megamendungkelabu

Sabtu, 07 Juli 2018

Ayo!!! Bangun!!!

Disclaimer: beberapa adegan di postingan ini agak menjijikan. Jika kamu tidak terlalu kuat dengan kalimat kotor dan adegan yang 'mengganggu', silahkan acuhkan postingan ini.

Stalking mantanmu, wae!
Jika kamu beruntung, kamu bakal menemukan foto mantanmu, sang suami, dan foto baby-nya sedang menjalani kehidupan yang bahagia.

Ah. Kurasa foto itu juga 'mengganggu' jika kamu belum 'berpindah hati' dari dirinya. Uch sakit. Tapi tidak berdarah.

***

Selamat datang di Stasiun Jatinegara.
Selamat datang di Jakarta.

Saat ini aku sedang berada di kereta ekonomi Gaya Baru Malam Selatan. Yang harga tiketnya sangat murah meriah untuk seorang komikus yang habis mendapat transferan gaji.

Keadaan gerbong nomer 7 yang aku tumpangi hari ini sangat ramai. Di dominasi penumpang-penumpang dari  Jawa Timur, tepatnya daerah Jombang, yang hampir di setiap bangku penumpang bawa pasti ada anak-anak.

Jika ditilik dari ilmu sosial, arus balik merupakan waktu yang tepat untuk merantau dan membawa sanak saudara untuk berpindah ke kota. Hal tersebut mungkin merupakan 'mimpi buruk' bagi warga ibukota, namun di satu sisi  hal tersebut mungkin adalah awal dari 'mimpi indah' bagi warga non ibukota yang datang ke Jakarta.

Lalu jika dilihat dari sudut pandang ilmu filsafat, atau ilmu semiotika, atau ilmu matimatika logika, ilmu othak-athik-mathuk, banyaknya penumpang yang membawa anak malam ini merupakan cara Alam Semesta memberi 'kode keras' kepadaku untuk segera menikah. Iya, MENIKAH. Uwuu.

"Ayo!!! Bangun!!!"
Lamunanku soal pernikahan dibangunkan oleh sebuah teriakan.

"Bangun!!! Ayo bangun!! Kita turun di Stasiun Jatinegara!!!" Seorang bapak berteriak keras membangunkan anak-anaknya yang tengah tidur di kereta.

Aku melirik mereka. Sebuah keluarga yang cukup meriah teronggok dengan acak di kursi seberang jalan. Sang kepala keluarganya masih berteriak norak membahana.

Mataku menangkap pemandangan sebuah keluarga yang ramai dengan anak-anak yang bergegas bangun dan merapikan barangnya. Ada dua anak di keluarga tersebut. Si Anak perempuan bergerak random merapikan charger hape yang simpang siur. Sementara Si anak lelaki berbaju abu-abu mengangkat dan memakai tas rangsel yang sangat besar.

Jangan tanya isinya apa. Aku tidak tahu.  Sing nggenah dudu duit. Namun yang pasti, sepertinya ia kelebihan beban. Badannya limbung dan kaki anak tersebut  tiba-tiba menginjak kakiku. Beberapa detik kemudian ia terhuyung-huyung dan jatuh terduduk di tas bawaanku.

Darahku berdesir merinding. Sangat beruntung tasku yang berisi laptop sudah di punggung. Jika tidak, kurasa aku akan menyebutkan nama-nama binatang , dengan nada tinggi, dan tentu saja tidak mendapatkan hadiah sepeda.

Sang istri dari lelaki yang berteriak norak itu memandangku dan hanya tertawa.
Semacam memberi kode 'Harap, maklum ya, namanya juga anak-anak.".

Aku tak tersenyum. Hanya melirik wanita paruh baya dengan tatapan sinis, yang merupakan 'kode' jika diartikan dalam bahasa verbal 'Hei, bukankah harusnya anakmu, atau setidaknya kamu minta maaf kepadaku!?'.

Seperti jodoh yang tak bersanding, seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, aksi saling kode kami tidak menemui titik temu. Suami istri yang wagu, begitu pikirku.

Si anak itu lalu berdiri tanpa merasa bersalah sedikitpun. Tanpa minta maaf. Pergi begitu saja yang kemudian bergegas ke tengah gerbong. Suami istri yang wagu, anaknya juga. begitu pikirku.

Sesaat menjelang kereta berhenti di Stasiun Jatinegara, sang suami yang berteriak norak tadi tiba-tiba batuk.

"Uhuuuk!!! Uhuuuuk!!!"
Bapak itu berdehem dan batuk dengan suara keras.

"Hoeeek!!! Cuuuhhh!!!"
Oh sial, sang suami yang berteriak norak tadi dengan tololnya meludah, dan membuang dahak di lantai gerbong kereta. Beberapa kali.

Aku langsung mengalihkan pandangan ke arah jendela dan menghindari adegan menjijikan tersebut. Suami istri yang wagu, anaknya juga, tapi sang suami tersebut lebih tidak waras lagi.

Untuk sesaat aku teringat tagar #2019GantiPresiden. Entah kenapa memori di kepalaku malah memunculkan ingatan tersebut. Suka tidak suka, para elite politik di atas sana ternyata telah berhasil membentuk pemahaman baru di masyarakat. Memunculkan ide baru di pemikiranku.

#2019GantiPresiden. Ya Tuhan, untuk detik ini, di depan bapak-bapak batuk yang sedang menumpahkan sesuatu dari mulutnya tersebut, yang perlu diganti bukan presidennya, Bung!

Untuk detik ini yang perlu di ganti adalah etika dan sopan santun rakyatnya terlebih dahulu. Sikap 'se-enak udel gue' harusnya diganti dengan pola pikir mana 'hal yang pantas dilakukan' dan mana yang 'hal tidak pantas dilakukan' di tempat umum. Itu yang namanya Revolusi Mental.

"Tapikan..."
"Tapikan..."
"Jika ganti presiden sekarang maka..."
Terdengar omongan lirih dan nyinyir suara netizen yang maha benar mencoba memaksakan pendapatnya.

Diam!!! Aku sedang membicarakan hasil cipta umat manusia yang bernama 'sopan santun'. Jika kau bersikeras mengenai ganti presiden, tunggu satu tahun lagi!

Kembali ke persoalan Si Bapak, daripada berteriak heboh dan membuat penumpang lain terganggu, bukankah bisa membangunkan anak-anakmu dengan elusan di kepala atau goyangan lembut di pundak sambil bilang "Nak sudah hampir sampai di stasiun, ayo turun!".

Apa sih susahnya bilang "Maaf, Mas. Anak-anak saya telah menginjak kakimu dan menduduki barang bawaanmu! Baik-baik saja, kan? ".

Untuk soal dahak. Kalo kamu malas membawa plastik, Telan saja lagi, Goblok!

Tidak ada yang peduli. Tidak ada yang mengingatkan. Semuanya acuh tak acuh. 

Aku menghela nafas panjang. Di mana bumi diinjak, di sana langit dijunjung. Untuk saat ini aku akan menjadi kawan kalian. Aku akan mencoba untuk tidak peduli dan acuh tak acuh.

Selamat datang di Stasiun Jatinegara. Selamat datang di Jakarta.

Mujix
Lelaki yang berniat acuh namun tidak bisa dan membuat postingan tentang kegelisahannya saat berkendara menaiki kereta ekonomi.Jika bisa membuat keadaan menjadi lebih baik, Sampaikanlah walau satu kalimat!!
Jatinegara, 5 Juli 2018