Bangun (dan) Tidur
Pagi ini terulang lagi. Bahkan
lebih buruk. Aku memandang ke semua penjuru kamar tidurku. Brengsek. Pagi hari
yang aku idam-idamkan telah lewat sekali lagi. Mataku melirik ke jendela,
melihat rona dan raut muka semesta di luar sana, kurasa saat ini sudah jam 8
pagi. Aku membalik selimut tebal itu perlahan, tangan ini tiba-tiba menyenggol
benda keras yang berlapis kaca. Benda itu smartphone.
Smartphone-ku yang seharusnya
tergeletak di meja samping pintu kamar. Kenapa bisa ada di tempat tidur!?
Untung enggak pecah gara-gara kedudukan pantat!?
Samar-sama aku mulai bisa
mengingat sesuatu. Oh iya, sepertinya tadi aku sempat bangun jam 5 dan berjalan
gontai menuju meja untuk mematikan alarm dari
smartphone. Bisa dibilang aku
benar-benar telah bangun pagi walaupun hanya beberapa detik.
Aku menghela nafas panjang.
Sepertinya aku harus segera wudhu dan sholat shubuh dengan waktu yang sangat
terlambat. Sepertinya aku harus merelakan harga diri untuk menyebut sholat
shubuh-ku kali ini dengan nama ‘sholat dua rekaat di jam delapan pagi’.
Jadi secara garis besarnya, kali
ini aku sedang memperjuangkan hal yang bernama ‘bangun pagi’. Iya bangun pagi.
Pagi yang aku maksud benar-benar pagi, sekitar jam 5.00 WIB. Beberapa hari di
pertengahan bulan Desember ini sudah aku habiskan untuk mengatur strategi memperbaiki
kualitas hidup. Kualitas hidup yang mana? Ya kualitas hidupku sebagai komikus
lhah!? Oh. Jadi sekarang udah benar-benar niat jadi komikus?
Beneran. Aku semakin berniat menjadi
komikus yang memiliki kualitas hidup seperti para orang-orang besar di luar
sana. Bukan rahasia umum lagi, beberapa komikus
memiliki pola hidup yang random. Sepertinya terlalu spesifik jika aku
menyempitkan permasalahan tersebut hanya di profesi yang bernama komikus. Untuk
sementara aku akan mengganti kata ‘komikus’ menjadi ‘orang biasa’.
Bukan rahasia umum lagi, beberapa
orang biasa (khususnya aku) memiliki pola hidup yang random. Aku ambil contoh yang sederhana, bangun tidur. Aku adalah
sosok-sosok manusia yang suka bangun tidur dengan seenaknya.
Terkadang ada hari
dimana aku bisa bangun jam 4.30 WIB, bisa sholat shubuh tepat waktu,
menyempatkan diri untuk jogging memutari kampung, bahkan bantuin nenek memasak
di dapur. Bangun di waktu seperti itu sangat menyenangkan. Tantangannya hanya
satu, kalahkan nafsu tidurmu dan segeralah pergi ke kamar mandi untuk cuci
muka. Di saat-saat seperti itu aku merasa menjadi manusia yang benar-benar
manusiawi. Aku merasa bangga telah berhasil mepecundangi matahari yang bangun
terlambat di ujung timur sana.
Namun percayalah, terkadang
datang pula hari dimana nafsu tidur tidak bisa dikalahkan oleh apapun. Misalnya
pagi ini, nafsu tidur itu mebelengguku dengan sangat nikmat. Terlambat bangun
tidur membuatku belajar banyak hal. Aku
memahami beberapa ilmu baru, tubuh dan pikiran tidak pernah bisa dibohongi.
Rata-rata manusia tidur membutuhkan waktu 7 sampai 8 Jam perhari. Seandainya
aku tidur jam 11.00 WIB, waktu yang ideal untuk bangun sekitar tidur adalah jam
8.00 WIB.
Beberapa penelitian
mengungkapkan waktu yang tepat untuk tidur adalah jam 22.00 WIB. Aku malas mencari sumber penelitian tersebut. Googling sendiri ya. Tadi malam aku
pergi ke kamar tidur jam 02.00 WIB,
tertidur beberapa puluh menit setelah capek
menemani pikiran nglayap
kemana-mana.
Akibat tidur terlalu malam adalah
badan yang capek dan tidak memiliki daya konsentrasi tinggi untuk bekerja. Hari
ini aku bangun jam 08.00 WIB, aku benar-benar mulai bisa bekerja sekita jam
10.00 WIB. Dua jam aku habiskan untuk menata berbagai agenda di kepala dan
mengaplikasikannya di ruang kerja. Dan pola ini terus terulang di beberapa
bulan terakhir, dengan berbagai alasan yang sangat mudah untuk dibenarkan oleh
diri sendiri.
Aku meyakini kalau polaku dalam
beristirahat sangat payah. Makanya sudah dua minggu ini aku berjuang untuk bisa
bangun pagi.
Beberapa cara yang bisa kulakukan
agar bisa bagun pagi adalah tidur lebih awal. Jam 22.00 WIB harus wajib sudah
tergeletak dikamar tidur. Apakah berhasil? Tergeletaknya sih sudah berhasil.
Tidurnya yang belum. Kendala yang paling jelas adalah payahnya dalam mengontrol
pikiran untuk segera rileks agar bisa segera tertidur. Memikirkan ide komik
baru lah, gebetan, mbak mantan, kegelisahan mengenai hidup yang belum kelar,
dan lain sebagainya.
Pikiran manusia itu seperti pisau bermata dua. Aku bisa
membuatnya menjadi sangat berguna atau mengubahnya menjadi sumber bencana.
Untuk kasus kali ini, mungkin lebih tepat disebut ‘sumber bencana’ yang tidak
bisa membuatku tidur.
Percayalah. Kendala yang satu ini
sudah aku temui sejak aku mengenal cinta pertama. Kabar baiknya aku sudah
memiliki cara untuk mengakali problematika ini. Beberapa tahun yang lalu aku menemukan solusi sederhana. Cara
yang paling jitu untuk menangkal carut marutnya pikiran adalah alihkan
pikiranmu ke satu hal yang monoton. Semisal menghitung domba. Hitung saja
sampai 1000. Levelku baru sampai angka 200-an. Kalau enggak tertidur biasanya
lupa sampai angka berapa. Tips ini sangat efektif untuk membuatku bisa tertidur
dengan cepat. Walau tidak menjamin bisa bangun pagi sih.
Hahaha
Nah, untuk cara yang satu ini
baru aku temukan beberapa bulan yang lalu. Tips ini lebih simpel dan tidak
melibatkan domba manapun. Tips ini bernama ‘pemasrahan diri’.
Iya. Pasrah aja. Katakan pada
pikiran dan tubuhmu yang intinya ‘kalau memang belum bisa tidur juga tidak
apa-apa kok’, ‘pergi aja kemanapun kamu mau’, ‘jika kamu sudah siap untuk
tidur, aku akan berada di sini untuk menemanimu’. Dan percaya atau tidak, cara
ini adalah cara yang paling ampuh untuk bisa tidur.
Tidak perlu ribet
memikirkan soal domba, hanya berbicara lirih di batin. Tubuh dan pikiran tidak
pernah bisa bohong. Jika kau
mempercayainya, niscaya mereka akan mempercayaimu.
Pikiran lirih yang selalu berbunyi
sesaat sebelum aku akan
memasuki dunia mimpi
adalah aku harus membahagiakan
nenek, ibu, dan ayahku.
Hey, aku sayang kalian.
Simo, 11 Desember 2015.
<< Beranda