megamendungkelabu

Selasa, 09 Juni 2015

Sore Sebelum Kencan Pertama

Di suatu sore yang sebenarnya cukup terik, kami berteduh dibawah pohon rindang di depan Masjid Kalimasada. Bayangan dari pepohonan sepertinya makin gelap pekat gara-gara terkena sinar matahari. Kami, ah sebenarnya hanya aku dan beberapa teman kuliah yang tengah asik mengobrolkan tentang ‘entah apa’. Aku duduk diseberang tak jauh dari mereka, menatap nanar dan mencoba untuk tetap mempertahankan akal sehatku. Akal sehat, sesuatu ‘benda’ paling penting yang harus tetap ’sehat’ agar aku tidak gila.

Beberapa hari ini banyak  hal yang membuatku gila. Misalnya, acara televisi yang penuh ‘drama semu’ gak jelas, yah salahku sendiri sih, ngapain juga harus nonton televisi. Hal yang cukup bikin gila lagi adalah kondisi badan yang bawaannya lemes mulu, sama koneksi internet yang lemotnya minta ampun. Gitu deh, beberapa hal gila lain tidak bisa aku tuliskan di dalam postingan ini. Saat ini bulan Ramadhan hanya menunggu hitungan hari, dan ditandai dengan rutinitas yang cukup akrab. Salah satu rutinitas tersebut adalah pengajian di Masjid Kalimasada.

Dari tempat ini aku bisa menyimak aktivitas pengajian tersebut, aku hanya menyimak saja dari kejauhan, tak ada keinginan sedikitpun untuk ikut bergabung dengan majelis tersebut. Suara pembicara pengajian itu terdengar santun dan membelai sore tersebut menjadi lebih khusuk. Tak ada perlawanan yang berarti dari diriku. Entah sudah berapa kalimat yang pembicara itu lontarkan di pengajian tersebut, aku tidak terlalu ingat, aku terlalu sibuk dengan pikiranku sendiri. Beberapa patah kata yang menempel diotakku dari pengajian tersebut adalah ‘manusia masih harus banyak belajar untuk bisa berkawan dengan Tuhan’. Ya benar, Berkawan. Bukan menghamba seperti budak seperti yang biasa diceritakan para orang suci.

Sebenarnya ada beberapa alasan lain yang memaksaku untuk tidak meninggalkan tempat itu. Perempuan. Alasan itu bernama 'Perempuan'. Perempuan yang hingga hari ini menjadi ‘penghalang’ rapuhnya hubungan pertemananku dengan Tuhan. Perempuan itu duduk mengenakan baju serba hitam, mendengarkan pengajian dengan khidmat dan sesekali tangannya bergerak membetulkan letak penutup kepalanya yang juga berwarna hitam.Seperti biasanya, perempuan itu tak menoleh sedikitpun ke arahku.

Aku tersenyum kecut. Gara-gara dia, Malam-malam akhir ini tidak seperti malam-malam yang dulu aku lalui. Aku sering terjaga di tengah malam buta, bermimpi banyak hal yang sebenarnya buruk namun aku menyukainya. Aku sudah sering terjebak disituasi seperti ini, hanya menunggu masalah waktu saja agar aku bisa terbiasa. Bukankah kehidupan kita  sehari-hari itu hanya berisi sekumpulan kebiasaan?

Salah satu kebiasaan ‘semesta’ yang paling aku suka adalah takdir yang datang dan tak tertebak. Seperti saat ini, tiba-tiba dua orang perempuan datang. Datang dan akan mengubah banyak takdir dimasa depan? Mungkin saja. Perempuan pertama adalah kawan sekelasku, aku cukup akrab dengannya, benar-benar berkawan. Aku menjabat tangannya perlahan, tangannya yang kecil dan kurus. Tangan kecil yang kurus itu di-kamuflase dengan handband dan jam tangan agar terlihat lebih trendi. Ah..ternyata di dunia ini masih ada tangan yang lebih kecil daripada tanganku.

“Ngapain di sini Jix?” dia bertanya sambil mengambil jarak agar temannya bisa bersalaman denganku.

“Biasa Ta, nongkrong” ujarku. Ya, temanku ini bernama Paramita. Teman seangkatan di kampus. Entah sudah berapa kali aku dan dia terjebak di tugas kampus yang sama. Perempuan yang berada di belakangnya  Paramita, aku lupa namanya. Siapa ya? Ah sudahlah, Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’ itu mengenakan topi sinterklas kecil. Wajahnya yang bulat itu semakin diperhalus dengan rambut gaya ekor kuda. Namun yang paling aku ingat adalah poni kecil di dahinya yang terkadang tertiup angin. Aku juga menjabat Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’ itu dengan tersenyum.

Paramita dan temannya duduk di sebelah kiriku. Mata Paramita mencari sosok orang diatara kerumunan para peserta pengajian. Sepertinya dia menemukan siapa yang ia cari, Perempuan. Perempuan yang duduk mengenakan baju serba hitam Perempuan yang hingga hari ini menjadi ‘penghalang’ rapuhnya hubungan pertemananku dengan Tuhan. Perempuan yang membuatku sering tersenyum kecut. 

Paramita diam sejenak lalu menoleh kearahku dengan pertanyaan yang tidak bisa aku jawab.

“Kamu masih sering kepikiran soal perempuan yang ‘kaya tapi mirip pengangguran’ itu Jix?”
Pengangguran? Dasar, memang sih dia belum lulus kuliah, tapi juga enggak gitu juga kali. Aku sedikit menelan kata-kataku dan terus diam seribu bahasa. Btw aku dan Paramita sama-sama sudah menjadi sarjana seni. Ciyeee sing sarjana seni.

“Woy, jawab dulu kenapa sih? Baiklah aku ganti pertanyaan” Paramita tertawa, dan perempuan yang ‘aku lupa namanya’ itu hanya tersenyum.

“Jix, Kamu masih suka deg-degan kalau ketemu dia?”
Deg-degan? Dia bertanya kalau kisahku dengan perempuan itu kisah cinta ‘menye-menye’ ABG saat SMA, tentu saja kutampik pertanyaan tersebut dengan jawaban yang diplomatis.

“Biasa aja, Ta”
Matanya mulai menyipit sambil menahan tawa.

“Beneran biasa aja?Bohong Dosa lhooh”
Dosa? Gokil!! Urusan cinta ‘menye-menye’itu tiba-tiba saja menjurus kearah ‘dosa’, tinggal selangkah lagi menuju tema ‘Surga-Neraka’. Ampun Bos!!

“Euhh, gimana ya? Bingung Ta, aku ralat deh, terkadang masih suka salting gitu sih” Sebuah pengakuan yang beberapa detik kemudian akhirnya kusesali.

“Yeeey, aku bilangin ke dia ah!!!” Paramita bersorak kemudian berlari menuju perempuan berbaju hitam tersebut. Kampret!! Harusnya tadi aku diam saja. Paramita meninggalkanku dengan Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’.

“Hahaha, tenang aja Mas, Tata enggak mungkin bilang soal itu sama dia kok” perempuan itu membuka obrolan dengan hangat. Aku menoleh kepadanya, sambil bersusah payah mengingat siapa namanya.

“Iya, dia emang suka bercanda sih, Mbak” baiklah aku mengambil jarak aman. Aku memanggilnya ‘Mbak’. Perempuan itu tersenyum, memandangku perlahan kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Paramita dan Perempuan berbaju hitam.

“Dunia perempuan itu terkadang  aneh Mas” oke, kali ini bakal ada kisah  ‘mas-mas’ dan ‘mbak-mbak’  yang ingin melalui suatu sore ini dengan tema ‘dunia perempuan yang aneh’.

“Saya tahu dari Paramita kalau mas-nya naksir perempuan itu udah dari dulu lhooh” ARRRGGGGGGHHHH!!!!! Kenapa Paramita harus ‘ember’ juga ke orang lain gitu sih!?Aku mencoba untuk tetap tenang, walau keringat dingin mulai mengucur di pelipis.

“Mas-nya kan pinter, suka bekerja keras dan sepertinya sudah mati-matian mengejar dia. Kok masih bisa ya dia nolak gituh?”ya, benar-benar mati-matian, aku bahkan sadar fakta tersebut.  Kami terdiam cukup lama, dan aku juga tidak menjawab pertanyaan itu, semuanya masih memungkinkan untuk bercengkrama dengan hening.

“Udah Mas, saya cabut dulu ya” Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’ itu berdiri kemudian berpamitan.

“Enggak nunggu Paramita?” tanyaku.

“Enggak mas, kayaknya dia bakalan lama disana.  Mari mas…”
dia berjalan didepanku dengan perlahan.Aku memperhatikannya dengan seksama dan tanpa sadar terucap sepatah kata.

“Hei’ teriakku untuk menghentikan langkahnya.

“Iya, ada apa mas?” Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’ itu diam sejenak dan menoleh ke arahku.
“Aku enggak percaya kalau aku ini orangnya ‘pinter’ dan ’suka bekerja keras’ seperti kata ‘Paramita’” entah setan mana yang mempengaruhiku untuk berkata seperti itu, atau mungkin hanya sekedar respon kecil atas pertanyaannya yang belum terjawab.

“Terus?” perempuan itu bertanya lagi.

“Hm... PR-ku masih banyak Mbak. Aku enggak sebaik itu, aku masih dalam proses memantaskan diri, aku masih harus banyak belajar, dan aku juga belum cukup berkawan baik dengan Tuhan”

“Hahahaha, kenapa jadi cyrhat serius gitu sih Mas?” Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’ itu tertawa kecil.

“Yah, Maksudku euh… yang serius ini nih, ehm..minggu depan kamu luang?” aku memejamkan mataku perlahan dan memandangnya dengan penuh keseriusan.

“Maksudnya?”

“Aku pengen ngajak kamu keluar, kemana gitu”

“Hihihihihi” Perempuan yang  ‘aku lupa namanya’ itu bahkan tidak berbalik atau berjalan ke arahku. Kami terjebak di sebuah perbicangan kecil yang aneh.

“Euuh, atau kalau enggak, temanmu yang manis bo..boleh kok diajak juga, aku habis gajian royalti komik, nanti aku traktir deh” aku mencoba mengeluarkan apa yang berada dipikiranku melalui kata-kata.

“Ciyeee, jadi mulai udah bisa move on nih?”

Aku menoleh ke arah perempuan yang sedang  duduk mengenakan baju serba hitam, Perempuan yang hingga hari ini menjadi ‘penghalang’ rapuhnya hubungan pertemananku dengan Tuhan. Perempuan yang membuatku sering tersenyum kecut. 

“Insyaallah!!” jawabku sambil memasukkan tangan ke saku celana jeansku.

Ya.suatu sore yang sebenarnya cukup terik itu sepertinya mulai perlahan menjadi dingin.

Mujix
sedang menjadi komikus yang
males menggambar. makanya
ditulis aja kali ya?
Boyolali, 9 Juni2015