megamendungkelabu

Sabtu, 19 Mei 2018

Ibu dan Anak Kucing

*Di kontrakan Bogor terdapat banyak tikus. Mulai dari yang kecil semacam Jerry sampai yang segede Gavan. Segerombolan tikus laknat itu mempunyai prilaku yang kurang baik. Sebagian suka ngembat makanan, sebagian suka ngegigit acak benda apapun, sebagian lagi suka mencuri uang rakyat. Cie kata-kata sok konseptual.

Mamakku udah jengah kelakuan para tikus tersebut. Lalu diracunlah para cecunguk itu. Sekali dua kali para tikus tersebut mati.

Sebagian ketemu di tempat yang mudah dijangkau, sebagian lain seperti 'jodoh', mencarinya harus pakai acara mondar-mandir dan belum tentu ketemu. Salah satu tanda yang nyata saat ada tikus mati ialah munculnya 'aroma' ala sate kambing  kadaluwarsa yang semerbak dimana-mana. Seperti pagi ini.

Jadi, Pagi ini lagi-lagi tercium wangi kembang melati akibat 'genosida' sepihak yang dilakukan mamakku dengan racun tikusnya. Beberapa kali dicari, namun kali ini bangkai tikus itu bersembunyi entah dimana. Hilang. Seperti aku di hati kamu.

Pencarian tersebut tak menghasilkan sesuatu apapun. Hingga di suatu siang yang cerah, mata mamak tak sengaja melihat seekor kucing belang di bawah kulkas.

Ngomongin kucing belang.

Kucing belang itu sering datang ke warung kami. Terkadang sendirian, terkadang bersama ibunya. Mamakku sering memberinya makan. Mamakku memang tidak tegaan. Makanya begitu  ngeliat kucing yang 'ngeang-ngeong', beliau langsung mengambil ikan tongkol dan mencampurnya dengan nasi untuk dijadikan makanan si kucing.

Dan detik ini, kucing belang yang sering beliau beri makan tiba-tiba tak bergeming sedikitpun. Tidak mungkin kucing tersebut sedang melangsungkan prosesi 'manequin challanges'!

Tanpa perlu menunggu Detektif Conan atau Sherlock Holmes mengeluarkan deduksi andalan, mamakku langsung tahu jika Si Kucing Belang itu mati dikarenakan racun tikus, bukan karena kasus pembunuhan berantai di ruang tertutup.

Ya. Si Kucing Belang itu sudah mati. Aromanya semerbak ke penjuru kontrakan. Mamakku lalu bermuka agak sendu.

Sepersekian detik itu mamakku tersadar lalu memanggil seseorang untuk membuang bangkai kucing. Mamakku berteriak. Bapakku sedang mager dan sedang tidur. Gak mungkin diserahi tugas negara sepenting itu. Sepersekian detik kemudian namaku membahana sampai di ujung langit-langit. Manusia  berambut kribo yang sedang kelelahan membuat komik namun kelihatannya nganggur itu tersentak saat namanya disebut. Manusia berambut kribo itu tak lain dan tak bukan adalah aku.

Bergegaslah aku ke arah kulkas. Awalnya aku enggan untuk mengurusi hal tersebut, perasaan dan fisikku sedang capai karena perjalanan Solo Bogor.

Mau bagaimana lagi ya. Ya sudahlah. Aku segera mengambil sapu lidi. Rencananya sih jenazah kucing itu langsung aku sapu lalu diangkat pakai pengki dan di buang ke tempat sampah. Hanya saja kenyataan berkata lain.

Kucing itu berukuran lumayan gede. Tidak kuat jika di sapu pakai lidi. Lagian kucing malang itu terselip di kolong bawah kulkas. Terlalu sulit jika memakai sapu. Aku memutuskan untuk mengangkatnya pakai tangan. Tanpa banyak cing cong aku mengambil tiga kantong plastik. Dua kantong plastik pertama aku pakai sebagai 'sarung tangan'. Kantong plastik ketiga adalah tempat untuk membawa mayat kucing tersebut.

Dalam sekali angkatan, kucing tersebut sudah berpindah ke kantong plastik. Mamakku sebenarnya ingin menguburnya. Namun karena di perkampungan Bogor ini sangat minim tanah umum yang dipakai buat nisan, dengan sangat berat hati beliau menyuruhku untuk membuangnya ke sungai.

Di detik inilah batinku mengalami pertentangan. Membuang sampah ke sungai itu perbuatan yang kurang beretika. Dan sialnya aku sering menyindir prilaku buruk tersebut di komik-komik yang aku buat. Sial. Mungkin ini keadaan yang menginspirasi para pencipta pepatah 'bagai menjilat ludah sendiri'.

Setelah sedikit pergolakan di batin akhirnya aku mendapatkan pencerahan. Bangkai kucing kan sampah 'organik' kan ya? Bisa terurai dan termasuk organisme yang sari patinya bisa menyuburan tanah. Tanpa ragu lagi. Kucing tersebut aku buang ke sungai. Dan byuuur.

Sip. Semua masalah sudah selesai. Aku kembali ke meja gambar.

Beberapa puluh menit kemudian terdengar suara kucing mengeong. Mamakku bilang ibu kucing tersebut mencari anaknya. Aku hanya melengos dan berkata datar bahwa kucing tersebut mungkin perutnya lapar.

Mamakku bilang suaranya beda.