Curhat dengan Hati
Tantanganku yang bernama ‘writinktober’
sudah memasuki hari ke tujuh. Jadi gimana rasanya dipaksa nulis setiap hari
satu postingan? Euuuh. Rasanya campur-campur. Beberapa hal yang pasti aku jadi
memiliki kesibukan rutin. Bahkan tantangan menulis ini terkadang lebih berat
dari aktivitas menggambar.
Aku cukup percaya diri kalau menggambar sebenarnya lebih dekat dengan kebiasaan tangan dalam menggores. Kebiasaan menggores sudah menjadi kebiasaanku selama ini, itu bukan sesuatu hal yang sulit. Begitulah. Namun aturan tersebut tidak berlaku untuk menulis.
Aku cukup percaya diri kalau menggambar sebenarnya lebih dekat dengan kebiasaan tangan dalam menggores. Kebiasaan menggores sudah menjadi kebiasaanku selama ini, itu bukan sesuatu hal yang sulit. Begitulah. Namun aturan tersebut tidak berlaku untuk menulis.
Menulis menurutku adalah
kemampuan yang menggabungkan logika berpikir dan kecakapan dalam mengatur
huruf. Secara garis besar hampir sama dengan menggambar, ada sesuatu yang
diresahkan dan diekspresikan dengan media. Media yang berbeda membutuhkan
perlakuan yang berbeda. Media tulis menulis menurutku sangat dinamis. Perubahan
kecil ide saat proses menulis bakal membawa banyak perubahan akan hasil
jadinya.
Bisa saja awalnya mau menulis ‘buah apel’ ujung-ujungnya bakal curhat mengenai ‘apel’ malam minggu yang tak kunjung datang. Saran temanku sih sepele, bikin kerangkanya dulu. Baru deh nulis. Aku hanya membuat kerangka kasar di pikiran. Makanya jadinya random abis. Abis ini deh. Diatur lebih rapi. Yen gelem. hihihihi.
Bisa saja awalnya mau menulis ‘buah apel’ ujung-ujungnya bakal curhat mengenai ‘apel’ malam minggu yang tak kunjung datang. Saran temanku sih sepele, bikin kerangkanya dulu. Baru deh nulis. Aku hanya membuat kerangka kasar di pikiran. Makanya jadinya random abis. Abis ini deh. Diatur lebih rapi. Yen gelem. hihihihi.
Kesan-kesanku selama seminggu ini
saat mengikuti ‘writinktober’ cukup banyak. Tantangan ini sangat menyenangkan. Gimana enggak,
aku bisa curhat apapun yang aku inginkan tanpa diinterupsi siapapun. Sifat blog
yang sangat personal ternyata berhasil memfilter pembaca dengan sendirinya.
Orang-orang yang membaca postingan ini tentu saja orang-orang yang tertarik dengan tema tulisannya atau penulisnya. Aku yakin mereka tertarik dengan penulisnya. Karena penulisnya adalah sosok yang mempesona dan ganteng. Seperti itu.
Orang-orang yang membaca postingan ini tentu saja orang-orang yang tertarik dengan tema tulisannya atau penulisnya. Aku yakin mereka tertarik dengan penulisnya. Karena penulisnya adalah sosok yang mempesona dan ganteng. Seperti itu.
Semenjak tantangan ini
berlangsung, tiba-tiba saja aku menjadi sangat peka terhadap situasi. Setiap situasi
dan kondisi memiliki kisahnya masing-masing. Ada saja hal-hal yang menarik
untuk ditulis. Hal-hal tersebut sebagian mengendap di otak, dan sebagian hal
yang lain bisa kalian baca di blog ini. Beberapa ide yang belum menjadi tulisan
biasanya aku catat di otak, kemudian aku simpan di hati. Kalau hanya berhenti
di otak biasanya tidak akan menjadi tulisan. Hati adalah saringan terakhir yang
menentukan apakah ide tersebut layak atau tidak untuk dipublikasikan ke dunia
nyata.
Kalian harap maklum, tidak semua
kegelisahanku harus diumbar ke publik. Kondisinya hampir sama dengan ‘seluruh dunia tidak
harus tahu apa merk celana dalammu’. Tema-tema yang personal dan
terlalu sensitive biasanya aku lampiaskan dengan media yang berbeda.
Misalnya tema cinta, untuk beberapa hal, 'dalamnya perasaan' terkadang hanya bisa diungkapkan dengan gambar atau komik. Nulis bisa sih, tapi terlalu dinamis. Pembaca akan terlalu bebas mengkhayalkan apa yang terjadi. Mending aku gambar deh, sret, sret, sret kemudian jreng-jreng-jreng… jadilah ‘Lemon tea: Bukan komik cinta’, walaupun belum kelar sih. Tema yang sedikit sensitive, misalnya politik, biasanya aku rebus ulang. Direbus yang lama, mencari celah humornya, dan jreng-jreng-jreng… jadilah komik Si Amed.
Misalnya tema cinta, untuk beberapa hal, 'dalamnya perasaan' terkadang hanya bisa diungkapkan dengan gambar atau komik. Nulis bisa sih, tapi terlalu dinamis. Pembaca akan terlalu bebas mengkhayalkan apa yang terjadi. Mending aku gambar deh, sret, sret, sret kemudian jreng-jreng-jreng… jadilah ‘Lemon tea: Bukan komik cinta’, walaupun belum kelar sih. Tema yang sedikit sensitive, misalnya politik, biasanya aku rebus ulang. Direbus yang lama, mencari celah humornya, dan jreng-jreng-jreng… jadilah komik Si Amed.
Ada juga beberapa hal yang tidak
pernah aku tulis atau aku ubah menjadi komik. Hal-hal tersebut biasanya tidak
lolos ketika memasuki tahap penyaringan di hati. Kekhawatiranku sebenarnya
sederhana, andaikata semua hal aku ungkapkan, maka aku tidak memiliki hal-hal
yang bisa aku obrolkan dengan diri sendiri.
Semua postingan di blog ini seperti gunung es di laut Antartika. Kalian hanya bisa melihat dan meneliti yang tampak, masih ada sebongkah batu besar yang tersembunyi di dalam sana. Bongkahan besar yang hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri hingga akhir hayat menanti. Ciee. So sweet.
Semua postingan di blog ini seperti gunung es di laut Antartika. Kalian hanya bisa melihat dan meneliti yang tampak, masih ada sebongkah batu besar yang tersembunyi di dalam sana. Bongkahan besar yang hanya bisa dirasakan oleh diri sendiri hingga akhir hayat menanti. Ciee. So sweet.
Mujix
Pagi ini sangat berantakan. Kampret.
Harus segera kembali
ke trek semula nih.
Boyolali, 7 Oktober 2015.
<< Beranda