megamendungkelabu

Rabu, 12 Agustus 2015

Wipiiiii….Wipiiiii….

“Wipiiiii….”
“Wipiiiii….”

Suara bernada kecil aneh itu perlahan semakin mendekat ke arahku yang sedang berkutat mengedit komik dengan Adobe Photoshop. Aku sangat hapal siapa pemilik suara kecil tersebut, aku sangat paham sekali apa maksud suara kecil tersebut.

Pemilik suara kecil itu akhirnya muncul dari balik lemari. Aku menoleh dengan sedikit memincingkan mata, ya, tuyul tengil itu muncul lagi. Tuyul tengil tersebut adalah Gantar, keponakan semata wayang yang saat ini sedang belajar berjalan.

“Wipiii…”

Kaki kecilnya membawa tubuhnya perlahan mendekati kursi tempatku duduk. Kedua tangannya diangkat dengan sedikit oleng kesana kemari bagai pemain sirkus yang sedang menjaga keseimbangan di seutas tali. Wajah gantar selalu berseri-seri, apalagi  jika mengetahui kalau aku sedang mengerjakan sesuatu di depan komputer.

Iya. komputer.

Gantar mengartikan ‘komputer’ sebagai ‘televisi’.  Kata ‘televisi’ ternyata menjadi ‘Wipiii…’ apabila diucapkan oleh seorang ‘bayi doyan ngiler yang sedang belajar berjalan’.

Hahaha. Lucu sekali bukan. Selain kata ‘Wipiii…’ gantar sudah bisa mengucapkan banyak kata  yang lain. Nih aku lampirkan beberapa  yang sering dia ucapkan:

‘nono’:  mrono (ke sana)
‘nenek’: reneng (tidak ada)
‘ndak’: tindak (pergi)
‘uwik’: duwit (uang)

Dan masih banyak yang lainnya, males ah kalau harus nulis semuanya di postingan ini. Beneran males. Jangankan untuk nulis postingan, untuk bangun agak pagi agar bisa mengerjakan komik ‘Lemon Tea’ aja malesnya minta ampun.

Gantar sangat senang apabila aku ajak nongkrong di depan komputer. Kode untuk ‘aktivitas yang menyenangkan’  baginya sangat sederhana.  Kalau dia udah ‘nongol’ sambil berusaha memanjat kursi, sudah dapat dipastikan dia akan ‘mengambil alih’ computer ini dengan paksa.

Terkadang harga diriku serasa tercabik-cabik kala proses ‘sabotase’Gantar terhadap komputer itu berhasil. Rasanya seperti gebetan kamu ditikung sahabat sendiri. Sakit men.

Rasa sakit saat komputer di-sabotase Gantar biasanya terobati saat melihat wajahnya yang berseri-seri ketika aku pertontonkan video wildlife. Kalian tahu video wildlife? Itu lhoooh video yang isinya hewan liar, biasanya berada di libraries-nya program Windows. Apabila Gantar sudah duduk manis di pangkuanku dengan video wildlife yang diputar berulang-ulang mengunakan Gom Player, maka lenyap sudah kabut gelap bernama ‘rasa kusut’ di hidupku pagi itu.

Salah satu cara mengatasi  ‘rasa kusut’ adalah dengan mandi. Mandi keramas ala mbak-mbak seperti iklan shampoo di tipi-tipi itu tuuuh. Semenjak rambutku kribo lagi, waktu mandi adalah waktu dimana prosesi sakral bernama ‘keramas rambut’  itu berlangsung.

Aku berani bertaruh, menunggu  prosesi ‘keramas rambut’ kribo itu selesai, sama lamanya dengan menunggu cewek mandi saat akan berangkat nge-date. Lamaaa banget, sangking lamanya cewek yang mau nge-date itu sudah nikah, punya dua anak, terus anak yang kedua ternyata berambut kribo dan sedang melakukan prosesi ‘keramas rambut’.
Enggak kebayang ya gimana lamanya.

Gantar sangat senang apabila aku ajak nongkrong di depan komputer. Prosesi ‘keramas rambut’ juga menyenangkan, namun masih kalah dengan kebahagiaan Gantar saat berhasil ‘menduduki’ singgasana kursi kerjaku. Aku yakin 100%, sumber kebahagiaan Gantar saat ini salah satunya adalah ‘mengambil alih’ komputerku. 

Enak ya jadi anak kecil. Nemu komputer aja bisa bahagia gituh. Sementara manusia-manusia dewasa di luar sana, berjuang mati-matian untuk bisa sedikit berbahagia. Kalau dipikir-pikir lagi, sepertinya aku adalah salah satu  dari ‘manusia-manusia dewasa yang berada di luar sana’.

Buku bacaan terakhir yang aku baca adalah buku berjudul ‘(Why? Edu Comic Book-Social Science) Philosophy’. Buku itu berwujud komik full warna. Sinopsis Back cover buku ini dibuka dengan pertanyaan  “Mengapa manusia harus hidup?” “Kesenangan dan kesedihan itu apa?”, “Mengapa manusia harus percaya adanya Tuhan?”. 

Ajegile! Bener-bener buku tentang filsafat. Isinya random tapi seru, pembaca diajak untuk belajar berfilsafat dengan cara yang ‘menyenangkan’ melalui media komik.

Iya beneran, menyenangkan dengan tanda kutip. Kalau boleh jujur, dibuat semenyenangkan apapun yang namanya ‘ilmu filsafat’ tetep aja ending-endingnya bikin cekot-cekot kepala. Aku sudah tiga kali membaca buku bertema filsafat dengan media komik, dan hanya ada satu yang cukup nyanthol di pikiran. Sisanya? Sisanya membuatku ‘sinting pusing pala berbie’.
Aw.. Aw.. Aw..

‘(Why? Edu Comic Book-Social Science) Philospohy’ setidaknya lebih baik, komik penuh warna itu sudah aku baca hingga selesai, dari komik tersebut aku belajar cukup banyak tentang hal-hal baru mengenai gagasan besar bernama kebahagiaan. 

Hampir semua filsuf itu  kerjaannya cuman mikir dan mikir gaes.  Di buku ‘Filsuf Jagoan’ karya Fred van Lante dan Ryan Dunlavey, Plato berkesimpulan bahwa kebenaran sejati bersifat abstrak, dan seperti angka yang tidak pernah berubah, kebenaran itu abadi. Seabadi pencarianku akan  ‘sumber kebahagiaan’ yang enggak kelar-kelar.

Pada waktu SD, saat aku berumur 7 tahun, aku sangat menantikan hari minggu. Benar-benar menantikan hari minggu. Bagi aku saat itu, hari minggu adalah sumber kebahagiaan yang tak terkira. Gimana enggak? Dari pagi ampe siang hari isinya film kartun semua. Aku cukup berbangga terlahir sebagai anak 90’an. 

Tahun dimana kamu bisa galau dilemma karena harus memilih untuk menonton serial kartun Dragon Ball atau Crayon Shinchan. Bagiku saat itu, hari minggu adalah sumber kebahagiaan.

Saat ini aku hampir berusia 27 tahun. Jarak 20 tahun dari saat aku duduk di SD ternyata mengubah banyak hal. Hari mingguku saat ini tidak seceria yang dulu. Hari minggu hanya sekedar hari minggu. Di televisi sudah tidak ada lagi serial kartun Dragon Ball ataupun Crayon Shinchan. Hari mingguku saat ini sudah basi, nothing special.  

Hari ini bukan hari minggu. Hari ini adalah hari selasa yang seperti biasanya di tahun 2015. Beneran sekarang sudah jauh dari zaman 90’an.

Sumber kebahagiaanku saat ini sudah bergeser beberapa meter apabila dibandingkan saat aku kecil dulu. Beberapa menit yang lalu aku menonton anime Dragon Ball Super, namun atmosphere-nya beda banget. Bagus sih, tapi enggak se-greget yang dulu. 

Apakah karena usiaku saat ini yang udah hampir 27 tahun? 
Apakah karena aku menontonnya di hari selasa? 
Atau mungkin apakah kerena pemikiranku sudah mulai tergradasi oleh doktrin-doktrin kejam para filsuf? 
Who knows?

“Wipiiiii….”
“Wipiiiii….”


Suara bernada kecil aneh itu lagi-lagi mendekat ke arahku yang sedang menyelesaikan postingan ini. Hmm… Gimana yah, Kurasa aku harus cerdas mengambil potongan-potongan kebahagiaan di sekitar kehidupanku. Nemenin Gantar nongkrong di depan computer juga seru kok. Bahagia? Yah, lumayanlah, dapet mainan imyut yang suka ngilerin tangan. Kalo ilernya udah banyak dan belepotan ditangan, terus mandi deh. Pake prosesi ‘keramas rambut’? iya dong.

Punya rambut kribo tapi enggak dikramasin itu kayak punya pacar tapi enggak diapelin. Sesangar itu? Iya sesangar itu. 

Mujix
Ortuku besok mau balik
ke Bogor buat merantau.
Perasaanku rumit.
Apalagi jika mengingat kalau
aku belum membahagiakan mereka.
Simo, 12 Agustus 2015.