megamendungkelabu

Minggu, 25 Oktober 2015

A Slowly Morning with My Brain

Brengsek. Hal yang aku takutkan akhirnya terjadi. Beberapa tahun lalu ketika aku masih mahasiswa, ada spekulasi tolol yang tercetus secara tiba-tiba. 

Perkiraan bodoh itu muncul mungkin diakibatkan lelahnya kondisi jiwa dan raga gara-gara kuliah yang tidak selesai-selesai. Biarkan sejenak aku tertawa untuk mempermalukan masa mudaku. Hahahaha

Balik ke topik spekulasi. Dulu aku pernah berpikir seperti ini, “jangan-jangan suatu hari di masa depan, aku yang sudah menjadi komikus, menjadi sarjana, memiliki waktu luang, dan udah punya komputer, akan kehilangan ambisi lagi untuk melakukan apapun!?”

Benar saja. Beberapa hari ini spekulasi terjadi dan menerorku tanpa ampun. Titik pucak kehilangan hasrat untuk hidup itu berimbas pada situasi di mana aku selalu mengeluh di depan komputer. Aku harus segera membereskan masalah ini.

Aku berjalan dengan mata sayu dan langkah gontai menuju dapur. Terlihat sebuah golok dengan gagang kayu terselip di laci. Tanganku perlahan dengan gemetar mengambil golok tersebut. Golok itu sangat tajam, hal itu diperlihatkan oleh tanda-tanda kilau di ujung bilahnya. Tanpa basa-basi, aku langsung menebaskan golok itu ke kepalaku.

"Kraaaak!!!!" terdengar suara patah dari tengkorak di kepalaku.
"Craaaaaats!!!! Srrrrrrr........" Darahku di pelipis mucrat kemana-mana tanpa ampun. Sisanya mengalir dari batok kepala yang pecah merembes melewati rambut.

"Argggg!!!!!" Aku berteriak kesakitan dan memukul tembok di sampingku untuk mengalihkan rasa sakitku.  

Darah bercecer kemana-mana. Separuh dari tengkorakku  terpental ke depan pintu kamar mandi. Aku berdiri memandang darah yang terus mengucur dari kepalaku. Tidak terjadi apa-apa, hanya pandanganku saja mulai mengabur bersama warna merah darah. Golok yang kupegang jatuh perlahan menghantam lantai. Aku berdiri dengan keadaan paling sakit. Aku harus melakukan ini. Kalau tidak permasalahan tidak akan pernah selesai.

Kepalaku yang telah terbalah separo mulai kembali mendapatkan kesadaran walau samar-samar. Tangan lemah yang berwarna merah ini mulai mengambil otakku yang ternyata berwarna hitam legam. Mistis sekali mengetahui otak yang berwarna hitam pekat itu ternyata sangat eksotis saat berpadu dengan darah merah di tanganku. Perlahan aku berjalan sembari  mencengkeram otak warna hitam itu ke kamar mandi.

Benar, Ke kamar mandi.
kaliat tahu apa yang akan aku lakukan!?
Aku berniat mencuci otak.

Tidak ada siapapun yang menghalangiku. Otak itu aku rendam di ember. Aku mencampurnya dengan deterjen. Warna hitam di otakku yang berlendir perlahan-lahan mulai memudar. Aku memerasnya, aku mencucinya dengan sabun. Inilah yang disebut 'mencuci otak' dalam arti yang sebenarnya.

Ada beberapa noda yang sangat sulit hilang. Noda yang berasal dari alam bawah sadarku itu sepertinya sudah terlalu lama menempel. Rasanya sakit. Noda-noda itu kalau diamati dengan seksama ternyata berasal dari serpihan-serpihan kaca. Kaca-kaca itu menancap cukup dalam. Aku mencabutnya satu persatu. Kaca-kaca itu sesekali memantulkan peristiwa-peristiwa yang membuatku gila di masa lalu.

Kaca-kaca itu menusuk bagai rasa malas karena berharap lebih kepada sesuatu hal di dunia yang fana ini. Kaca-kaca itu simbol kekecewaan karena permainan takdir yang tidak sesuai keinginan. Jangan pernah berharap sama sekali, maka kamu tidak akan pernah dikecewakan, seperti itu kata-kata bijak yang tiba-tiba aku ingat saat mencabut serpihan kaca itu dari otak.

Sepertinya otakku sudah sedikit lebih bersih. Tapi sepertinya belum cukup. Aku menyikatnya dengan sikat cucian. Dengan sangat keras aku menyikatnya. Sesekali aku menambahkan sabun colek agar noda-noda itu segera hilang. Walau sakit aku terus melakukan itu berulang kali. Rasa ngilu menjalar ke seluruh tubuh. Pagi itu ada pemuda tanpa otak sedang mencuci otaknya agar kehidupannya esok hari lebih baik.

Otakku sudah bersih. 
Warna hitam dan lender-lendir menjijikkan itu sudah aku bilas dengan pewangi. Otakku sekarang sudah siap dipakai. Kurang satu tahap lagi agar aku pantas memakainya. Seperti aturan mencuci pada umumnya, suatu barang yang dicuci boleh dikatakan selesai apabila telah kering karena mengalami proses penjemuran.

Aku meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju halaman rumah. Darah masih saja terus menetes dari kepalaku. Melangkah perlahan sambil menimang otakku yang masih basah. Cuaca pagi ini sangat cerah. Waktu yang tepat untuk mengeringkan sesuatu dengan terik matahari. Otak tersebut aku letakkan di atas genteng, aku berdiri seharian di sampingnya. 

Detik demi detik berlalu. Menit menuju menit mengeringkan cairan di otakku secara perlahan.

Beberapa jam sudah aku berdiri tanpa otak sambil menjaga otakku sendiri. Benda itu telah kering dan siap dipakai. Aku memasukkan otak itu kembali ke sarangnya. Semuanya sudah beres. Otakku telah berhasil dicuci. Aku telah menjadi makhluk Tuhan yang (katanya) sempurna, aku telah menjadi manusia. 

Selamat tinggal bad mood!
Selamat tinggal masa lalu yang buruk! 
Aku akan menjalani hari ini dengan penuh percaya diri!


Aku kembali ke meja kerjaku. 
Pikiranku sudah sangat segar. 
Aku siap bertempur dengan dunia dan seisinya. Ayo! Lawan aku! Aku sudah siap!

Tunggu sebentar!?
Sepertinya ada yang aneh!?
Kenapa kepalaku tiba-tiba terasa dingin?

Ya Tuhan!! 
Ternyata separuh tengkorakku masih tertinggal di depan kamar mandi!!? 


Mujix
Curhatan paling 'sakit' di Blog ini.
Beneran. Tapi gak papa sih,
namanya juga hidup.
Simo, 25 Oktober 2015