Sang Seniman Senior
“Harusnya tuh kamu kalo bikin
komik itu dikonsep dulu! Dipertimbangkan dari sisi marketingnya!” Kata lelaki
dengan tampang gahar itu saat memberiku saran.
Heh!? Saran!? Saran apaan!?
Baiklah. Akan aku jelaskan
kronologisnya dari awal.
***
Siang itu, aku dan seorang teman,
namanya Feri Widiyanto, sedang beristirahat di warung di depan kampus. Yah. Kita
hanya berniat beristirahat sambil makan camilan yang tersedia di sana. Hanya beristirahat. Catat ya.
Seharian kami menerobos belantara kota Solo untuk merampungkan berbagai hal terkait
dengan workshop Simon Hureau. Apapun. Mulai dari membereskan nota-nota hingga
mengembalikan uang sisa.
Uang sisa itu sudah tertata rapi
di tas rangselku sejak tadi pagi, tepatnya jam 9 pagi. Aku berkendara cukup jauh dari Simo ke Kota Solo dengan niat satu hal, merampungkan urusan soal
workshop. Yah, kurasa kalian juga paham tentang prinsip ‘selesaikan satu
urusanmu biar kamu bisa segera menyelesaikan urusan yang lain’.
Kabar baiknya ketika aku menulis postingan ini, urusan soal workshop insyaallah sudah kelar. Yeeey! Makasih buat kak Feri yang udah nemenin muter-muter.
Kabar baiknya ketika aku menulis postingan ini, urusan soal workshop insyaallah sudah kelar. Yeeey! Makasih buat kak Feri yang udah nemenin muter-muter.
Sepertinya memang sudah menjadi
jatahnya Kak Feri buat nemenin muter-muter. Apapun yang berkaitan dengan KOMISI
SOLO pasti harus sampai dulu di telinganya beliau. Hari ini adegan muter-muter-nya sampai di daerah Mojosongo, lebih tepatnya ke Padepokan Lemah Putih tempatnya Mbah Prapto Suryodharmo bermukim. Siapa Mbah
Prapto? Googling dulu sana gih.
Mbah Prapto Suryodharmo.
Seniman tua yang keren.
beneran keren kok.
(Sumber: http://berita.suaramerdeka.com/)
Kita di rumahnya Mbah Prapto
enggak lama kok. Sekitar setengah jam. Abis itu, kita langsung cabut ke Wisma Seni
buat bayar sewa kamarnya om Simon dan rekan. Kita rencananya sih mau nongkrong di
warungnya Wisma Seni, namun karena terlalu ramai dengan seniman dan seniwati,
akhirnya kita berpindah ke warungnya Mbak Yani. Ada yang inget siapa Mbak Yani? Itu
lhoooh, tokoh utama di komikku yang berjudul ‘Negara ½ Gila’. Belum tahu? Googling
dulu sana gih.
Preview komik Negara 1/2 Gila.
Kayaknya sih udah gak ada
di toko buku. coba pesen On Line
Mbak Yani adalah karakter di panel 1.
(Sumber: Dokumentasi Pribadi )
Sampai di tempat Mbak
Yani, aku langsung pesen kopi item gelas kecil. Aku sedang pengen sok serius
dengan hidupku. Kebiasaan yang sering muncul ketika kita bercenkrama di warung
adalah berbincang. Berbincang apapun, mulai dari karya termutakhir hingga ke
gebetan termutahir. Karena kita berdua belum punya ‘gebetan termutakhir’, ya
udah, tema tersebut diganti dengan tema yang lain. Tema yang lain itu adalah tema
‘ternyata Kak Feri belum punya komik hasil workshop Simon Hureau’.
Duh. Temanya panjang banget gak
sih. Efek beruntun dari obrolan tema ‘ternyata Kak Feri belum punya komik hasil
workshop Simon Hureau’, ternyata memaksaku untuk mengeluarkan komik hasil
workshop. Aku keluarkan dan langsung aku taruh saja di atas kaleng kerupuk.
Sekonyong-konyong teman demi teman datang. Obrolan mengalir kemana-mana. Hingga datanglah sang seniman senior. Beneran seniman senior. Aku mengakui hal tersebut lahir dan batin.
Sekonyong-konyong teman demi teman datang. Obrolan mengalir kemana-mana. Hingga datanglah sang seniman senior. Beneran seniman senior. Aku mengakui hal tersebut lahir dan batin.
Namanya… Ah untuk menjaga nama
baik beliau aku, akan memanggilnya dengan nama ‘seniman senior’. Seniman senior
itu sepertinya datang untuk makan siang. Kita bertegur sapa dengan ramah
seperti biasanya. Seniman senior itu bertanya tentang kesibukan, hanya sepatah
kata dan seperlunya saja aku menjelaskan event kemarin.
Beneran. Seperlunya saja karena aku sangat memahami bahwa beberapa manusia sangat malas untuk mengetahui kesibukan orang lain. Everything is me. Me is Everything.
Beneran. Seperlunya saja karena aku sangat memahami bahwa beberapa manusia sangat malas untuk mengetahui kesibukan orang lain. Everything is me. Me is Everything.
Dia mengambil komik yang aku
letakkan di atas kaleng. Membuka lembar demi lembar. Sang seniman senior itu
melihat isi komik tersebut sambil makan siang. Bisa kalian bayangkan, seberapa
dia tidak fokus (kata yang lebih halus untuk mengganti kata ‘tidak menghargai’)
dalam membaca komik tersebut.
Tanpa ada pertanyaan apapun dan tanpa membaca deskripsi komik di sampul belakang, sang seniman senior itu langsung berkomentar.
Tanpa ada pertanyaan apapun dan tanpa membaca deskripsi komik di sampul belakang, sang seniman senior itu langsung berkomentar.
“Harusnya tuh kamu kalo bikin
komik itu dikonsep dulu! Dipertimbangkan dari sisi marketingnya!” Kata lelaki
dengan tampang gahar itu saat memberiku saran.
Aku diam saja dan tersenyum
sambil melirik Kak Feri. Tolong JANGAN membayangkan kalau lirikanku ke Kak Feri
adalah lirikan mesra antar dua gebetan yang sudah menjadi satu hati. Lirikan
biasa aja Gaes.
“Kamu boleh saja bikin komik yang
sederhana seperti ini, namun packaging
dan kemasannya harus diperbagus” ujarnya sambil mengunyah makan siang.
“Oooh gitu ya mas?” aku berkata
sekedarnya, agar seniman senior itu merasa aku hargai. Duh. Kenapa aku jahat
banget sih.
“Lhoooh iyaaa! Kalau perlu komik
harus ganti konsep dengan halaman berwarna agar bisa menarik perhatian
konsumen!” baiklah. Otakku sudah tidak tahan dan mulai memberontak. Sang
seniman senior itu masih terus saja berkomentar. Aku berusaha menahan mulutku untuk tidak mendebat atau argumen.
Percayalah, beberapa manusia di luar sana terlahir untuk tidak mau kalah dalam memperbincangkan apapun. Aku menelan semua komentarnya sambil mengingat bagaimana kronologis komik itu tercipta beberapa hari yang lalu.
Percayalah, beberapa manusia di luar sana terlahir untuk tidak mau kalah dalam memperbincangkan apapun. Aku menelan semua komentarnya sambil mengingat bagaimana kronologis komik itu tercipta beberapa hari yang lalu.
***
Beberapa hari yang lalu.
Beberapa hari yang lalu. Tepatnya
hari sabtu, 7 November 2015. Siang itu puluhan orang berkumpul di depan Museum
Radya Pustaka. Mereka semua sedang sangat antusias untuk mengikuti workshop
bersama Simon Hureau. Acara yang bertajuk ‘Komisi jamstrip party with Simon
Hureau’ itu berlangsung lancar jaya. Iya beneran lancar. Tidak ada halangan
yang berarti.
‘Komisi Jamstrip Party with Simon
Hureau’ adalah event komik yang dilaksanakan sebagai salah satu rangkaian
Festival Suro 2015. Komisi Solo bekerja
sama dengan IFI (Institut Français Indonesia) Jakarta, LIP (Lembaga Indonesia
Perancis ) Yogyakarta, Padepokan Lemah Putih dan Museum Radya Pustaka,
menyelenggarakan Workshop Komik bertajuk "Komisi Jamstrip Party with Simon
Hureau".
Simon adalah komikus Prancis
berkunjung ke Indonesia untuk berjumpa publik dan seniman komik. dalam
rangkaian perjalanannya, Simon mampir ke kota Surakarta,
Tujuan kegiatan ini adalah untuk
mempertemukan insan kreatif dunia komik dari berbagai kalangan agar
tercipta iklim berkesenian yang lebih berwarna. Beberapa kegiatan yang
dilaksanakan dalam program ini adalah diskusi, workshop komik, jamstrip komik,
membuat kompilasi dan pertunjukan wayang beber.
Begitulah. Secara umum semua
acara berlangsung dengan sukses. Acara diskusi berjalan dengan menyenangkan.
Aku terpaksa menjadi translator dadakan gara-gara salah satu pihak yang
bertugas menjadi penerjemah sedang bad mood gara-gara PMS. Beuuh.
Nah. Hari kedua adalah jatahnya
workshop jamstrip komik. Komik yang akan dikomentarin oleh seniman senior di
masa depan itu, berawal dari kegiatan ini. Sesuai tajuknya, workshop komik ini
berupa jamstrip.
Jamstrip Komik adalah kegiatan membuat komik secara bersama-sama dengan orang lain di dalam satu cerita. Penjelasan sederhananya seperti itu. Satu peserta diwajibkan membuat satu cerita dalam satu panel yang kemudian akan dilanjutkan oleh peserta lain.
Hal yang menarik dari kegiatan ini adalah spontanitas dan interaksi yang terjalin antar peserta. Beneran.
Jamstrip Komik adalah kegiatan membuat komik secara bersama-sama dengan orang lain di dalam satu cerita. Penjelasan sederhananya seperti itu. Satu peserta diwajibkan membuat satu cerita dalam satu panel yang kemudian akan dilanjutkan oleh peserta lain.
Hal yang menarik dari kegiatan ini adalah spontanitas dan interaksi yang terjalin antar peserta. Beneran.
Suasana Workshop yang aduhai
dan sangat sesuatu banget. Rame
dan tentu saja ngangenin. woy! Si Kribo itu mau
ngapain malah berdiri di situ!!!
(Sumber: Dody YW)
Peserta workshop ini diikuti 20
orang dari berbagai kalangan. Bisa dipastikan
kalian akan menemukan 20 cerita dengan 20 gaya gambar yang berbeda. Nah. Workshop
itu berlangsung sekitar dua jam. Satu jam setelahnya digunakan berdarah-darah
oleh divisi cetak dan penggandaan agar hasil workshop bisa terkompilasi menjadi
satu buku komik. Sedikit terbantu aku sudah mendesain dan mencetak covernya di hari sebelumnya.
Perlu kalian pahami, mencetak 30 komik dalam hitungan jam itu susahnya minta ampun. Anggota divisi cetak dan penggandaan hanya Kak Feri Widiyanto dan Mas Rochmat Nur Rosyid.
Beneran cuman dua orang.
Aku sih cuman stay di lokasi nyuruh-nyuruh orang buat kemana-mana.
Ah. Maaf teman-teman kalau aku memanfaatkan posisiku sebagai koordinator acara dengan sangat keterlaluan. Kapan-kapan aku traktir deh.
Perlu kalian pahami, mencetak 30 komik dalam hitungan jam itu susahnya minta ampun. Anggota divisi cetak dan penggandaan hanya Kak Feri Widiyanto dan Mas Rochmat Nur Rosyid.
Beneran cuman dua orang.
Aku sih cuman stay di lokasi nyuruh-nyuruh orang buat kemana-mana.
Ah. Maaf teman-teman kalau aku memanfaatkan posisiku sebagai koordinator acara dengan sangat keterlaluan. Kapan-kapan aku traktir deh.
Dan percaya atau tidak, mereka
berdua berhasil menggandakan hasil workshop itu beberapa menit, tepat sebelum
Simon Hureau berpindah kota menuju Jakarta.
Komik itu memang terlahir dengan sangat tergesa-gesa. Namun bukan berarti sesuatu yang tergesa-gesa itu tidak memiliki nilai untuk disayangi. Bukankah setiap manusia memang terlahir dari sesuatu aktivitas yang tergesa-gesa? Begitulah kira-kira kronologis komik itu tercipta.
Komik itu memang terlahir dengan sangat tergesa-gesa. Namun bukan berarti sesuatu yang tergesa-gesa itu tidak memiliki nilai untuk disayangi. Bukankah setiap manusia memang terlahir dari sesuatu aktivitas yang tergesa-gesa? Begitulah kira-kira kronologis komik itu tercipta.
Detik-detik dimana komik itu
akhirnya dilucurkan. Komik itu
diserahkan ke Simon Hureau oleh
peserta termuda, namanya Suci Pinasti.
btw doi masih anak SD :p
(Sumber: Dody YW)
Sang seniman senior itu
mempertanyakan soal packaging. Biarkan
aku beralasan, packaging atau pengemasan
yang sederhana itu disesuaikan dengan rundown
dan akumulasi jumlah waktu Simon Hureau di kota Solo. Bisa saja pengemasan
komik itu dibuat lebih mewah dan menarik, namun apa gunanya kalau tidak bisa
selesai tepat waktu, kemudian Simon tidak bisa membawanya sebagai cinderamata. Percuma.
‘Halaman berwarna agar menarik
konsumen’ juga dipermasalahkan sang seniman senior. Baiklah aku akan memberikan
penjelasan secara mudah. Halaman berwarna untuk sebuah komik adalah teknis yang
paling rumit untuk diterapkan. Beneran. Teknis rumit memerlukan waktu yang
lebih banyak.
Selain waktu, aku dan
teman-teman Komisi juga tidak ingin menyeragamkan karakter para peserta
workshop. Jika emang pingin seragam, gak perlu bikin acara Jamstrip Komik.
Bikin sekolahan saja. Lagi pula konsumen workshop sudah jelas, para peserta workshop, Simon Hureau, dan
orang-orang yang berkaitan dengan acara ini. Emang tidak ada niat untuk
diperjualbelikan. Gitu aja sih.
Wahai sang seniman senior.
Terimakasih untuk semua hal di hari ini. Dari dirimu aku belajar untuk
mendengarkan terlebih dahulu sebelum berbicara. Bertanya lebih banyak agar aku
mengetahui apa yang terjadi sebenarnya sebelum berkomentar.
Seperti kata-kata ustad saat
selesai menyampaikan khotbah Jum’at. Jika
postingan ini ada manfaatnya itu karena kuasa Allah, jika ada salah dan membuat tersinggung, itu karena
diri saya sendiri. Mohon maaf lahir dan batin. Ah. untuk seniman senior sehebat anda, aku yakin tidak bakal tersinggung. Tidak ada dendam pribadi, hanya sekedar menyampaikan opini.
Gitu ya!? Toss!!
Gitu ya!? Toss!!
Mujix
Berkendara sehabis hujan
itu sangat menyenangkan
Simo, 11 November 2015
<< Beranda