Letters To You
Hei, Kamu yang ada di situ, apa
kabar? Kalau aku enggak salah saat ini kamu pasti sedang berusaha menyelesaikan
studi S-1. Aku enggak tahu progressmu udah nyampe mana, tapi yang pasti kita
udah lama banget tidak ketemu.
Kalau enggak salah pertemuan terakhir
kita adalah di gedung rektorat, aku sedang sok sibuk ngurus ijazah sarjana
(yeeeeah, tepuk tangan duluuuh!) dan saat itu kamu sedang mengurus…. Euh… Saat
itu kamu sedang mengurus apa sih? Aku ampe lupa nanya.
Di pertemuan itu ucapan
‘selamat wisuda’ yang kudengar darimu adalah sinyal dari Tuhan bahwa itu momen
terakhir kalinya aku melihat kamu. Ternyata memang bener. Semenjak saat itu
kita tidak lagi dipertemukan oleh takdir.
Sedikitpun. Sempurna dan tanpa celah.
Gimana enggak? Setelah itu, beberapa
kali aku ke kampus tidak terlihat satupun batang hidungmu.
Beberapa kali
sengaja lewat depan rumahmu tak nampak secuilpun ekormu.
Kok enggak SMS atau telfon?
Maaf nomer handphone-mu sudah aku
hapus semenjak beberapa tahun yang lalu. Beneran sudah hilang. Kurasa itu cara
terbaik agar aku tidak menghubungimu lagi, cara termanis biar aku bisa segera move on dari kamu, dan cara paling kasar
supaya aku bisa menjadi kuat karena melepasmu sebagai batu pijakan.
Nomer
handphone-mu seperti pisau bermata dua. Terkadang bisa membuatku bahagia,
terkadang bisa membuatku terluka dan tewas seketika. Lebai.
Ketok pintu rumah dong!
Ketok pintu rumah!? Kamu sudah
gila!!? aku yang bukan ‘siapa-siapa’ ini sepertinya bakal terlihat ‘konyol’
sekali apabila nekat mengetok pintu rumahmu dengan sembrono. Enggak mungkin aku
mengetok pintu rumahmu. Hal paling berani yang sekarang aku lakukan adalah
melewati depan rumahmu dengan menggunakan sepeda motor pada kecepatan 30
km/jam. Yah, selambat itu sambil berharap di waktu sepersekian detik itu aku
dan kamu bisa bertemu dalam imaji semu yang kian sendu. Ceileh.
Terakhir kali saat kita bertemu,
rambutmu makin panjang. Aku sedikit takjub. Enggak nyangka kamu memanjangkan
rambut. Sejak pertama kali kita berkenalan, rambutmu selalu sepundak, terkadang
malah lebih pendek. Sepundak, sebahu atau sepunggung, buatku yang saat itu
sedang dimabuk cinta hal-hal tersebut hanyalah butiran debu di semesta yang
luas ini. Ajegile sekali sih.
Sudah satu tahun lebih semenjak
pertemuan kita di gedung rektorat.
Kamu kangen aku gak sih? What!?
Pertanyaanku terlalu sensitif?
Ya
udah aku ganti deh.
Kamu pernah enggak sih sekilas
saja mengingatku?
Tau durasi 'sekilas' gak? Sekilas itu kira-kira durasinya sama kayak saat terpapar sinar mentari pagi
yang datang mendadak menyilaukan mata, lalu kamu menutup mata dengan cepat.
Ya
kira-kira durasinya satu sampai tiga detik. Aku enggak berharap kalau kamu
memikirkanku sih. Tapi perlu kamu tahu, aku memikirkanmu setiap hari.
Setiap hari, kamu tahu maksud
dari kata ‘setiap hari’? iya, dari senin sampai senin lagi. Tentu saja dengan
syarat dan ketentuan berlaku. Hanya saja, akhir-akhir ini ‘syarat dan
ketentuan’ itu tidak berlaku lagi. Sejak kapan sih ‘cinta gila’ mau tertib
mengikuti ketentuan dan aturan yang terlalu bersyarat.
Pokoknya, Aku memikirkanmu setiap hari, titik.
Saat ini aku benar-benar ingin
bertemu kamu. Aku ingin pamer komik debutku. Gimana enggak ingin pamer, aku
tahu kamu juga ingin jadi komikus. Sejak dulu kita berdua ingin jadi komikus.
Aku ingat saat kamu berdiri di depan kelas saat berkata dengan tersenyum-senyum
bahwa kamu ingin jadi kartunis.
Saat itu harusnya aku meralat ucapanmu kalau ‘kartunis’
yang kamu maksud pasti ‘komikus’.
Namun apa daya, pemahamanku tentang komik saat itu masih sangat payah. Namun kalau dipikir-pikir lagi, aku rasa tidak ada
yang perlu diralat. Biarkan saja semuanya mengalir begitu saja.
Iya, komikku udah jadi nih, satu
buku, dan ada nama ‘Mujix’ nongol sebagai nama pengarangnya. Sialan, aku
beneran pengen pamer sama kamu. Kamu masih bikin komik? Aku tentu saja masih
membuat komik. Hanya saja saat ini aku sedang terjebak dalam titik jenuh yang
paling klimaks.
Semenjak komik debutku kelar, aku benar-benar kehilangan alasan
untuk membuat komik lagi. Hari ini entah sudah hari yang keberapa dimana aku
hanya bengong di depan meja gambar dan tidak melakukan apapun.
Tidak melakukan apapun, Tidur
lebih sore, bangun lebih siang, kemudian berpindah ke meja komputer untuk
membaca komik Detective Conan atau sekedar memutar lagu-lagu kesayangan.
Hari-hariku akhir-akhir ini seperti itu.
Aku sering terbangun ditengah malam, menyeduh teh pahit di mug
kesayangan kemudian duduk di beranda hanya untuk bengong.
Kehilangan alasan itu
seperti kehilangan jiwa. Kehilangan alasan itu seperti menunggu balasan pesan
singkat dari kamu. Tidak melakukan apapun namun capek sendiri.
Menurutmu apa yang harus aku
lakukan?
Aku terkadang berharap ada pesan
singkat dari kamu masuk ke handphone-ku. Sekedar menanyakan kabarpun tidak
masalah. Asalkan itu dari kamu.
Bukan dari Indosat.
Bukan dari Indosat.
Benar-benar berharap ada
pesan singkat dari kamu. Dan hingga hari ini pesan singkat itu tidak pernah
datang. Sepertinya aku salah berharap akan ada pesan singkat dari nomer
handphone yang telah aku hapus semenjak beberapa tahun yang lalu.
Seperti aku
salah berharap bahwa bahagia itu bisa diciptakan dalam sekejap mata asalkan aku
mau mempercayainya.
Hei, Kamu yang ada di situ, apa
kabar?
Kamu belum menjawab pertanyaanku. Keadaanku saat ini sangat payah.
Alasan-alasan yang kuharapkan datang agar aku bisa terus melangkah itu belum juga muncul.
Alasan-alasan yang kuharapkan datang agar aku bisa terus melangkah itu belum juga muncul.
Saat ini yang bisa aku lakukan hanya menunggu, setidaknya sampai
sang takdir memaksaku dengan kasar seperti saat Dia memaksaku untuk jatuh cinta
kepadamu.
Kira-kira seperti itu.
Kapan-kapan aku akan menulis surat lagi buat kamu. Semacam surat cinta berisi curhatan oleh 'komikus berambut kribo' ini agar dia tidak gila.
Empat kali empat enam
belas, sempat tidak sempat harus dibalas.
Euuuh... tapi enggak sempet membalas juga gak papa sih.
Bagimu, aku mah apa atuh. Sampai jumpa.
Mujix
Aku bohong.
Aku tahu kok kalau
Kamu udah sampai
Di tahap ujian pendadaran.
Selamat ya. Miss you.
<< Beranda