megamendungkelabu

Selasa, 18 September 2018

Manusia Primitif

Beberapa saat yang lalu aku ke Garmedia. Saat sedang numpang baca grat... maksudku sedang mencari buku yang ingin dibeli, tiba-tiba datanglah seorang pria rapi membawa 'tablet elektronik' ( kalau aku tulis 'tablet' doang nanti dikira mas-mas yang mau ngobat).

"Halo, Kak, saya dari koran Kampus mau bla... bla... bla..." yang intinya Mas-mas itu minta nomer hape dan email, yang nanti bakal diganjar koran gratis selama satu bulan. Tapi dalam bentuk PDF. Atau E-newspaper. Atau CDR. Entahlah, aku lupa. Yang pasti bukan dalam bentuk seperangkat alat sholat dibayar tunai.

Namun, dasar aku sedang sok syantik,  saat beliaunya baru ngomong "Boleh tahu nomer hape..." langsung aku samber dengan kata-kata penolakan yang sangat 'to the point'.

"Maaf, Mas, aku gak bisa!" Aku berkata sambil melambaikan tangan ala peserta uji nyali 'Dunia Lain' yang melihat penampakan mantan. Dia bengong.

"Terimakasih ya, Mas" ucapku lagi sambil meneruskan aktivitasku memilih buku yang ingin aku baca gratis, sinopsisnya. Hihihi

Mas-mas sales koran itu lalu ngeloyor pergi begitu saja. Dilihat gelagatnya, sepertinya ia jarang mengalami penolakan saat meminta alamat email atau nomer hape. Mungkin di tempat ini, banyak pelanggan yang dengan mudahnya memberikan alamat email dan nomer hape. Namun maaf, orang yang anda hampiri kali ini adalah orang yang cukup berhati-hati sekali menyebarkan data pribadi.

Nomer hape, alamat email, tanggal lahir, ataupun status hubungan adalah hal yang sangat sensitif untuk diobral di banyak tempat. Gak mungkin dong kalau aku mengeluh soal betapa pilunya seorang komikus yang jomblo di usia matang. Uhuk-uhuk. *kode

Kembali ke topik pembahasan. Aku memperhatikan dengan seksama saat mas-mas itu menghilang di balik lemari tumpukan buku. Ada beberapa hal yang aku cermati dari peristiwa tersebut.

Hal pertama, sebagai manusia yang  terpelajar dan berpendidikan tinggi (ecieh,  es satu aja belagu luh), penolakanku tadi sangat tidak artistik. Baik dari segi ucapan maupun tindakan.

Aku merasa sangat 'primitif' sekali saat itu. Aku tidak membicarakan penampilan atau wajahku yang berantakan. Maksudku, bukankah ada cara-cara yang lebih 'elegan' lagi saat suatu penolakan itu harus diucapkan?

Tiba-tiba saja saat semuanya terlambat, kalimat penolakan yang menurutku 'elegan' itu berduyun-duyun datang ke pikiran. Kira-kira bunyinya seperti ini:

"Waah, tawarannya sangat menarik sekali, Mas! Emang ya koran versi digital itu sangat praktis dan ramah lingkungan. Lagipula, pasti sangat menyenangkan jika bisa memiliki koran versi ini!"

Terus datang lagi kalimat berikutnya.

"Tapi maaf, Mas, saya belum bisa untuk berlangganan atau memberikan informasi pribadi. Selain saya belum punya tablet, saya juga jarang membaca koran."

Lalu, lalu, lalu.

"Terimakasih atas penawarannya, mungkin jika ada kesempatan saya akan berlangganan langsung ke agen korannya, apakah ada nomer yang bisa saya hubungi!?"

Dan begitulah seharusnya sebuah penolakan yang keren dan berestika. Dan begitulah cara memanusiakan manusia.

Ada sedikit rasa getir di dada. Ternyata untuk berubah dari 'manusia' menjadi 'orang besar' itu sangat susah.

Dan hal kedua aku cermati lagi setelah peristiwa itu adalah, perginya mas-mas tersebut tanpa mengucapkan 'minta maaf' dan 'terima kasih'.

Minta maaf, karena mengganggu aktivitasku. Terimakasih, karena aku  sudah meluangkan 'sedikit perhatian' untuk mendengarkan penawarannya.

Rasa sedikit getir itu tiba-tiba lenyap, Ternyata kami berdua sama-sama manusia yang masih primitif. Namun setidaknya aku masih sempat untuk mengucapkan 'terimakasih'.

Berkaca dari peristiwa sederhana tersebut, akhirnya pertanyaan semacam 'kenapa mantan koruptor masih diperbolehkan mendaftar sebagai wakil rakyat' atau 'kenapa Mie Goreng yang harusnya digoreng, ternyata malah direbus' terjawab sudah.

Terimakasih sudah membaca tulisanku. Maaf mengotori linimasamu dengan wajah tampanku. *langsung kesurupan massal

Mujix
Seorang komikus ' semi primitif' yang  karyanya pernah ditolak penerbit karena 'humornya kurang kekinian' dan masih menggunakan pensil, spidol, dan kertas HVS A4 80 Gram, padahal punya pen tablet
Bogor, 18 September 2018