megamendungkelabu

Kamis, 26 Oktober 2017

Ponsel Pintar

Sejak aku memakai ponsel pintar, intensitas membaca buku berkurang. Asupan nutrisi pemikiranku hanya diisi berita politik, kegaduhan di sana-sini, dan artikel-artikel viral lainnya. Salah satu manfaat yang aku setujui saat membaca di ponsel pintar mungkin adalah kemampuan membacaku yang semakin cepat, walau terpotong-potong.

Polanya sederhana, baca judul artikel, baca kalimat pertama, lalu acuhkan dan scrolling sampai kalimat terakhir di paragraf terakhir. Hal ini mengingatkanku dengan ujian Bahasa Indonesia saat bersekolah dulu tentang inti suatu paragraf.

Sisanya, membaca artikel melalui gawai menurutku sangat melelahkan. Salah satu cara dalam mengembalikan 'kewarasan'-ku dalam berliterasi adalah membaca buku fisik.

Membaca buku berwujud fisik sangat menyenangkan. Aku dapat berdialog secara 'imajiner' dengan para karakter yang berada di buku maupun dengan pengarangnya tanpa serangan gangguan.

Gangguan apa? Ya semacam pemberitahuan dari berbagai aplikasi yang aku pasang di ponsel tersebut, lah. Sering fokusku teralihkan dari satu tempat ke tempat yang lain.

Misalnya aku sedang membaca artikel 'Bagaimana Move On dari Mbak Mantan padahal Aslinya Cuman Gebetan' di 'sebuah situs yang kalau kesebut namanya takut dikira promosi terselubung'.

Baru membaca poin kedua  lalu tiba-tiba muncul deh logo pesan singkat di Whatsapp , belum sempat membaca pesan di Whatsapp selesai, muncul pemberitahuan lagi dari Instagram. Instagram scrolling.

Scroling.

Scroling terus.

Scroling terus sampai jenggotan.

Scroling terhenti karena nemu foto mbak gebetan, langsung menuju akun mbak gebetan untuk menguntit cerita terbarunya. Hah!? Doi udah nikah dan punya baby. Galau. Lalu males buka gawai.

Nah. Lalu bagaimana dengan nasib artikel 'Bagaimana Move On dari Mbak Mantan padahal Aslinya Cuman Gebetan' di sebuah 'situs yang kalau kesebut namanya takut dikira promosi terselubung'?

Hilang!! ditelan galau gara-gara nemu foto baby di Instagramnya mbak gebetan. See!?

Terkadang aku suka bingung saat ada yang dengan mudahnya membagikan kiriman provokatif penuh ujaran kebencian.

Sudah sumbernya tidak jelas nilai manfaatnyapun kurasa kurang patut untuk diperbincangkan.

Poin positif dari membaca buku fisik, terutama buku yang lahir dari tangan-tangan maestro, adalah isinya. Apabila diandaikan, buku yang berkualitas bagus itu seperti makanan mewah di restoran yang berkelas. Bahan-bahannya jelas dan bisa ditelusuri nutrisinya. Koki dan pengarangnyapun tidak bersembunyi di balik topeng, dan bisa kita telisik rekam jejaknya (Walaupun tidak semua penulis dan buku fisik seperti itu sih).

Penulis anonim di medsos dan penulis bergelar di dunia nyata mempunyai satu persamaan yang sama, mereka semua sedang memperjuangkan sesuatu.

Entah materi.
Entah itu ideologi.
Atau mungkin sekedar mencari sensasi.

Ya, ya, aku juga butuh uang dan pengakuan. Menjadi komikus kritis soal politik sepertinya keren. Atau menjadi netizen yang paham sekali soal agama sepertinya juga yahud. Namun aku harus tahu diri. Ilmuku belum nyampe untuk hal-hal seperti itu.

Nggagas piye carane golek pangan soko passion wae mumet ndase, ameh nggagas sesuatu sing ilmuku dewe wae ora nyandak.

Ya sudahlah, untuk kali ini, aku hanya ingin menjadi Winnie The Pooh saja deh.

Menjadi beruang madu berotak kecil yang selalu bersahaja sambil menikmati kehidupan bersama Christopher Robin, Piglet, Eeyore, Owl, Roo, Kanga, Rabbit dan seluruh penghuni Hutan Seratus Ekar (ekar itu apaan sih bro!?).

Di buku 'Winnie The Pooh' dan 'The House at Corner Pooh', tokoh beruang penggemar madu ini mengakui bahwa dirinya memang tidak terlalu pintar dan berotak kecil.

Mengetahui kenyataan tersebut, Winnie The Pooh tidak menyesal dan mencoba menjadi beruang yang baik untuk lingkungannya.

Bodoh namun memiliki sikap yang rendah hati dan bersahaja sebenarnya cukup untuk membuat dunia di sekitar kita bahagia.

Dan membaca dinamika dunia di buku Winnie The Pooh itu seperti berkaca di beranda media sosial. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan gawai dan membaca artikel on line. Toh tak bisa dipungkiri lagi bahwasanya sejagat ilmu tersebar di sudut lini masa. Yup. Pinter-pinternya yang megang ponsel pintar saja sih. Jangan sampai idiom 'masak udah pegang ponsel pintar, yang punya ponsel pintar masih goblok' menempel di jidat kalian (dan aku tentu saja) saat mengirimkan sesuatu melalui gawai.

Suka atau tidak suka, buku cerita bergambar ini sangat aku rekomendasikan buat  yang ingin 'memelihara' kewarasan dan  menengok kembali menakjubkannya dunia anak-anak. Yah pokoknya gitu deh.

Mujix
Sesosok komikus yang sering dikatain makin kurus gara-gara punya badan yang kerempeng.
Bogor, 3 November 2017.