dasar pemuda kribo yang aneh. 

Sepertinya  pesan singkat itu harus segera kubalas.

Wedangan bu Gendut perlahan-lahan mulai ramai. Aku berpindah dari kursi depan menuju kursi kayu samping yang masih kosong. Aku berjalan perlahan, mengambil gelas teh panasku yang sedikit berkurang dan meletakkannya dengan pelan. 

Kusandarkan punggungku di tembok pagar, memejamkan mataku sejenak sambil memilah dan memilih kata-kata yang tepat. Enaknya aku bales apa ya?

Tek..tek..tek…

Aku mengetik pesan itu dengan seksama. Hanya beberapa kalimat. Kupandangi pesan yang kuketik itu dengan penuh pertimbangan. Kuyakinkan diriku, kupencet tombol send dan voila…

Pesan yang berbunyi:
“Rahasia, kalau komiknya udah kelar semua, nanti aku bilangin ke kamu.” Itu akhirnya terkirim.

Pesan itu aku yakin akan melintasi jagad ruang dan waktu meluncur menuju handphone ke gadis perempuan berambut pendek yang dulu pernah kucintai secara fiktif.

***

Aku tiba-tiba berada di lereng bukit nun jauh di sana. Dia berada di sampingku, gadis perempuan berambut pendek yang dulu pernah kucintai secara fiktif. Dia memakai jumper berwarna hitam. Kita hanya berdua saja, menunggu kembang api yang akan dinyalakan di balik perbukitan. langit malam ini cerah. Kita berdua yakin, sisa-sisa api dari festival kembang api dibalik bukit pasti terlihat dari tempat ini. 

Aku masih saja memperhatikan pucuk-pucuk daun pinus yang tengah menyelimuti bukit itu dengan rimbun. Suara pelan dan cukup lirih terdengar, mengejutkanku dan membuatku menoleh ke arahnya. Dia memandangku perlahan.

“Mas, kenapa sih kamu menjadikan aku sebagai karakter utama di buku komikmu?”

Aku diam. Sama diamnya dengan dia saat memandang langit gelap bergradasi biru tua dengan bercak-bercak bersinar putih yang membuatnya makin anggun malam ini.

“ Ctaaar!!! Byarrr!!! Byarrrr!!! Prak!!!!! ”

Kembang api berasal dari belakang bukit itu membuyarkan keheningan kami. Aku bahkan belum sempat menjawab pertanyaannya.

Kilau kembang api yang berpijar di malam hari memang benar-benar keren. Aku tersenyum kecil. Aku rasa aku sudah menemukan jawabannya.

Aku menoleh kearahnya. Dia memandangku dengan wajah berbinar dan penuh perhatian.

“Dibikin tokoh komik sama seseorang itu kayak dibikinin lagu cinta sama pacar.”

Aku berkata kepadanya dengan suara bergetar. Suasana dingin malam itu memaksaku untuk memasukkan tangan ke jaket tebal ini. Matanya yang bulat menyiratkan tanda Tanya besar mengenai pernyataanku. Segera saja kuperjelas dengan satu kalimat spontan.

“ Gregetnya bakalan nongol kalau sudah selesai :j”

Kata-kataku itu melintasi jagad ruang dan waktu meluncur menuju alam bawah sadarku dan membangunkan aku dengan segumpal perasaan hangat di dada.

Mimpi aneh itu membuatku sedikit bimbang mengenai ‘seberapa fiktifkah’  sebenarnya aku mencintai dia?

***

Pagi itu suasana perpustakaan ISI Surakarta sangat lengang. Sepertinya aku terlalu pagi datang ke tempat ini. Sudah satu tahun lebih semenjak aku menjadi sarjana dan keluar dari kampus ini. Perpustakaan ini mendadak menjadi lebih canggih. 

Aku menengok jam dinding di dalam perpustakaan tersebut, baru pukul 09.30 WIB. Masih tersisa setangah jam lagi sebelum aku bertemu dengan gadis perempuan berambut pendek yang dulu pernah kucintai secara fiktif.

Aku mengeluarkan satu buku ‘Proposal Untuk Presiden’ dari tas Consina-ku. Ada sebidang tempat kosong dibawah ucapan terimakasih. Tugasku kali ini adalah mengisi bidang kosong itu dengan tanda tangan. Enaknya aku isi apa ya? Berbagai alternatif ilustrasi dan kata-kata bijak bersliweran di otak sejak kemarin malam, namun semuanya terlalu norak untuk aku tulis di buku ini. 

Apa ya? 
Aku mencoba menginventaris semua ide yang ada.

Gimana kalau Gambar aku dan Rabu menghadap kamera, kami berdua tersenyum. Tangannya mengacungkan huruf ‘v’, sementara aku sok cool. Di atas kami ada kata-kata bijak “ Bagi dunia, mungkin kamu hanya seseorang. Namun bagi seseorang kamu adalah dunia”. 

Norak. Enggak jadi aku gambar. 

Lanjut ke ide selanjutnya.

Atau gini, Gambar sederhana versi lucid dream di atas bukit saat menanti kembang api. Keren sih, tapi kayaknya bakal menjadi gambar yang membingungkan. 

Apalagi jika dipasangkan dengan kata-kata   “Dibikin tokoh komik sama seseorang itu kayak dibikinin lagu cinta sama pacar. Gregetnya bakalan nongol kalau sudah selesai :j”. 

Mengerikaaan!!!! Cari alternative ide yang lain.

Apa ya? 
Aku mencoba untuk kembali ke niat awal aku membuat komik ini. Media pengingat. 
Oh iya, hanya sekedar media pengingat. Tak kurang dan tak lebih. Kedua ide sebelumnya hanya angan-angan kosong dengan balasan penuh harap yang berlebihan.

Sekali lagi aku memikirkan segalanya dengan lebih sederhana.

Kurasa aku sudah menemukan sesuatu yang ingin aku gambar. Segera saja kucorat-coret halaman ucapan terimakasih itu dengan pensil.

Sret… sret… sret..

Setelah kurasa sketsa itu cukup mantap, aku segera menebalinya dengan spidol hitam. Hanya perlu beberapa menit untuk membuat sketsa itu menjadi tampak jelas dan artistik. 

Sekarang aku hanya tinggal menambahkan satu kalimat yang mewakili perasaan fiktifku Selama ini. Tidak terlalu sulit.

Aku tersenyum puas. 

Aku menutup buku tersebut dan menunggu dia datang. Menunggu dia datang dan mengakhiri semua kisah fiktif tersebut.

***

Hari ini Adalah satu tahun semenjak aku galau di wedangannya Bu Gendut dan satu tahun saat lucid dream itu terjadi. Aku enggak nyangka komik debutku dengan dia sebagai karakter utamanya bisa kelar dan bahkan terbit di Toko Buku. Katanya sih bulan Juli bakal mulai menyebar. Aku bercerita banyak hal di Bab 3.
Bab paling melelahkan dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’. 

Di bab ini aku melakukan beberapa penelitian. Aku mengirimkan banyak SMS untuk dia mengenai hal-hal yang bersifat personal. Aku melakukan wawancara dengan beberapa teman jurnalis dan bahkan aku men-download banyak data untuk kepentingan logika dunia sang karakter mahasiswi magang. Komik ‘Proposal Untuk Presiden’ sudah selesai.

Hari ini adalah lima tahun semenjak aku mengambil Mata Kuliah Agama Islam. Gadis yang kucintai secara fiktif itu ternyata benar-benar membuatku bersemangat untuk menyelesaikan Mata Kuliah Agama Islam. 

Antara percaya dan tidak percaya, aku akhirnya lulus Mata Kuliah Agama Islam. Entah fiktif atau bukan aku tidak perduli. Berkat dia aku bisa lulus Mata Kuliah Agama Islam. Kalau pengen lebai. Berkat dia aku bisa menjadi Sarjana Seni Men! 

Ah sepertinya memang terlalu lebai.
Doi kurasa bakal mrinding dangdut kalau denger aku berteriak-teriak pakai kalimat tersebut.

Hari ini. Satu hari setelah aku beranjak dari sofa berwarna coklat di ruang tamu. Malam ini suara tadarusan yang kudengar semalam telah hilang entah kemana. Aku masih terus berjuang untuk menyelesaikan postingan ini. Kopi hitam di mug sudah mulai mendingin. sedingin masa lalu yang tidak bisa kau ulangi lagi. 

Kalau boleh jujur, aku kangen masa-masa itu. Masa-masa dimana aku meletakkan tas Consina-ku di kursi perkuliahan dengan mencatolkannya pada kayu tempat punggungku bersandar. 

Aku kangen bau pengap ruangan gedung F, langit cerah pagi itu, angin kering yang berhembus kencang dan mengakibatkan daun-daun kering itu berguguran. Beneran kangen Men...

Namun yang paling aku kangenin adalah perasaan jatuh cinta tiba-tiba. 
Entah fiktif atau dengan siapapun tidak jadi soal.

Hari ini adalah satu minggu setelah pertemuanku dengan Rabu di perpustakaan ISI Surakarta. Tidak ada pertemuan yang dramatis. Percayalah, kami hanya ngobrol seperlunya, menyerahkan komik, kemudian kami berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing. 

Kalian ingin tahu gambar apa yang aku coretkan di halaman ucapan terimakasih untuknya? Gambar tersebut adalah ilustrasi aku dan dia yang berjalan saling memunggungi. Dia berjalan tersenyum dengan mata terpejam dan aku hanya menoleh dengan tanda Tanya kecil. Di sampingnya ada tulisan cukup kecil, tulisan yang kurasa paling pas untuk cerita aneh nan fiktif kami. 

Tulisan itu berbunyi “ Setiap pertemuan memiliki kisahnya masing-masing. Enjoy everything”.

Aku mungkin tidak bisa mengulang masa-masa perkuliahanku, namun aku akan mencoba untuk mengulang perasaan jatuh cinta secara tiba-tiba dengan orang lain mulai hari ini.


Psssttt!!!!, kalau kalian juga pernah mendapatkan SMS yang berbunyi:
“Mas, kenapa sih kamu menjadikan aku sebagai karakter utama di buku komikmu?”

segera saja balas dengan pesan: “Itu karena aku naksir kamu, Bego”. 
Niscaya akan ada kisah yang berbeda dengan apa yang kalian baca di postingan ini.

Begitulah kisah ‘draft sms’ yang hingga hari ini belum aku hapus.
Dengan terpostingnya tulisan ini aku akan menghapus ‘draft sms’ tersebut dan semoga juga aku bisa menghapus kisah fiktifku dengan Rabu. 


Mujix 
aku paling suka
ending yang nge-twist
dan tidak tertebak.
apakah kisah aneh ini sudah berakhir?
sepertinya belum
Simo, 30 Juni 2015