megamendungkelabu

Rabu, 07 Februari 2018

Rentenir

Siang ini aku menggambar di ruang tamu. Mamak, bapak dan tamunya sedang bergosip di luar. Aku sengaja tidak menyalakan musik agar bisa fokus ke komik yang tengah aku kerjakan. Dari meja gambar ini aku bisa mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan di luar.

Mereka (yang didominasi oleh bapakku) ngobrol soal kandang burung murai. Mereka membicarakan soal sang tamu yang ingin pergi ke Solo. Mereka membicarakan mengenai uang. Ngalor ngidul hingga sampai ke tema soal penawaran dana segar dari rentenir.

Mamakku berkisah, pada suatu hari seorang rentenir datang. Rentenir itu menawarkan uang pinjaman beberapa juta. Mamakku menolaknya dengan tegas. Beliau tahu meminjam uang dari rentenir itu mempunyai bunga yang tidak wajar. Mamakku dicecar dengan berbagai hinaan. Namun yang membuat ibuku murka ialah saat sang rentenir mengatakan kalau warungnya yang menjual sayur adalah sampah.

Kemarahan meluap, mamakku lalu bilang walau ini warung sampah, warung ini sudah membuat anak-anaknya menjadi sarjana.

Aku mendengar kisah itu sambil tersenyum haru. Suka atau tidak suka aku dibiayai bisa sekolah setinggi universitas karena orang tuaku berjualan sayur di berbagai tempat. Karena tahu fakta tersebut, aku sangat berhati-hati dalam membuat permintaan. Tidak memiliki komputer, motor alias sarana transportasi, dan keadaan keuangan yang random, kurasa cukup untuk menggambarkan seberapa 'berdarah' masa-masa itu. Aku jadi teringat perjuangan yang berdarah-darah dulu demi mengejar gelar sarjana tidak sia-sia.

Rentenir itu akhirnya pergi dengan sangat dongkol dan malu disemprot mamakku. Mamakku hebat. Aku hampir bertepuk tangan saat beliau mengakhiri ceritanya dengan sangat heroik.

Mujix
Berjalan di jalan pedang. Hampir tergelincir.
Bogor, 18 Mei 2018