Sirius Black
Aku menatap keyboard komputerku dengan seksama. Kedua tanganku sebenarnya sudah
stand by dengan ganteng (yah anggap
saja kedua tanganku memiliki wajah), tapi entah kenapa tidak ada kata-kata yang
terketik. Andaikata ada sesuatu yang terketikpun, beberapa detik kemudian aku delete dengan helaan nafas menggerutu.
Begitulah, kalimat-kalimat yang sekarang kalian baca adalah kalimat-kalimat
yang paling jujur hari ini. Kalimat-kalimat yang tercipta setalah aku menekan
rasa malasku untuk nge-blog lagi, setelah entah beberapa minggu aku terjebak di
dunia antah berantah bernama kesepian. Ceileeh. Serius amat milih kalimatnya.
Serius. Beberapa jam yang lalu aku terhenti
dari aktivitasku menggambar komik. Berhenti sejenak mengambil rehat sambil
memandang ke luar jendela. Sepertinya aku terlalu serius hari ini. Ada saja
hal-hal yang membuatku pusing. Masalah dompet, masalah grup komikus, dan
masalah-masalah sepele lainnya. Aku menganggapnya sepele karena aku dulu pernah
mengalami hal-hal yang lebih berat dan menuntut banyak komitmen. Misalnya
menyelesaikan studi S1ku. Aku sadar, Sepertinya
aku terlalu serius hari ini. Kurasa bukan hanya hari ini, disepanjang aku hidup
di dunia yang fana ini, aku telah menjadi sosok orang yang sangat serius.
Oke. Aku sudah mengetik postingan ini
sampai di paragraph kedua. Apakah perlu aku save?
Gak usah di-save dulu deh, andaikata ilang ya udah. Anggap saja postingan ini
terlalu serius untuk dilanjutkan.
Apabila dikatagorikan, banyal sekali hal yang
kuanggap cukup serius. Enggak punya uang itu serius, enggak punya pacar itu
cukup serius, enggak punya pacar sekaligus enggak punya uang itu super-duper
serius. Sebenarnya kalau mau jujur, sumber penderitaan manusia yang paling
abadi ialah ketika mereka terjebak dalam lubang nista dalam memenuhi kebutuhan.
Permasalahan yang abadi nan pelik. Namun untuk postingan kali ini, aku hanya
membicarakan hal-hal yang fun semacam
membersihkan ruang kerja.
Ruang kerjaku berada di belakang televisi,
bahkan berada disatu meja panjang berwarna coklat. Beberapa bulan sebelumnya
ruangan kecil itu tidak terpakai. Hanya ruang kosong tempat pemberhentian
barang-barang semacam cucian kotor, tumpukan buku tidak terpakai, hingga
lukisan gagal dari proyek yang juga gagal. Bukan hal yang aneh jika ada sempak
nangkring yang bergumul dengan kuas lukis diatas meja. Bukan hal yang aneh. Baru
setelah aku memutuskan untuk serius mengerjakan skripsi, ruangan itu aku benahi
menjadi tempat pribadi.
Di meja kerja yang menjadi satu dengan
televisi, terdapat banyak komik Indonesia tersusun rapi. Komik-komik itu adalah
koleksi berhargaku. Cukup banyak, seakan-akan menjadi benteng kecil untuk
mengabadikan waktu dan pencapaian. Gimana enggak, setiap aku membeli komik (baik
itu yang lokal maupun interlokal) selalu ada tanggal pembelian dan terkadang
ada pengingat bagaimana aku mendapatkan buku tersebut. Kira kira seperti ini
formatnya:
“Mujix, tanggal sekian, bulan sekian, tahun
sekian. Uang dari pembelian buku ini didapat dari honor juri dikampus anu. ”
Terus sret-sret-sret, kasih tanda tangan deh.
Begituh. Bisa dibilang semua gajiku habis
hanya untuk makan dan beli buku. Kecuali untuk yang satu ini. KOMPUTER.
Kapan-kapan di postingan lain akan aku ceritakan asal muasal komputer ini.
Tempat pribadi yang dulu berdiam banyak
barang, sekarang sudah berevolusi menjadi ruang kerja yang sederhana. Tinggal
beberapa langkah lagi untuk mewujudkan studio komik impianku. Hari-hari datang
dan pergi, meninggalkan banyak sisa-sisa pencapaian. Berlembar-lembar kertas
skripsi yang tidak berguna bertumpuk di sembarang tempat. Serpihan-serpihan
penghapus hasil proyek komik membuat kotor seluruh lantai. Rumah rayap yang
hancur menjadi tanah membuat ruangan tersebut makin berdebu. Baiklah, kurasa ini
saatnya untuk membersihkan ruang pribadiku.
Proses membersihkan ruang kerja terkadang
aku gunakan sebagai terapi stress. Hal-hal semacam buku yang berantakan aku
andaikan sebagai beban pikiran. Tugasku sederhana, aku hanya perlu memindahkan
buku itu ditempat yang semestinya, dan mengasosiasikan pemindahan buku itu
sebagai pelepasan beban pikiran. Jadi semacam ada perjanjian sakral yang
berbunyi:
“bersihkan ruang kerjamu seperti kamu
membersihkan pikiranmu”.
Jadi, apabila ruang kerjaku sudah tertata
rapi secara otomatis alam bawah sadarku mengatakan bahwa ‘semua hal dipikiranku
juga sudah tertata rapi’. Ketika semuanya rapi, bukankah sangat menyenangkan
untuk memulai sesuatu yang baru.
Baiklah. Sepertinya postingan ini aku harus
save.
Selain menata buku, pekerjaan lain saat aku
membereskan ruang kerja adalah meyapu lantai. Di tempat ini sangat rawan rayap.
Aku harus sesering mungkin memastikan tidak ada rayap yang membuat sarang di
berbagai sudut. Tahun lalu komik-komikku menjadi korban karena aku lalai
memperhatikan. Dulu semua komik aku letakkan di kardus besar. Kardus-kardus itu
aku tumpuk di samping tembok. Terlupakan beberapa bulan dan tersadarkan oleh
bunyi suara tikus.
Terlenakan beberapa bulan karena urusan
skripsi dan rasa malasku yang membabi buta, Kardus-kardus itu ternyata menjadi
sarang tikus dan dimakan rayap sekaligus. Perasaanku dulu nggondok dan pengen teriak ‘Kampreeeeet!!!”. Sebel banget.
Nasi sudah menjadi bubur, bubur dipake buat sarapan.
Semua komik sudah hancur, saatnya hal itu menjadi pelajaran. Ciyee pantun
Nasi sudah menjadi bubur, bubur dipake buat sarapan.
Semua komik sudah hancur, saatnya hal itu menjadi pelajaran. Ciyee pantun
Serius. Buku-buku komik favorit menjadi
sarapan tikus dan rayap itu ternyata bagiku adalah peristiwa yang cukup serius.
Dari peristiwa itu aku belajar untuk lebih peka terhadap lingkungan, belajar
lebih sering melongok sudut-sudut yang tak terlihat. Bukankah manusia memang tidak bisa terlepas dari hal-hal yang
tak terlihat. Seberapa sering aku harus berpura-pura happy dihadapan orang lain. Sepertinya bukan hanya aku yang terlalu
serius hari ini?
Mujix
abis ngasih tanda tangan
di komik debut untuk
beberapa teman yang telah membantu.
berasa jadi artis semalem gaes.
Simo, 23 Juni 2015
<< Beranda