megamendungkelabu

Senin, 30 April 2018

Kerja di kafe

Kemarin aku mencoba 'belagu' sok-sok'an pindah meja kerja ke kafe. Atau lebih tepatnya warung kopi. Ini bukan gayaku sih, tapi berada di Bogor, tempat yang jauh dari 'habitat' asliku di Solo, membuat aku harus berimprovisasi agar bisa bertahan di sebuah pekerjaan yang (hampir) setiap hari bergelut dengan gagasan.

Sore itu aku benar-benar sudah muak  gara-gara gak nemu ide baru buat komik Si Amed, yang rencananya bakal.... ehem ..... tayang di lapak sebelah. Seharian itu aku  hanya berada di meja gambar. Hampir dari pagi sampai siang aku hanya bengong corat-coret random. Cuman nemu beberapa biji ide yang garing.

Okelah, Memang harus pindah tempat. Semua semesta di dalam tubuhku sangat pandai menyampaikan pertanda bahwa aku butuh lingkungan baru untuk memantik beberapa pemikiran yang belum ketemu. Ya sudah, saatnya pergi ke luar.

Awalnya aku berencana pergi ke taman rindang dekat Botani Square. Sebuah tas kecil berisi dompet, buku catatan, pensil, dan buku cerita 'Le Petit Prince' yang sudah kubaca dua kali masih bingung 'bagusnya' dimana. Dalam perjalanan menuju ke tempat biasa aku menunggu angkutan umum, pandanganku tak sengaja melihat sebuah warung kopi. Sepertinya menarik.

Dan begitulah, aku berubah haluan dan pergi ke warung kopi itu. Lokasi warung kopi tersebut tidak terlalu jauh dari tempat aku tinggal dan bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 5 menit berjalan kaki.

Oh iya. Aku sengaja meninggalkan ponsel pintarku di rumah agar tidak ada 'intervensi sepihak' dari derasnya informasi yang membanjir dari berbagai medsos. Jadi bisa dibilang, ini adalah waktu khusyukku untuk berpetualang mencari pac... maksudku ide baru.

Aku berjalan clingak-clinguk mencari pintu masuk. Banyak mobil dan motor di depan warung tersebut, sekonyong-konyong muncul tukang parkir yang memberitahu di mana 'gerbang dimensi' menuju tempat  yang konon menurut anak 'jaman now' gudangnya ide-ide brilian.

Masuklah aku ke warung kopi tersebut. Suasana tempat ini sangat 'hommy' banget, seperti rumah-rumah kopi pada umumnya. Ada dua tempat alternatif untuk 'ngopi' di sana, di dalam ruangan atau di luar ruangan. Lebih tepatnya sih 'smoking' dan 'non smoking' area.

Area merokok berada di beranda rumah. Tak terlalu spesial. Aku sering menemui beberapa beranda yang disulap menjadi  warung. Bermacam-macam kursi dan meja tergeletak di sana. Namun tak ada yang cocok sama pantatku. Ada beberapa buku di rak, sayang hanya ada buku-buku bekas yang membuat minat membaca hilang.

Aku akhirnya memilih meja di dalam ruangan, tak jauh dari pintu keluar masuk. Tas tote aku tinggalkan di bawah meja dan

Selasa, 17 April 2018

Komik Gue

"Kok komik yang gue bikin nggak masuk timeline? Payah tuh timeline gak ngakuin gue eksis!"

***

Yaelah. Jangankan masuk timeline (dunia komik Indonesia), di katalog pameran aja judul komikku salah ketik . Ini semacam 'teguran' dari Tuhan kalau di 'dunia komik Indonesia' aku memang masih berupa kecambah.  Yuk berkarya!

Berkarya sampai orang mengenalku tanpa kamu harus menjelaskan siapa dirimu.

Berkarya hingga suatu saat hal-hal sepele semacam 'salah ketik' tidak membuat mood agak buruk sepanjang pembukaan pameran. Ah sial. Ternyata aku termasuk makhluk yang baperan.

Berkarya sampai memahami konsep bahwa 'setiap karya memiliki jalan hidupnya masing-masing'.

Entah menjadi mahakarya atau tertelan lini masa, siapa yang tahu? Setidaknya karya itu telah ada dan menjadi rekam jejak salah satu umat manusia.

Salah satu umat manusia itu kamu. Kamu dan karyamu.

Salah satu prinsip yang aku genggam beberapa tahun ini adalah mengenai pentingnya memahami keadaan diri.

Jika aku merasa rendah diri, aku akan mengingat orang-orang yang kagum,  tersenyum kecil, terkesan, sekedar komen 'mantap bosku', dan mungkin berubah menjadi lebih baik karena karyamu.

Namun jika aku merasa terlalu tinggi hati, aku akan memandang orang-orang yang lebih tinggi dan sukses daripada aku. Karena di atas kecambah masih ada langit dan langit.

Selamat mas Is Yuniarto, aku bahagia banget membaca berita ini. Wayang kulit versi Iron Man, Dr. Strangge, dan Nebula? Ajib bener. Sukses selalu buat sampeyan! Hehehe.

Mujix
Lelaki yang suka curhat di medsos kalau 'mager', 'artblock' dan 'badmood'.
Bogor, 17 April 2018

Selasa, 10 April 2018

Medsos-nya Mujix

Jika Facebook jadi diblokir, kalian bisa menemukan di beberapa medsos:

1. Twitter: @mujixmujix
Tempat foto-foto apapun. Akun ini biasanya aku isi dengan gambar-gambar dokumentasi terkait dengan proses kreatif dalam berkarya. Foto-foto random saat berjalan-jalan entah ke mana. Wajah-wajah orang yang kutemui di berbagai tempat dan tentu saja wajah tampan yang mirip nampan sang pemilik akun. Tingkat keaktifan: 85%.

2. Instagram: @mujixmujix
Tempat pencitraan. Akun ini hampir sama dengan yang berada di twitter. Namun minus foto-foto random, lebih sedikit wajah tampan yang mirip nampan pemilik akun, tidak ada foto random. Hanya komik, illustrasi dan hal hal yang tidak jauh dari tema tersebut. Tingkat keaktifan: 80%.

3. Wattpad: @mujixmujix
Tempat belajar nulis. Baru mulai. Isinya prolog novel 'Gelora Masa Muda'. Iya baru prolog. Maaf. Tingkat keaktifan: 2%.

4. LINE: @mujixmujix
Bikin LINE gara-gara ngidam pengen punya Webtoon. Setelah tahu di LINE ada fitur 'People Nearby', sekarang lebih sering buka, buat nyari gebet... eh teman baru. Tingkat keaktifan: 10%

5. Whatsapp & Email.
Tingkat keaktifan 90%
Semua hal yang berkaitan dengan karir, percintaan dan kehidupan, ada di tempat ini. Jika ingin menyimpan nomer/emailku untuk berkomunikasi secara personal bisa silahkan PM ya.

Silahkan dipilih dengan bijak. Dan mari terus berkomunikasi.

Mujix
Vini vidi vici
Vini dan vici lagi nonton televici
Bogor, 11 April 2018

Spidol

Aku sedang butuh spidol. Spidol yang biasa aku pakai hilang. Aku cari di meja kerja. Aku cari di ruang tidur. Aku cari di sudut rumah. Tak tampak di manapun. Aku menghela nafas. Aku masih mempunyai drawing pen, namun kali ini aku ingin menggambar menggunakan spidol. Aku rindu sensasi empuk nan luwes dari spidol.

Sedetik kemudian aku memutuskan membeli spidol di Warung Mama Andre. Sebuah toko kelontong paling lengkap di kampung ini. Aku kadang agak ragu untuk ke sana. Bukan masalah harganya. Bukan pula masalah barangnya.

Namun penjaganya. Penjaganya adalah mbak-mbak berjilbab. Cukup manis. Aku takut saat membeli spidol, dia akan jatuh cinta padaku. Atau, aku yang akan jatuh cinta padanya. Tidak ada yang bagus di antara keduanya. Kecuali kita berdua sama-sama saling mencinta.

Jika aku terjebak asmara sepihak, aku akan melupakan kerinduan akan sensasi menggambar menggunakan spidol. Hidupku hanya akan ada dia. Ah benar.  Selama aku berpikir terlalu jauh, aku  masih belum mempunyai spidol. Ah sudahlah. Tanpa berpikir panjang aku segera bergegas ke warung Mama Andre.

Aku tak peduli dengan mbak-mbak berjilbab manis. Aku tidak peduli dengan 'siapa' entah akan jatuh cinta dengan 'siapa'. Aku butuh spidol. Aku rindu sensasi empuk nan luwes dari spidol.

Dan benar saja, mbak-mbak manis berjilbab itu muncul. Aku minta spidol. Dia memberikan sebuah spidol besar. Namun sayang aku butuh yang kecil. Walaupun sama-sama spidol, spidol besar tidak aku butuhkan. Sekalipun yang memberikan mbak-mbak manis berjilbab.

Aku tak peduli dengan mbak-mbak berjilbab manis. Aku tidak peduli dengan cinta lokasi. Aku butuh spidol. Spidol yang kecil. Spidol yang mempunyai sensasi empuk nan luwes. Bukan spidol besar yang kasar dan beraroma menyengat.

Aku meninggalkan mbak-mbak berjilbab manis di Warung Mama Andre. Semoga tidak ada cinta diantara kami. Aku pulang ke rumah.

Aku bertanya kepada ibuku perihal di mana di jual spidol kecil. Beliau tidak tahu yang menjual spidol kecil. Namun ibuku tahu perihal warung kelontong lain selain Warung Mama Andre. Warung itu berada di ujung perempatan dekat jembatan. Warung itu katanya tidak sebesar warung Mama Andre.

Aku langsung berasumsi di warung ujung perempatan dekat jembatan itu pasti tidak menjual spidol. Spidol kecil yang mempunyai sensasi empuk nan luwes. Dan aku juga cukup yakin kalau di warung ujung perempatan dekat jembatan itu tidak ada mbak-mbak berjilbab manis yang menjadi penjaganya.

Namun karena aku menghormati saran ibu, aku memutuskan untuk pergi ke warung ujung perempatan dekat jembatan untuk mencari spidol kecil.

Aku berjalan menuju warung ujung perempatan dekat jembatan. Sesampainya di sana aku menanyakan soal spidol.

Dan seperti dugaanku, warung ujung perempatan dekat jembatan tidak mempunyai spidol, tidak pula mempunyai mbak-mbak berjilbab manis yang menjadi penjaganya. Hanya ada lelaki paruh baya yang mulai berpikir ternyata di semesta ini ada orang-orang yang membutuhkan benda remeh bernama spidol.

Aku kembali ke rumah. Aku masih mempunyai drawing pen, namun kali ini aku ingin menggambar menggunakan spidol. Hingga detik ini aku masih belum mempunyai spidol.

Haruskah aku memupus harapan untuk menggambar dengan spidol kecil yang mempunyai sensasi empuk nan luwes? Jika diriku yang biasanya, pasti aku putus asa dan akan langsung 'legowo' menggunakan drawing pen.

Tapi tidak untuk kali ini. Aku harus menggambar dengan spidol. Spidol yang kecil. Untuk kali ini aku akan menjadi makhluk yang tidak 'nrimo ing pandum'.

Aku teringat ada minimarket di kampung sebelah. Agak jauh letakknya. Nama minimarketnya 'Kindae'. Walau tidak segagah kompetitornya! Tidak seterang benderang pesaingnya! Namun minimarket itu masih berdiri hingga hari ini. Aku memutuskan pergi ke minimarket tersebut.

Malam hari yang sudah agak larut menjadi teman dalam misiku mencari spidol kecil. Kakiku berjalan agak terburu-buru. Mungkin sedikit kelelahan karena harus ke sana ke mari demi keegoisan pemiliknya. Jalanan komplek cukup lengang. Tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Puluhan prosa pasti akan tercipta jika seorang manusia romantis yang melalui jalanan malam ini.

Langit mendung kelam, angin semilir nan dingin dan jangan lupakan rintik hujan yang membaur bersama terangnya lampu merkuri. Yah, jika manusia romantis itu seseorang yang jenius dan memiliki keberuntungan bagus, bukan tidak mungkin ia akan menjadi milyuner.

Ia bisa mengubahnya menjadi puisi.
Ia bisa menyulapnya menjadi lagu.

Namun sayang, aku bukanlah manusia romantis. Aku adalah manusia egois yang rela membuang segala omong kosong itu demi spidol kecil. Spidol kecil yang mempunyai sensasi empuk nan luwes.

Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di Kindae. Sesampainya di sana aku langsung menebarkan ke segala arah. Mataku langsung tertuju ke rak kecil tempat alat tulis di jual.

Dan... Eureka!
Ada spidol kecil di situ!
Aku mengambil dua buah.
Kupandang lekat-lekat. Ada secercah rasa suka cita di dada. Rasanya mungkin seperti menemukan gadis yang kau sukai di antara kerumuman manusia.

Spidol idaman sudah di tangan. Dalam satu hentakan aku sudah berada lagi di depan meja gambar menuangkan prosa dan puisi yang ada di hati. Secercah rindu
rindu sensasi akan spidol empuk nan luwes dari spidol terobati sudah.

Spidol lama yang biasa aku pakai memang sudah hilang. Namun aku bisa menemukan spidol yang baru, dengan sedikit perjuangan tentunya. Aku dan spidol malam ini sama-sama saling mencinta. Aku memperjuangkan ia dengan berbagai cara. Ia memberikanku rasa nyaman dengan bermacam pola.

Setiap orang memiliki 'spidol'-nya masing-masing. Bisa berwujud cita-cita, keinginan, ataupun orang yang ia cintai. Mau diperjuangkan atau tidak bukanlah sesuatu yang penting. Karena bagi orang lain, hasil adalah segalanya.

Dan jika membicarakan soal hasil. Gambar inilah yang baru saja diciptakan oleh spidol tersebut.

Mujix
Temukan spidolmu
Simo, 10 April 2018

Mata Kuliah Lanjutan

Selama beberapa bulan ini di Bogor aku banyak mendapatkan ilmu baru. Ilmu kehidupan tentunya. Tengiknya pengetahuan-pengetahuan itu aku dapat dari berbagai kejadian yang tidak mengenakkan, sedih, dan sangat melelahkan. Begitulah.

Mujix
Hidup itu serius. Kamu hanya kecambah di dunia komik.
Bogor, 3 Maret 2018

Cuman Dapet Capeknya Doang

Akhirnya aku tahu artinya 'cuman dapet capek doang'. Dan pemahaman tersebut aku bayar mahal. Pameran komik di Galeri Nasional kali ini benar-benar melelahkan. Biaya pengiriman karya yang lumayan, typo judul karya di sana sini (yang katanya udah direvisi), display karya yang berbeda dengan konsep, dan tentu saja ekspektasiku yang berlebihan. Pokoknya 'cuman dapet capek doang'.

Saat ini aku masih di kereta KRL Jakarta-Bogor. Sambil memikirkan hal positif apa yang aku dapatkan dari pameran tersebut. Dan sialnya, hingga kereta ini hampir sampai tujuan, aku belum menemukan apapun. Mana AC-nya dingin banget lagi.

Mujix
Mencoba menjadi pribadi
yang realistis
Cilebut, 2 April 2018

Kamis, 05 April 2018

Pameran 'Dunia Komik': Chapter Mujix

Coretan curhat terbaruku yang berjudul  'Meja Bermuka Masam' sudah bisa dibaca di pameran 'Dunia Komik', Galeri Nasional Jakarta, bersama 129 karya goresan ciamik berbagai komikus di Indonesia.

Di acara pameran ini aku membuat sebuah karya instalasi meja gambar darurat yang aku beri nama 'Meja Bermuka Masam'. Sebuah judul yang rumit hingga membuat typo diberbagai tempat.

Typo pertama diraih oleh petugas keamanan di ruang sekretariat acara ini, Beliau menyebut judul komikku dengan nama 'Meja Bermuka Mesum'! Saat itu aku mati-matian menahan untuk tidak tertawa. Tertawa mesum. Muehehehe.

Typo kedua dilakukan dengan gemilang oleh panitia acara ini (Atau siapapun yang menulis judul komik tersebut di katalog dan sertifikat) dengan judul 'Muka Bermuka Masam'! Saat itu aku mati-matian untuk menahan diri agar tidak terlalu 'kecewa' atas kesalahan tersebut dan mencoba memahami kerja keras panitia pemilik acara.

Nah, lalu kenapa judul komik ini 'Meja Bermuka Masam'? Ceritanya panjang. Namun walau panjang, aku berhasil mengemasnya menjadi sebuah komik personal dengan media cat air dan pensil warna.

Kalian bisa membaca komik 'Meja Bermuka Masam' sambil bertemu dengan tokohnya langsung di lokasi pameran 'Dunia Komik'.

Apa? Bertemu tokohnya langsung? Siapa? Tentu saja sang 'Meja' bersama teman-temannya, ada lampu gambar, cangkir kopi, disgrip barbie, sisa penghapus, buku catatan tempat menyimpan ideku, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Satu lagi yang menarik. Komik 'Meja Bermuka Masam' tersebut aku display layaknya suasana meja kerja. Jadi jangan harap kalian bisa menemukan komik tersebut 'tertempel' di dinding galeri! Kamu harus duduk di kursi tersebut dan merasakan sensasinya! Wkkwkwkw!

Aneh-aneh wae koe, Mas!!

Komik berjumlah 8 halaman itu benar-benar tergeletak berantakan seperti mejaku biasanya. Jika kamu ingin membaca komik tersebut, kamu harus merapikan dan mengurutkan halaman demi halaman. Begitulah. Sesekali aku ingin membuat sesuatu yang berbeda.

Dan bisa memamerkan 'komik idealis' tersebut bersama para komikus hebat  tanah air di Galeri Nasional benar-benar momen yang membanggakan.

Dan pertanyaan terakhir.
Apakah kalian tertarik membaca komik 'Meja Bermuka Masam' di medsos?
Jika banyak yang tertarik dan ingin membacanya aku unggah entah kapan.

Namun jika tidak, acuhkan saja postingan ini. Toh komik 'Meja Bermuka Masam' memang dibuat hanya untuk sekedar menandai masa dan mengingatkan aku tentang pentingnya berkarya untuk diri sendiri.

Mujix
Seorang komikus yang mulai memahami jika dirinya di 'dunia komik' yang sangat luas ini, dia hanyalah sebuah kecambah yang mencoba untuk bertumbuh.
Bogor, 5 April 2018