Sukses itu Takdir atau Bakat?
“Ji! Sukses itu takdir atau
bakat?”
Pesan WA yang sangat random itu
tiba-tiba muncul di hapeku. Aku melirik sejenak, ‘ealah, ngopo maneh bocah iki’ batinku. Siang ini adalah siang
dimana aku sedang penuh kegalauan karena terjebak di kontrakan. Padahal aku
sudah mengemasi semua barang di tas rangsel, sudah mandi, sudah berpakaian rapi
jali, sudah bisa membedakan antara mana skala prioritas atau mana yang hanya
keinginan sesaat. Begitulah, keadaan yang sangat canggung ini bisa juga dibilang
‘terjebak’. Karena harusnya saat ini aku
harus pulang ke rumah di Simo. Harusnya. Namun gara-gara ‘hujan bodoh yang tak
mau tahu kapan ia mau turun’ akhirnya siang itu aku hanya termenung bingung
untuk melakukan apa. Di saat sedang random seperti itulah chat yang sangat
filosofis itu muncul.
WA itu berasal dari seorang Feri
We, sobat itemku yang hingga saat ini galau terus menerus dan berkelanjutan.
Galaunya udah kayak sariawan di bibir yang enggak sembuh-sembuh gara-gara lupa
memberi nutrisi vitamin C. Vitamin Cinta. Aku harap kegalauan seorang Feri We
adalah drama yang ia sengaja agar teman-teman di sekitarnya memiliki alasan
untuk selalu merasa baik-baik saja, rak
yo ngono to Fer?
Aku sedang tidak bisa berpikir
jernih. Aku jawab saja sekenanya.
Walau mendung masih menggantung hujan
perlahan mulai reda. Warna abu-abu mendominasi siang hari ini. Semuanya
bertekstur kusam dan menenggelamkan para manusia pemuja asa ke samudra
kesedihan. Dengan memantapkan niat aku segera bergegas pulang. Air
rintik-rintik turun tanpa ragu membasahi pakaianku. Jalan-jalan yang becek
mulai membasahi sepatu. Aku memandang jalanan itu dengan tatapan nanar sambil
berpikir apakah aku bisa bertahan di kehidupan yang rumit ini?
Kehidupan yang rumit hingga ia
menyisipkan sebuah pertanyaan tentang ‘Sukses’, ‘Takdir’, dan ‘Bakat’ di kepala
Feri We. Mau tak mau, perjalanku menuju rumah aku isi dengan hepotesa dan
berbagai hal yang pelik untuk menjawab pertanyaan tersebut.
BERSAMBUNG
<< Beranda