Wipiiiii….Wipiiiii….
“Wipiiiii….”
“Wipiiiii….”
Suara bernada kecil aneh itu
perlahan semakin mendekat ke arahku yang sedang berkutat mengedit komik dengan
Adobe Photoshop. Aku sangat hapal siapa pemilik suara kecil tersebut, aku
sangat paham sekali apa maksud suara kecil tersebut.
Pemilik suara kecil itu akhirnya
muncul dari balik lemari. Aku menoleh dengan sedikit memincingkan mata, ya,
tuyul tengil itu muncul lagi. Tuyul tengil tersebut adalah Gantar, keponakan
semata wayang yang saat ini sedang belajar berjalan.
“Wipiii…”
Kaki kecilnya membawa tubuhnya
perlahan mendekati kursi tempatku duduk. Kedua tangannya diangkat dengan
sedikit oleng kesana kemari bagai pemain sirkus yang sedang menjaga
keseimbangan di seutas tali. Wajah gantar selalu berseri-seri, apalagi jika mengetahui kalau aku sedang mengerjakan
sesuatu di depan komputer.
Iya. komputer.
Gantar mengartikan ‘komputer’
sebagai ‘televisi’. Kata ‘televisi’ ternyata
menjadi ‘Wipiii…’ apabila diucapkan oleh seorang ‘bayi doyan ngiler yang sedang
belajar berjalan’.
Hahaha. Lucu sekali bukan. Selain
kata ‘Wipiii…’ gantar sudah bisa mengucapkan banyak kata yang lain. Nih aku lampirkan beberapa yang sering dia ucapkan:
‘nono’: mrono (ke sana)
‘nenek’: reneng (tidak ada)
‘ndak’: tindak (pergi)
‘uwik’: duwit (uang)
Dan masih banyak yang lainnya,
males ah kalau harus nulis semuanya di postingan ini. Beneran males. Jangankan
untuk nulis postingan, untuk bangun agak pagi agar bisa mengerjakan komik ‘Lemon
Tea’ aja malesnya minta ampun.
Gantar sangat senang apabila aku
ajak nongkrong di depan komputer. Kode untuk ‘aktivitas yang menyenangkan’ baginya sangat sederhana. Kalau dia udah ‘nongol’ sambil berusaha
memanjat kursi, sudah dapat dipastikan dia akan ‘mengambil alih’ computer ini
dengan paksa.
Terkadang harga diriku serasa tercabik-cabik kala proses ‘sabotase’Gantar
terhadap komputer itu berhasil. Rasanya seperti gebetan kamu ditikung sahabat
sendiri. Sakit men.
Rasa sakit saat komputer di-sabotase
Gantar biasanya terobati saat melihat wajahnya yang berseri-seri ketika aku
pertontonkan video wildlife. Kalian
tahu video wildlife? Itu lhoooh video
yang isinya hewan liar, biasanya berada di libraries-nya
program Windows. Apabila Gantar sudah
duduk manis di pangkuanku dengan video wildlife
yang diputar berulang-ulang mengunakan Gom Player, maka lenyap sudah kabut
gelap bernama ‘rasa kusut’ di hidupku pagi itu.
Salah satu cara mengatasi ‘rasa kusut’ adalah dengan mandi. Mandi
keramas ala mbak-mbak seperti iklan shampoo di tipi-tipi itu tuuuh. Semenjak
rambutku kribo lagi, waktu mandi adalah waktu dimana prosesi sakral bernama
‘keramas rambut’ itu berlangsung.
Aku
berani bertaruh, menunggu prosesi
‘keramas rambut’ kribo itu selesai, sama lamanya dengan menunggu cewek mandi
saat akan berangkat nge-date. Lamaaa
banget, sangking lamanya cewek yang mau nge-date
itu sudah nikah, punya dua anak, terus anak yang kedua ternyata berambut kribo
dan sedang melakukan prosesi ‘keramas rambut’.
Enggak kebayang ya gimana
lamanya.
Gantar sangat senang apabila aku
ajak nongkrong di depan komputer. Prosesi ‘keramas rambut’ juga menyenangkan,
namun masih kalah dengan kebahagiaan Gantar saat berhasil ‘menduduki’
singgasana kursi kerjaku. Aku yakin 100%, sumber kebahagiaan Gantar saat ini salah
satunya adalah ‘mengambil alih’ komputerku.
Enak ya jadi anak kecil. Nemu
komputer aja bisa bahagia gituh. Sementara manusia-manusia dewasa di luar sana,
berjuang mati-matian untuk bisa sedikit berbahagia. Kalau dipikir-pikir lagi,
sepertinya aku adalah salah satu dari
‘manusia-manusia dewasa yang berada di luar sana’.
Buku bacaan terakhir yang aku
baca adalah buku berjudul ‘(Why? Edu Comic Book-Social Science) Philosophy’.
Buku itu berwujud komik full warna. Sinopsis Back cover buku ini dibuka dengan pertanyaan “Mengapa manusia harus hidup?” “Kesenangan dan
kesedihan itu apa?”, “Mengapa manusia harus percaya adanya Tuhan?”.
Ajegile!
Bener-bener buku tentang filsafat. Isinya random
tapi seru, pembaca diajak untuk belajar berfilsafat dengan cara yang ‘menyenangkan’
melalui media komik.
Iya beneran, menyenangkan dengan
tanda kutip. Kalau boleh jujur, dibuat semenyenangkan apapun yang namanya ‘ilmu
filsafat’ tetep aja ending-endingnya bikin cekot-cekot kepala. Aku sudah tiga
kali membaca buku bertema filsafat dengan media komik, dan hanya ada satu yang
cukup nyanthol di pikiran. Sisanya? Sisanya membuatku ‘sinting pusing pala
berbie’.
Aw.. Aw.. Aw..
‘(Why? Edu Comic Book-Social
Science) Philospohy’ setidaknya lebih baik, komik penuh warna itu sudah aku
baca hingga selesai, dari komik tersebut aku belajar cukup banyak tentang
hal-hal baru mengenai gagasan besar bernama kebahagiaan.
Hampir semua filsuf
itu kerjaannya cuman mikir dan mikir
gaes. Di buku ‘Filsuf Jagoan’ karya Fred
van Lante dan Ryan Dunlavey, Plato berkesimpulan bahwa kebenaran sejati
bersifat abstrak, dan seperti angka yang tidak pernah berubah, kebenaran itu
abadi. Seabadi pencarianku akan ‘sumber
kebahagiaan’ yang enggak kelar-kelar.
Pada waktu SD, saat aku berumur 7
tahun, aku sangat menantikan hari minggu. Benar-benar menantikan hari minggu.
Bagi aku saat itu, hari minggu adalah sumber kebahagiaan yang tak terkira.
Gimana enggak? Dari pagi ampe siang hari isinya film kartun semua. Aku cukup
berbangga terlahir sebagai anak 90’an.
Tahun dimana kamu bisa galau dilemma
karena harus memilih untuk menonton serial kartun Dragon Ball atau Crayon
Shinchan. Bagiku saat itu, hari minggu adalah sumber kebahagiaan.
Saat ini aku hampir berusia 27
tahun. Jarak 20 tahun dari saat aku duduk di SD ternyata mengubah banyak hal. Hari
mingguku saat ini tidak seceria yang dulu. Hari minggu hanya sekedar hari
minggu. Di televisi sudah tidak ada lagi serial kartun Dragon Ball ataupun
Crayon Shinchan. Hari mingguku saat ini sudah basi, nothing special.
Hari ini
bukan hari minggu. Hari ini adalah hari selasa yang seperti biasanya di tahun
2015. Beneran sekarang sudah jauh dari zaman 90’an.
Sumber kebahagiaanku saat ini
sudah bergeser beberapa meter apabila dibandingkan saat aku kecil dulu.
Beberapa menit yang lalu aku menonton anime Dragon Ball Super, namun
atmosphere-nya beda banget. Bagus sih, tapi enggak se-greget yang dulu.
Apakah
karena usiaku saat ini yang udah hampir 27 tahun?
Apakah karena aku menontonnya
di hari selasa?
Atau mungkin apakah kerena pemikiranku sudah mulai tergradasi
oleh doktrin-doktrin kejam para filsuf?
Who
knows?
“Wipiiiii….”
“Wipiiiii….”
Suara bernada kecil aneh itu lagi-lagi
mendekat ke arahku yang sedang menyelesaikan postingan ini. Hmm… Gimana yah,
Kurasa aku harus cerdas mengambil potongan-potongan kebahagiaan di sekitar
kehidupanku. Nemenin Gantar nongkrong di depan computer juga seru kok. Bahagia?
Yah, lumayanlah, dapet mainan imyut yang suka ngilerin tangan. Kalo ilernya
udah banyak dan belepotan ditangan, terus mandi deh. Pake prosesi ‘keramas
rambut’? iya dong.
Punya rambut kribo tapi enggak dikramasin itu kayak punya
pacar tapi enggak diapelin. Sesangar itu? Iya sesangar itu.
Mujix
Ortuku besok mau balik
ke Bogor buat merantau.
Perasaanku rumit.
Apalagi jika mengingat kalau
aku belum membahagiakan mereka.
Simo, 12 Agustus 2015.
<< Beranda