megamendungkelabu

Kamis, 02 Agustus 2018

Tanda Tangan

Kamu pernah disuruh tanda tangan komik bikinan sendiri di Gramedia oleh 'pembeli yang mengapresiasi karyamu' lalu dikelilingi para pegawainya yang terkagum-kagum saat melihatmu menggambar tanda tangan tersebut?

Aku pernah. Dan serius foto ini nyata dan bukan akting. Siyal kenapa fotoku jelek sekali. Tapi ya sudahlah, Jadi ceritanya begini.

***

"Ini lho, Mbak! Komikusnya!!" kata beliau dengan bangga saat membayar dua komik yang aku buat di kasir.

Dan bisa ditebak. Dua mbak-mbak kasir Gramedia itu langsung surprise dan ber-'uwaaaaah'-ria sambil menatapku
dengan mata berbinar-binar.

Aku langsung salah tingkah. Baru pertama kali ini aku 'diseret' seseorang ke Gramedia secara mendadak untuk membeli komik dan di-mention dengan 'heboh' di depan banyak orang. Di hadapan mbak-mbak kasir yang kece-kece pula, unch.

"Nah, kan bukunya sudah dibeli, sekarang tolong dikasih tanda tangan ya!"
Kata beliau yang membuatku terhenyak.

Uh... whaat!!? Ta... tanda tangan!? Di tempat seramai ini!? Duh, Gusti! Paringono calon bojo!

"Mbak, sekalian beli alat tulis dong!" Pinta bapak paruh baya berbaju batik warna coklat itu.

"Maaf, Pak. Untuk membeli alat tulis, bapak bisa ke lantai satu." ucap Mbak-mbak kasir yang membuatku sedikit lega. 

Alhamdulillah. Masih ada secercah harapan.

Pokoknya akan aku usahakan agar... uhuk... Sesi tanda tangan itu dilakukan di luar toko saja. Kalo perlu di luar negeri atau di luar angkasa! Soalnya menggambar di tempat umum tanpa persiapan itu hanya berujung pada ke situasi yang akward bin canggung.

Nek wis canggung, raiku dadi uelek mergo panik lan kemringet.

"Euhh... Iya, Pak. Sa... saya juga bawa alat tulis kok. Nanti saya tandatangani di bawah saja." Ucap Mas komikus yang wajahnya merah padam karena malu telah di-'uwaaaaah'-i sambil ditatap kagum oleh banyak orang. Terutama sama mbak-mbak kasir yang manis dan chuby.

"Baiklah! Ayo kita ke bawah!"
Kata bapak paruh baya penuh semangat tersebut. Kami meninggalkan kasir dengan sedikit keriuhan.

"Ini lho, Mbak Komikusnya!!" Teriaknya lagi. Iya, Pak. Iya! Batinku sedikit emosi serta malu sambil berjalan menghindari kerumunan.

Jadi gini, terkadang aku merasa 'tidak pantas' untuk mendapatkan banyak sanjungan semencolok itu. Perasaan rendah diri itu kurasa ada sejak aku masih kecil. Seiring berjalannya waktu, perasaan rendah diri tersebut berangsur-angsur aku tinggalkan.

Namun masih saja  perasaan itu sesekali bergelayut 'syantik ingin dimanja' di saat tertentu. Di saat seperti ini misalnya. Sikapku dalam menghadapi perasaan rendah diri tersebut akan diuji lagi.

Nah, setelah sedikit kehebohan di kasir lantai dua, kami akhirnya tiba di lantai satu, lantai di mana dijual barang-barang semacam tas, koper, treadmill, bola basket, boneka Barbie, dan tentu saja alat tulis. Aku berjalan dengan gelagat 'memprovokasi' sang bapak tersebut agar kami segera ke luar dari toko secepat mungkin.

Caranya? Aku akan terus mengajak beliau berbincang sambil berjalan dan  membuatnya terlupa mengenai hal apapun yang berkaitan dengan.... uhuk... uhuk... sesi 'tanda tangan'.

Sudah sangat lama aku tidak bertemu orang yang tindakannya sangat acak dan tidak dapat diprediksi. Agak sedikit menakutkan. Memacu adrenalin. sangat tidak terduga seperti hidupku, hidupmu, dan hidup kalian semua.

Pokoknya akan aku akan fokus untuk menggiring beliau sampai luar toko tanpa 'keramaian' apapun. Titik.

Di sepersekian detik saat aku lengah, bapak pembeli karyaku itu tertinggal beberapa langkah di belakang. Beliau terhenti di stan kasir outlet tas dan koper. Mau membeli koper, Pak!? Kurasa bukan.

Sepersekian detik kemudian otak primataku memberikan sinyal bahaya. Semacam 'spider sense'-nya Peter Parker. Kalo Peter merindingnya di kulit, kalau aku merindingnya di rambut.

"Mas, Mas Mujix sini, Mas! Aku sudah dapat pinjaman alat tulis, nih!" Teriak sang bapak tersebut.

Matih! Pilihannya hanya ada dua, Fight or flight! Bertempur atau kabur!

Jika aku pilih bertempur, maka aku harus berhenti melangkah dan bergegas menghampiri bapak tersebut, apapun yang terjadi, menghadapinya dengan berani.

Jika aku pilih kabur, maka aku hanya perlu 'ngacir' berlagak tidak melihat beliau atau   mungkin aku bisa berpura-pura menjadi boneka Barbie di rak mainan. Justin Barbie.

Melihat wajah sumringah bapak tersebut saat membawa buku karyaku, perasaan angkuh nan enggan ini menjadi mendadak meleleh lumer.

Ah yowislah. Teori mengenai 'Fight' atau 'flight' ternyata memang omong kosong. Alam semesta sudah mengatur segalanya dengan seksama.

Mau tidak mau aku melangkah menuju bapak paruh baya yang sedang asik berbincang dengan beberapa petugas toko. Mbak-mbak lagi? Absolutly yes!! Eh tapi ada cowoknya satu, ding.

Mengapa aku begitu panik dan lebai? Karena peristiwa demi peristiwa itu terjadi dengan begitu cepat tanpa menyisakan waktu sejenak kepadaku agar bisa mengatur energi.

Apalagi untuk seseorang yang introvert seperti aku. Buat yang belum tahu, 'introvert' itu makanan yang berasal dari adonan tepung dikasih sayuran lalu digoreng dan dijual satunya seribuan. Bercanda, silahkan googling sendiri deh.

Aku berjalan perlahan. Beberapa pramuniaga memandangiku dengan seksama, lalu bapak 'sang pengapresiasi karyaku paling bersemangat hari ini' terlihat senang dan antusias.

Matanya memancarkan bintang-bintang seperti di manga komedi yang sering aku baca. Aku bergidik ngeri dan hanya bisa menelan ludah. Yang terjadi maka terjadilah.

"Nah, Mas Mujix, tanda tangan di sini saja" katanya sambil membuka buku komik tersebut dan menunjukkan halaman dalam sampul yang berwarna putih polos.

Tanda tangan. Ya tanda tangan. Di tempat seramai ini. Duh, Gusti! Paringono duwit sak milyar.

Aku diam sejenak, menghela nafas panjang lalu meraih pulpen berwarna biru di depan meja kasir, setelah sebelumnya tersenyum garing sebagai kode 'meminta izin memakai alat tulis tersebut', langsung deh aku corat-coret tanda tangan ala kadarnya.

Selagi aku menulis, tiba-tiba sang bapak tersebut nyeletuk.

"Mas, mbok coba dikasih gambar apa gitu. Pasti bakal otentik banget karya ini. Ketemu komikusnya, dapat tanda tangannya dan dapat gambarnya."

Mak jegeeerr!! Aku terdiam beberapa saat. Gambar!? Mau dikasih gambar apaan, bosku!? Gambar gunung dua ada matahari di tengah gitu!?

Aku mendadak stress. Aku mendadak berharap agar bapak tersebut membeli koper. Agar aku bisa masuk ke koper tersebut lalu dipaketkan dan dikirim ke tempat di mana mbak sang belahan jiwa berada.

Lalu di sebuah momen yang penuh kebingungan itu, sekelebat masa kemudian aku mendapatkan inspirasi.
Mak criiiiing lan njegagik.

Kebetulan rupa bapak tersebut cukup ikonik dan sangat cartoon-able buat digambar. Langsung tanganku bergerak dengan otomatis mengikuti wajah kartunal beliau.

Muka bulat. Sret!! Sret!!
Pakai kacamata. Sret!! Sret!!
Rambut hampir sepundak. Sret!!
Tiba-tiba aku merasa sudah bisa sedikit menguasai keadaan. Menggambar memang asyik.

Satu demi satu pramuniaga di toko  tersebut datang dan berkerumun. Menghampiri diriku yang tengah 'memindai' karakter bapak paruh baya itu menjadi kartun di sampul buku.

"Uwaaah... nggambare cepet banget lan apik sisan!"ucap salah satu mbak-mbak gramedia kece yang sedang kagum saat melihatku menggambar. Aku melirik sedikit, ada lima mbak-mbak dan satu mas-mas memperhatikan gerakan tanganku.

Aku makin malu campur senang campur bangga campur tahu kupat. Sang model yang kujadikan contoh gambar tiba-tiba merogoh ponsel pintar dari sakunya. Beliau lalu berteriak.

"Mas... Mas... liyat sini, Mas..."
Aku mau menoleh.
Mak cekrek.
Aku sudah menoleh.
Ngeblur. Mataku merem.
Halah.

"Lagi ya, Mas!
Aku langsung diam, pasang muka sok ganteng sambil tersenyum manis. Kali aja ntar ada yang naksir.

Mak cekreek lagi.
Yes. Fotonya ganteng.
Terus masnya yang belakang ikutan nampang. Ternyata gantengan dia.
Halah-halah.

"Mas, tau tidak kenapa saya melakukan hal semacam ini kepada Mas Mujix?" Bapak paruh baya itu bertanya dengan sedikit tertawa.

Goresan demi goresan aku torehkan dengan sederhana sambil sesekali kita berbincang. Saat satu buku tersebut selesai aku corat-coret, adegan ber-'uwaaaaah'-ria sambil menatapku berbinar-binar kagum itu terulang kembali. Lebih ramai. Dan lebih banyak orang.

"Memang kenapa, Pak!?"
Aku balik bertanya sembari menyelesaikan gambar di buku lainnya. Untuk di buku ini aku menggambar karakterku sendiri.

Aku masih menggambar di depan banyak orang, namun anehnya rasa gugup dan malu itu entah hilang ke mana.

"Saya harus mengapresiasi seorang komikus sebaik mungkin karena hidup mereka banyak habis di belakang layar saat berkarya." Ucapnya sambil memasukkan ponsel pintar tersebut kembali ke dalam kantong.

Aku tertegun. Mataku menatap sang bapak tersebut. Lalu kualihkan penglihatanku ke arah para pramuniaga yang masih saja memandangku dengan penuh takjub.

Cara bapak dalam mengapresiasi orang, keren sekali! Pikirku sambil menyerahkan dua buku yang sudah selesai digambar. Kerumunan pramuniaga itu terlihat sangat semarak. Mereka menyalamiku satu persatu.

"Duh, seperti lebaran aja mbak pakai salaman segala!"  Kataku senang sambil menjabat tangan lembut mbak kasir tersebut.

"Lhooh, lebaran kemarin kan kita belum salaman, Mas?!" Ucapnya penuh canda yang disambut ledakan tawa kami bersama. Semoga lebaran tahun depan aku bisa bersalaman dengan Mbak di depan penghulu. Eak.

Sikap rendah diri dan uforia pengakuan diri adalah dua mata koin yang berlainan. Tak apa jika saat ini kamu sedang berada di titik terendah dari pengakuan diri sendiri.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada yang salah dengan rendah diri. Banyak orang di luar sana yang bisa sukses karena berhasil memanfaatkan 'the power of rendah diri'.

Rendah hati, kali!?
Enggak. Rendah diri, kok.

Kalau rendah hati, seseorang tersebut sudah berada di posisi hebat namun masih memiliki kesadaran akan haus ilmu dan semangat untuk terus belajar.

Sedangkan rendah diri, in my humble opinion, adalah perasaan minder yang disebabkan banyaknya keinginan yang tidak bisa dipenuhi oleh keadaan dan tidak bisa diterima oleh perasaan.

Rendah diri sering dilabeli 'sikap yang buruk' oleh banyak orang. Namun bagiku, rendah diri itu seperti pecut, atau cambuk. Cambuk buat para manusia yang bekerja keras bagaikan quuuuuda. Hieeeh!

Benda bernama 'cambuk' tidak bisa dikasih stempel 'baik' atau 'buruk'.

Sebuah cambuk, jika kamu TIDAK mengayunkannya dengan cepat dan tepat, ia hanya akan menyentuh tanah atau hanya berayun di udara. Tak akan memberi pengaruh apa-apa.

Namun lain halnya jika kamu bisa mengayunkan cambuk itu dengan cepat dan tepat, maka ia bisa melukai dan membuatmu untuk terus berlari. Sakit sih, namun rasa sesak dan perih dari 'rendah diri' itu akan membuatmu berlari ke sana ke mari.

Jika kamu sudah memiliki tujuan, kamu beruntung. Kalaupun belum memiliki tujuanpun, kamu juga sangat beruntung. Setidaknya kamu sudah beranjak dan tidak diam di tempat.

Setelah membaca tulisan ini, ada dua tugas yang bisa kamu lakukan.

Jika kamu sedang merasa 'rendah diri', solusinya hanya satu. Just keep going.  Tak apa merasa sedih. Tak apa merasa resah. Teruslah berjalan dan lakukan yang terbaik.

Jika kamu sedang TIDAK merasa 'rendah diri', jika ada kesempatan apresiasilah orang lain sebaik mungkin. Hargailah orang-orang yang di luar sana. Siapapun.

Mungkin apresiasi terbagusmu bisa menjadi 'air segar' untuk menyembuhkan semangat berkarya sesesosok 'calon artist top di masa depan' yang saat ini sedang layu. Who's know?!

Dan saat ini aku sedang berusaha untuk melakukan keduanya.

***

"Ini lho, Mbak! Komikusnya!!" kata beliau saat kami meninggalkan kerumunan tersebut. Aku tersenyum dengan sedikit hati berdesir. Ya, aku masih memiliki rasa rendah diri. Namun, kurasa tidak apa-apa jika sesekali aku menikmati tatapan takjub mereka dan apresiasi yang menyenangkan ini.

Mujix
Bapak-bapak paruh baya yang menjadi mata badai di peristiwa ini adalah Romo Mudji Sutrisno. Kalian kenal?
Jika belum tunggu ceritaku selanjutnya.
Bogor, 6 Agustus 2018