megamendungkelabu

Rabu, 11 Mei 2016

Paket

"Alaaah, yen mung loro mbok rasah neng Solo wae!!??" damprat Simbah ketika aku bilang mau ke Solo untuk mengantar paket.

Iya. Paket yang diantar cuman dua ekor. Satu ke Bali dan yang satu lagi ke Jakarta.

Bukannya emosi, aku malah berseloroh memanaskan suasana .

"Iyoooh!!!! Yen mung loro mbok rasah neng Solo wae yo Mbaaah!!!"

Hihihihi
Aku yang saat ini sedang 'disorientasi tujuan hidup' (lagi) hanya bisa menanggapi dampratan itu dengan candaan. Mau bagaimana lagi, tiba-tiba saja aku teringat tauziah pak kyai saat nikahannya Antok, nama anak lelaki tetangga sebelah.

Pak kyai bilang begini.
"Kalau ada yang marah salah satu dari kamu harus gembira dan berkepala dingin."

Yah. Walau nasihat itu awalnya ditujukan untuk pengantin, namun nasihat tersebut ternyata relevan diterapkan untuk siapapun.

Aku mencoba tetap menjaga otak agar tetap waras. Entah sejak kapan untuk beberapa hal aku menjadi sangat dewasa.

Namun kampretnya, untuk beberapa hal aku masih seperti bocah yang semua keinginannya harus terpenuhi.

Dan pergi ke kota Solo hanya untuk mengantarkan 'dua paket' bagi simbah adalah tindakan yang kekanak-kanakan.

Pergi ke Solo adalah perjalanan yang memboroskan uang.  Pengeluaran semacam bensin, makan, minum hingga godaan membeli buku adalah lika-liku yang harus aku temui saat pergi ke kota ini.

Mungkin benar kata Simbah, kalo cuman dua biji ya mbok ndak usah ke Solo. Pemborosan duit.

Setelah puas mendampratku dengan sukses, simbah pergi ke teras menyapu lantai. Aku acuh tak acuh sambil terus menyiapkan perbekalan, dan jangan lupa, paket dua biji.

Aku memasukkan banyak barang ke tas rangsel dengan fokus melayang entah kemana.

Ketika seseorang berpikir tentang 'pemborosan duit', sudah bisa dipastikan keadaaan perekonomiannya sedang sulit.

Mungkin Simbah sedang bokek tingkat dewa. Melihat simbah menyapu lantai di teras, aku jadi sedikit trenyuh.

Segera saja kuperiksa isi dompet. Hanya ada dua lembar uang berwarna ungu dan beberapa lembar uang berwarna abu-abu. Bukan hanya sedikit trenyuh, aku jadi pengen nangis gulung-gulung.

Tak perlu waktu lama semua persiapan sudah beres. Aku pergi ke teras untuk duduk sejenak memantapkan diri untuk berpindah wilayah. Sebelum berpamitan aku terdiam cukup lama di bangku teras.

Menatap simbah yang sedang menyapu dengan tatapan nanar. Tanpa pikir panjang aku mengambil lembaran uang warna ungu dan langsung aku ulurkan ke simbah.

"Nyoh Mbah, nggo tuku tempe!"
Simbah menoleh dengan sedikit kaget. Tangannya yang keriput menerima uangku dengan perlahan.
Wajahnya mendadak cerah setelah menerima uangku yang tidak seberapa itu.

Setelah berpamitan aku segera tancap gas ke Solo untuk mengantarkan dua paket itu.

Dua paket itu adalah sumber rezekiku akhir-akhir ini. Isinya berupa komik 'Proposal Untuk Presiden' plus karikatur wajah pemesan.

Bagi orang lain, atau mungkin bagi simbahku, dua paket itu hanya benda remeh yang tidak terlalu penting. Namun bagiku, paket itu adalah segalanya.

Karena aku yakin setiap rezeki sudah ada yang mengatur, maka tugasku adalah mengetahui aturan tersebut dan segera pergi bergegas untuk menjemputnya.

Mujix
Perjalanan pencarian jati diri ini belum juga usai. Semoga saja aku bisa segera menemukannya sebelum tergilas waktu yang makin beringas. Oh iya, aku benar-benar butuh dorongan dari-Mu.
Kerten, 11 Mei 2016