megamendungkelabu

Senin, 30 Desember 2019

2019

Tahun ini adalah tahun yang berat. Yah, setiap tahun memang berat, tapi tak sedahsyat tahun ini. Awal tahun baru ini aku masih di Bogor. Penyakit burn out ultahku parah sangat. Semua kelelahanku di sepanjang hidup bermuara di tahun 2019.

Di tahun ini pula Simbahku berpulang, meninggal sekitar 5 bulan yang lalu. Bersamaan dengan hal tersebut, Mamak dan Bapak pindahan dari Bogor menuju kampung. Ini adalah hajatan yang sangat besar. Energiku terkuras di sini.

Semua pekerjaan dan obsesiku hampir tak membuahkan hasil. Atau membuahkan hasil namun tidak sesuai dengan rencana semua. Faktor internal yang rapuh dan dihantam faktor eksternal yang membabi buta, membuatku makin yakin untuk mendaulat tahun 2019 sebagai tahun terberat di dalam hidup.

Karirku sebenarnya cukup bagus dan membanggakan. Pendapatan lumayan besar. Sayangnya keadaan keluargaku sedang buruk. Hampir 90% keuanganku habis untuk menambal kebutuhan orang banyak. Terjadi berkali-kali. Terjadi dalam nominal yang besar dan membuat neraca penghasilanku hancur tanpa menyisakan tabungan sepeserpun. Hingga akhirnya di pekerjaan yang kesekian kalinya aku mengalami kelelahan mental.

Benar-benar capek. Dan kabar terburuknya, tidak ada energi kebahagiaan yang masuk di dalam diriku. (Aku merasa) Tak ada satupun yang mencintaiku. Hidupku yang sangat megah bagai kotoran manusia di tahun ini.

Setelah simbah meninggal, dan pindahan dari Bogor, aku mengambil jeda istirahat beberapa bulan. Sebuah jeda di mana aku tidak melakukan apa-apa dan terus menerus berduka. Tidak mencoba untuk bangkit. Tidak mencoba untuk berdiri.  Apalagi berlari. Benar-benar sebuah titik terendah dan terlelah. Lebih buruk dari masa paling buruk di saat aku beranjak dewasa dulu.

Membaca semua ini aku merasa malu. Harusnya kusimpan sendiri. Harusnya aku menjadi orang yang kuat. Harusnya. Namun yah, aku tak sekuat itu, bro! Semua ini aku tanggung sendiri. Tak kuceritakan siapapun! Bisa saja aku tak menulis catatan ini dan membiarkan waktu berlalu.

Namun mungkin aku tidak akan belajar.
Namun mungkin aku akan mengulangi semua kebodohan-kebodohan di masa lalu. Aku menulisnya. Untuk aku baca sendiri. Untuk aku pelajari sendiri.

Setelah ini, aku akan mencoba menjadi manusia yang lebih baik. Dan ajaibnya hingga hari ini aku belum mati. Secara tidak langsung, Tuhan (siapaa atau apapun itu) ingin aku tetap hidup untuk menjalankan cerita yang Ia gariskan.

Dan yeah, cerita hidupku belum selesai. Dalam artian baik dan buruk. Untuk kali ini aku menuliskan keluhan. Namun di lain waktu aku akan lebih sering menulis pujian dan hal-hal baik.

Mujix
It's time to get up
And shine the way
Simo, 30 Desember 2019

Minggu, 29 Desember 2019

Mbah Prapto

Tidak pernah ada sosok Mbah Kakung di dalam kehidupanku. Jadi jika dulu kalian bertanya padaku "Piye rasane nduwe Mbah Kakung?"

Paling yo tak jawab
"Wah, Ra reti aku, coy! ".

"Tapi nek koe tekok pie rasane nduwe wajah tampan berambut kribo, aku iso Njelasne!"

Namun tidak dengan sekarang. Karena beberapa peristiwa, aku memiliki 'sosok' yang telah kuanggap sebagai 'Mbah Kakung' sejak beberapa tahun yang lalu. Sosok itu bernama Mbah Suprapto Suryodharmo.

***

Di suatu siang yang panas di tahun 2015, hapeku tiba-tiba berbunyi. Saat itu aku yang sedang berada di wedangan Pendopo Sriwedari sedang rapat kecil acara komik bersama Feri dan beberapa teman Komisi Solo.

Sudah 10 menit aku menunggu balasan pesan singkat dari Mbah Prapto, seorang kakek-kakek berprofesi sebagai empu tari, performer dan seniman internasional yang sangat di segani di kota Solo.

Beberapa saat kemudian hapeku bergetar. "Halo, Mas Mujieks! Ada apakah?" Suara beliau terdengar renyah di speaker Hape.

Saat itu aku dan teman-teman Komisi Solo sedang membuat acara workshop komik bersama 'Simon Heureu' di Museum Radya Pustaka, dan Mbah Prapto menjadi pembina dalam acara tersebut.

Sudah beberapa minggu ini kami terus berinteraksi agar workshop tersebut bisa terselenggara dengan lancar.

"Hari ini bisa ketemu, Mbah? Pengen ngobrol soal detail acara dan mungkin sekalian nanya-nanya soal rancangan dana buat bikin kompilasi hasil workshop!" Ujarku dengan sedikit terbata-bata.

"Wah, ndak bisa mas Mujieks. Saat ini saya sedang di Jerman. Ada acara perform! Kalau minggu depan piye?" Kata Mbah Prapto yang ternyata berada di ujung dunia lain di benua Eropa.

"Siap, Mbah! Ndak papa! Ketemu minggu depan juga oke! Maturnuwun, Mbah!" Aku menutup hape tersebut dengan wajah agak sedikit terkejut. Kemudian aku memandang Feri sambil berguman.

"Neng Jerman, Fer! Mbah Prapto lagi neng Jerman. Aku sing paling adoh paling dolan mung tekan Karanganyar, Sragen mentok Jakarta! Dek'e malah neng Jerman."

Terus Feri menambahi.

"Soko Jerman nelpon sisan, pulsane entek piro yo?"

Kami berdua langsung tertawa terbahak-bahak. Beberapa manusia memang tercipta dan hidup di dimensi yang berbeda.

***

Di sepanjang hidup aku belum pernah bertemu dengan anggota keluarga yang bernama 'Kakek'. Mbah Kakung dari Mamak, katanya meninggal muda disiksa saat gerakan G30S PKI. Mbah Kakung dari Bapak, konon meninggal  di usia 120 tahun saat aku masih kecil.

Sejak kejadian ditelpon Mbah Prapto dari Jerman tersebut, aku dan beliau jadi sering bertemu. Berdiskusi banyak hal mengenai manusia, kebudayaan dan tentu saja komik.

Bahkan jika boleh jujur, aku menggambarkan sosokku di masa depan seperti beliau. Kakek-kakek berambut panjang warna putih, fasih berbicara banyak bahasa, pandai, dan tentu saja bisa melanglang buana dengan karya. Wow! Jutaan orang tidak tahu bahwa ada sesosok kakek keren seperti ini.

Jika di dunia Manga, keberadaan Mbah Prapto itu bagiku seperti Garp di One Piece, Bang di One Punch Man atau Tetua Makarov di Fairy Tail.  Pokoknya semacam mbah-mbah bijak nan epic dengan kekuatan meledak-ledak. Bedanya, jika para tokoh manga itu kuat dalam berkelahi adu jotos di pertempuran, maka Mbah Prapto kuat dalam hal melakukan pertunjukan seni.

Di suatu acara Hari Menari Sedunia, beliau menari 24 jam. Maksudku, menari selama satu hari satu malam itu sangat keren sekali. Aktivitas itu membutuhkan banyak persiapan. Baik secara fisik, mental, dan spiritual. He just do it And he did it! He's show the true powers from human culture with dance!

Tarian oleh masyarakat kadang dilabelkan sebagai kegiatan bersenang-senang yang hanya dilakukan oleh perempuan. Stereotip tersebut tidak berlaku untuk beliau. Dengan tariannya Mbah Prapto banyak menciptakan penari-penari muda yang datang kepadanya untuk belajar. Ia bahkan memiliki pesangrahan tempat belajar menari bernama, Padepokan Lemah Putih. Jan wis dadi pendekar tenan!

Pernah di suatu waktu, aku memergoki beliau sedang berbicara bahasa Inggris dengan turis yang sedang kebingungan. Melihat mbah-mbah pendekar yang 'njawani' dan fasih ngomong inggris itu bagiku sangat menakjubkan.

Hal tersebut pula yang kurasa membuatku makin kagum tanpa sadar. Bahkan kekagumanku tersebut pernah aku celetukkan pada mamak dan bapak beberapa hari yang lalu.

***
Beberapa hari yang lalu. Bapak dan Mamak sedang menonton acara 'Pandhopo Kang Tedjo' di TVRI Jogja. Pada episode itu bintang tamunya seniman lukis sepuh dari Solo bernama Pak Kawit.

Lalu aku tiba-tiba nyeletuk.
" Aku mudeng wong iki, Mak! Kadang sering ketemu pas ono acara-acara seni neng Solo!"

"Heh? Tenane, Yon!?" Ucapnya tak percaya.

"Tenan! Neng Solo kui akeh wong-wong sing sangar lhoo! Salah sijine yo Pak Kawit iki!" Kataku sambil meringsek duduk mendekati televisi.

"Bahkan neng Solo to Mak, ono mbah-mbah gayeng sing wis tak anggep Mbah kakungku dewe, jenenge Mbah Prapto!" Ujarku sambil tersenyum. Kedua orang tuaku bengong. Lalu kujelaskan sedikit tentang beliau.

Yha, kurasa itulah terakhir kalinya aku 'ngrasani' soal beliau.

Sedangkan pertemuan terakhirku dengan Mbah Prapto terjadi beberapa waktu yang lalu. Di Balai Soedjatmoko, Solo.

Di tempat itu aku yang awalnya hanya mampir, lalu bertemu tidak sengaja di ruangan tersebut. Bertanya kabar, tertawa hahahihihohohihe, dan bersenda gurau adalah menu wajib kami saat bertemu.

"Ayo, Mas Mujieks, kapan gae acara komik maneh! Tak dukung tenan lhoo!" Ujarnya sambil terkekeh. Acara workshop yang kami adakan kemarin memang lancar jaya. Tentu saja menarik perhatian banyak orang untuk melihat kelanjutannya.

Saat beliau bilang 'komik' aku malah teringat sesuatu. Langsung saja aku obok-obok tas rangsel. Dan Voila! Aku ternyata secara kebetulan masih membawa komik 'Proposal Untuk Presiden'.

"Mbah, njenengan wis gadah komikku sing niki dereng?" Tanyaku sambil menyerahkan buku komik bersampul merah tersebut.

"Weh, komik opo, Mas Mujieks? Proposal Untuk Presiden? Wah mantep! Durung nduwe aku!" Ucapnya sumringah.

"Lha niki komike nggo njenengan, kenang-kenangan saking kulo, Mbah. Disimpen nggih!" Kataku sambil merapikan isi tas rangsel.

Aku masih ingat wajah cerah nan bersemangat saat beliau menerima komik yang aku buat. Berkali-kali benda itu ditimang-timang dan dibolak-balik halamannya. Sesekali ia menunjukannya ke orang-orang yang lain di ruangan tersebut. Aku senang.

Setelah bercengkrama cukup lama aku memutuskan untuk pulang. Saat berpamitan beliau bilang untuk meminta foto bersama karyaku.

"Foto dulu nuh, Mas Mujieks! Bersama karyamu! Buat dokumentasi!" Pintanya dengan bersemangat. Aku makin senang.

Mungkin ini yang dimaksud kebahagiaan ketika hubungan antar manusia mulai terkoneksi.

Mak ckreeeeek! Akhirnya momentum seru itu sudah berpindah ke hape baruku. Kemudian aku berpamitan. Tanpa menyangka jika saat itu adalah pertemuan terakhir kami.

***
Mbah Prapto bagiku adalah sosok yang ramah. Beliau dengan mudahnya berinteraksi dengan bocah kribo nan introvert seperti aku. Sejak saat itu aku selalu menganggapnya sebagai 'Mbah Kakung'.

Jadi jika kalian bertanya padaku "Piye rasane nduwe Mbah Kakung?"

Kalian bisa menemukan jawabanku di sela-sela kekaguman, rasa senang, dan rasa kehilangan atas beliau di postingan ini.

Sugeng tindak Mbah, swarga langgeng!

Mujix
Di tahun ini selain Mbah Prapto, aku juga kehilangan Mbah Rembyung, simbah putriku satu-satunya.
Catatan tentang beliau masih on progress, terlalu emosional bagiku hingga catatan tersebut belum terselesaikan hingga saat ini. Wish me luck!
Simo, 29 Desember 2019

Sabtu, 21 Desember 2019

Makhluk Tak Kasat Mata

"BAJINDUL!!! OPO KUI??!!"
Aku berteriak panik di dalam hati. Tubuhku gemetar hebat. Bulu roma di sekujur badan berdiri dengan lebat. Nafasku mulai tak beraturan.

Tak jauh di depanku berdiri sesosok makhluk ganjil nan asing yang energi keberadaannya memecah keheningan malam di sebuah pertigaan jalan di Kota Bogor.

"OPO KUI, CUUKKKK!!!" Aku terus berteriak di dalam hati. Jantungku berdebar sangat keras. Untuk pertama kalinya aku merasakan ketakutan yang sangat pekat. Apa yang akan terjadi selanjutnya?

Baiklah, Ini adalah salah satu cerita pertemuanku yang kesekian kalinya dengan makhluk-makhluk di luar nalar. Dan ini adalah pengalaman yang akan mengubah sudut pandang spiritualku selama ini. Bismillah, Semoga aku bisa menyampaikannya dengan lancar.

***

Beberapa puluh menit sebelumnya. Di suatu malam yang penat di kota Bogor. Aku berada di meja gambar, sedang membedah agenda mingguan. Beberapa kegiatan terlaksana dengan baik, beberapa lainnya gatot, alias gagal total. Nah, yang gatot-gatot gini nih bikin empet di pikiran.

Sudah dari tadi prosesku menata rencana agenda tak membuahkan hasil. Sepertinya aku butuh rehat. Ini saatnya ke taman perumahan! Ya, Taman Perumahan! Sebuah tempat favoritku (setelah Gramedia Botani Square) di kota Hujan ini.

Waktu menujukkan jam 20.10 Wib. Aku memakai jaket biru hadiah dari keponakan dan memasukkan ponsel pintar ke sakunya. Setelah berpamitan sama orang rumah, langsung deh aku cus ke taman tersebut.

Sabtu, 16 November 2019

'Hujan datang tak beraturan
Airnya jatuh membentur jalan
Mereka berlomba tak mau kalah
Untuk segera bertemu dengan tanah'

Puisi tersebut aku tulis di tempat ini. Sebuah masjid cukup mewah di Gentan Sukoharjo. Berbicara sedikit tentang hari ini, hidupku masih blingsatan. Tapi setidaknya agak lebih baik 3000 milyar persen dari beberapa bulan yang lalu.

Minggu, 10 November 2019

Ruang Kosong berwarna abu-abu

Mata lelah dan hati kosong
Pikiran penat lalu tubuh tak berdaya

Leher agak kaku bagai pohon randu
Kaki bersenandung menuju ranjang
Tangan menari mengikuti intuisi
Mimpi berkobar walau pelan

Malam masih diam
Tak ada angin yang bergegas
Aku ingin segera tidur
Melupakan ramainya hujan di pikiran

Pikiran yang tidak berbahagia
Pikiran yang tidak bisa bersuka cita

Sedih itu bagai nafas
Aku ambil satu-satu
Aku buang satu-satu
Namun aku lebih sering mengambil
Daripada membuangnya

Menjejalinya sampai penuh
Hingga seluruh dunia menjadi kumuh

Mujix
Hujan di luar
Hujan di dalam
Sukoharjo, 12 November 2019

Sabtu, 09 November 2019

Addendum

Dulu Hati ini sudah rusak beberapa kali
Pernah menjadi bongkahan batu
Pernah menjadi serpihan abu

Dulu Hati ini sudah hancur beberapa kali
Pernah menjadi butiran debu
Pernah menjadi gumpalan lumpur bau

Sekarang hati itu sudah tak remuk lagi
Separuhnya diperbaiki kamu
Separuh lainnya diperbaiki waktu

Mujix
Lalu saat kamu pergi
Aku menghancurkannya lagi
dengan rasa sepi.
Simo, 9 November 2019

Minggu, 13 Oktober 2019

Hujan Belum Datang

Hujan belum datang
Tanah sudah kering kerontang
Hari mulai beranjak siang
Panasnya membuat hati gersang

Aku berjalan lurus bagai pedang
Menabrak semua penghalang
Menuju hari yang terang benderang
Sambil menepis rasa bimbang

Umur sepertinya tak lama lagi
Jiwa sudah bosan hidup di bumi
Namun raga belum mau mati
Karena masih ingin mewujudkan mimpi

Mujix
Simo, 1 November 2019

Selasa, 24 September 2019

Melompati Soal Sulit

Seseorang perempuan yang dulu pernah hadir dalam hidupku akan menikah. Statemen tersebut aku ketahui dari instastory yang ia unggah. Saat aku melihat pemberitahuan tersebut, perasaanku tiba-tiba bergemuruh.

Semua hal bercampur aduk di dalam dada. Rasanya ingin kubuang ponsel pintar ini. Beberapa kali aku mendengus kesal sambil mempertanyakan banyak hal.

Apakah ini patah hati karena ditinggal rabi?

Apakah ini rasa benci terhadap lelaki yang perempuan itu akan nikahi?

Ataukah ini rasa marah terhadap diri sendiri, yang tak bisa membuatmu betah bersamaku di sini?

Ai don now. Ini cukup rumit. Akhirnya aku mengambil jalan pintas. Kubuka lagi profil IG perempuan tersebut. Walau enggan, kupandang foto dimana mereka berdua yang sedang bercengkrama.

Bajindul. Fotone romantis banget. Pengen tak jotos mas'e.

Puluhan detik berlalu. Aku mencoba menganalisa apa yang ada di perasaaanku. Jari-jariku memegang dagu dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Sudah kayak Rocky Gerung yang mau melibas Adian Napitupulu dalam sebuah debat politik (gak jelas) di sebuah stasiun televisi.

Apakah ini patah hati karena ditinggal rabi? BUKAN!

Apakah ini rasa benci terhadap lelaki yang perempuan itu akan nikahi? NO WAY!

Ataukah ini rasa marah terhadap diri sendiri yang tak bisa membuatmu betah bersamaku di sini? JINDUL, YO JELAS ORA LAH!

Jawaban tersebut tak aku temukan. Aku menghabiskan lima menit berharga dengan memandang sejoli tersebut di dunia maya. Sial, lima menit paling sia-sia  nomer dua dalam hidupku. Ngertio tak nggo nggambar wae, lek!!

Btw, Lima menit paling sia-sia nomer satu dalam hidupku, masih dipegang oleh aktivitas 'menunggu panasnya air saat masak Indomie rebus rasa ayam bawang'.

Kembali ke laptop, situasi seperti itu dulu sering aku temui saat mengerjakan ulangan ketika bersekolah.

Yakni saat ujian, dan bertemu soal sulit yang gak ketemu jawabannya, walaupun sudah berpikir keras dan membenturkan kepala ke meja.

Sebuah golden momen di mana kalimat 'iki kudu piye, Cuk!!?' terucap dari mulut.

Sejurus kemudian aku teringat sesuatu. Sebuah nasihat Pak Guru jika menemui soal yang susah dalam ujian.

Beliau bilang jika menemui hal semacam itu solusi terbaik ialah 'lompati saja!'.

Ya, lompati saja soal sulitnya!

Seperti aku yang kemudian memutuskan untuk 'melompati' ketidaktahuan jawaban akan persoalan rasa gamang terhadap sejoli itu.

Ya, lompati saja.
Aku langsung melompati hape yang ada gambarnya kemesraan dua sejoli itu. E tapi aku bohong. Gak jelas amat lompat-lompat di malam buta.

Aku melompati, atau mengacuhkan permasalahan random tersebut dan
Lalu aku tidur. Ya tidur. Tidak ada adegan melompati hape. Catet.

Begitu memejamkan mata tiba-tiba saja hari sudah berganti pagi, lalu siang,  dan adzan dhuhur berkumandang.

Matahari bersinar benderang. Semuanya serba putih dan terang. Panasnya surya menembus hingga dalam kepala. Perjalananku di tengah hari saat menuju masjid untuk bercengrama dengan Tuhan itu tak menyisakan secuilpun ingatan tentang kekalutan tadi malam.

And it's true. I Damn forgeted about those thing. Setidaknya sampai sholat berjamaah itu memasuki rekaat ketiga.

Mak cring. Tiba-tiba saja datang 'jawaban' dari pertanyaan yang hampir membuatku melompat-lompat kayak kangguru tadi malam.

Tuhan suka bercanda. Saat aku (sok) khusyuk beribadah, Dia mengejutkanku dengan memberi jawaban apa yang aku pertanyakan tadi malam.

Jadi gaes, rasa itu bukanlah patah hati karena ditinggal rabi. Bukan pula rasa benci terhadap lelaki yang perempuan itu akan nikahi. Atau rasa marah terhadap diri sendiri, yang tak bisa membuatmu betah bersamaku di sini.

Rasa itu (menurut logika manusiaku) bernama iri hati. Rasa normal yang hampir dimiliki oleh setiap manusia.

Pertayaan sulitku terjawab sudah.

Saatnya menyelesaikan rasa iri ini dan menuju ke tahap selanjutnya.

Yakni, melompati hape yang ada gambarnya kemesraan dua sejoli tersebut. Ee enggak ding. Tahap selanjutnya tentu saja bribak-bribik kiwo tengen! Wkwkw

NB: punya teman perempuan yang jomblo? Mensien di kolom komentar dong. Siapa tahu.... euhh... calonku. Calon klienku. Calon klieanku yang akan menemani hari-hariku dengan penuh cinta. Wadidaw. Ihiiirrr. Raup sik kono, Mas!!

Mujix
Punggungku sakit, apakah karena kecapekan jogging kemarin?
Baki, 31 Oktober 2019

Minggu, 15 September 2019

Puisi

Beberapa puisi tidak bisa dituliskan
Beberapa lagu tidak bisa dinyanyikan
Untuk itulah tuhan menciptakan kesepian

Aku pernah mencintai matahari
Sinarnya panas tak pernah mati
Namun sekarang ia tak di sini dan pergi

Mujix
Lagi mau bikin
Ayam geprek
Dengan cara
goreng ayam bakar
Simo, 15 September 2019

Senin, 09 September 2019

Pohon Randu

Ada pohon randu
Tingginya menjulang ke langit
Ada masa lalu tertinggal di situ
Ia ingin terjun ke Bumi

Lalu meloncatlah ia
Menabrak angin
Menubruk ranting
Lalu hilang entah ke mana

Kata orang, ia bersembunyi
Kata orang, ia mati

Ada pohon randu
Ada masa lalu tertinggal di situ

Mujix
New place and new good atmosphare
Gentan,  9 September 2019

Berkelakar dengan malam

Tak bisa tersenyum
Energi kebahagiaan telah sirna
Padahal hidup masih terus berjalan
Dan harus bertemu banyak orang

Tak bisa tertawa
Mungkin karena hati tak ada cinta
Untuk membuat orang lain bahagia
Atau sekedar berkata 'aku baik-baik saja'

Waktu terus berlalu
Tidak ada kamu
Hanya ada aku
Dan rasa lelahku

Ingin kuambil garis cakrawala
Aku buat menjadi pedang bermata dua
Satu untuk menghentikan waktu
Dan satu untuk membunuh rasa bosanku

Tak bisa tersenyum
Tak bisa tertawa
Waktu terus berlalu
Ingin kuambil garis cakrawala

Mujix
It's no good.
Simo, 8 September 2019

Kamis, 22 Agustus 2019

Dwi Koendoro

Dulu, dulu sekali. Kalau tidak salah mungkin 10 tahun yang lalu, aku yang ingin belajar komik dengan nekatnya men-tag atau menandai Pak Dwi Koendoro. Alasannya sederhana, ingin terhubung dengan 'legenda hidup' dunia komik yang karyanya selalu muncul di harian Kompas, yakni Panji Koming.

Kekaguman sepihak dan uforia bertemu medsos baru bernama Facebook, membuatku kalap untuk sering mengunggah gambar lalu menandai para master-master komik seperti beliau.

Kalian tahu apa yang luar biasa? Saat itu aku masih memakai nama alay yakni 'Mujiyono Sing Ra Cetho' (dipersilahkan untuk tertawa) dan gambar masih absurd, namun kok yha beliau 'selo-selo'-nya memberi komentar dan memberi sedikit ilmunya kepada 'netizen gagap' yang ingin jadi komikus seperti aku.

Saat itu aku langsung tertegun, Pak Dwi Koendoro yang 'sangat besar' itu ternyata memiliki sikap yang sangat 'low profile' dan menyenangkan. Banyak ilmu yang aku pelajari dari beliau, entah itu dari kolom komentar saat menandai karya. Atau dari komik-komik yang ia buat.

Favoritku tentu saja Sawung Kampret. Bagiku, karya itu adalah titik puncak sebuah 'peradaban komik' yang ingin aku capai. Kenapa? Karakternya hidup, ceritanya mantap, risetnya jalan, komedinya ancur-ancuran, adegan aksinya keren dan lain-lain.

Bagiku, Pak Dwi Koendoro adalah sosok guru dan idola di waktu yang sama. Sugeng tindak, Pak Dwi Koen. Swargi langgeng.

Mujix
Simo, 22 Agustus 2019

Kamis, 08 Agustus 2019

Berjuang dan Berusaha

Berjuang dan berusaha adalah aktivitas paling melelahkan di dalam hidup. Putus asa sekalian malah lebih enak. Kegamangan dua sisi antara 'hak untuk kalah' dan 'kewajiban untuk menang' sering membuat manusia terjerembab dalam lembah-lembah paling gelap.

Mujix
Hanya tinggal menyertakan tangan kiri.
Hidup untuk melengkapi sebuah peran.
Rabu, 31 Juli 2019

Orang lain yang goblok

Berusaha tetap waras di masa-masa sulit itu cukup melelahkan. Kenapa ya, beberapa orang sangat pandai sekali mengingat hal-hal yang buruk mengenai orang lain dan mengoleksinya sebagai senjata di saat orang lain tersebut tidak sesuai dengan keinginannya.

Mengingat hal-hal yang baik malah luput dari penyimpanan di memori hati. Lupakan dan hancurkan. Pokoknya demi sebuah keinginan dan ke-aku-an. Aku selalu introspeksi diri. Jika ada sesuatu yang terjadi aku selalu memikirkannya dalam-dalam.

Cuman ya gitu, sudah sewaspada itupun masih saja ada orang-orang yang sangat menyebalkan. Orang-orang yang tidak waras dan mengedepankan keegoisannya. Yah, memang benar sekali kutipan-kutipan bijak yang sering aku temui di buku motivasi, manusia memang makhluk yang egois dan mau menangnya sendiri. Termasuk yang nulis postingan ini.

Kenapa harus ada orang goblok? Biar orang pintar bisa belajar dari kegoblokannya. Sinau opo, Mbuh.
Mujix,
Simo, 8 Agustus 2019

Helaan Napas

Helaan nafasku akhir-akhir ini sangat berat. Sangat berbobot. Andaikata orang biasa melihatku, niscaya label 'orang susah yang hobi mengeluh' akan menempel di jidat. Namun jika aku boleh membela diri, helaan nafas yang muncul akhir-akhir ini adalah caraku untuk bermeditasi.

Andaikata aku perokok, aku yakin aktivitas semacam 'menghela nafas' bakal termaklumi. Yah ngapain harus menghela nafas jika ada nikotin yang menenangkan pikiran. Mampus kau, jika tak memiliki candu di saat masa-masa susah menjotosmu! Makan tuh, jika tak memiliki kebahagiaan di saat masa-masa sedih menendangmu!

Namun, It's ok. Everything it's fine.
Aku hanya tinggal menghela nafas dengan sangat berat. lalu menghembuskannya satu persatu. Tidak ada apa-apa dan hanya sebuah hari seperti biasanya.

Mujix
Sedang merangkai satu bagian demi satu bagian agar terciptakan momentum.
Simo, 2 Agustus 2019

Rabu, 31 Juli 2019

Berjuang dan Berusaha

Berjuang dan berusaha adalah aktivitas paling melelahkan di dalam hidup. Putus asa sekalian malah lebih enak. Kegamangan dua sisi antara 'hak untuk kalah' dan 'kewajiban untuk menang' sering membuat manusia terjerembab dalam lembah-lembah paling gelap.

Mujix
Hanya tinggal menyertakan tangan kiri.
Hidup untuk melengkapi sebuah peran.
Rabu, 31 Juli 2019

Senin, 29 Juli 2019

Tembok Pembatas Diri

Aku masih terus berusaha untuk menghancurkan tembok pembatas diri yang terus bermunculan. Namun sayangnya saat ini martil besar andalanku hilang entah ke mana. Yang bisa kulakukan ya hanya memukulnya pakai batu kecil.

Hingga tangan lecet.
Hingga terluka dan berdarah.
Tembok itu tentu saja masih tegar berdiri.

Aku mengambil nafas panjang. Duduk diam merenungi nasib sambil mencoba introspeksi diri. Ya sudahlah, aku akan menghancurkan tembok dengan perlahan dan sesuai dengan kemampuanku. Sambil sesekali istirahat dan mencari martil besar andalanku yang saat ini entah di mana.

Mujix
Sudah nemu linggis di genggaman.
Lumayanlah. Let's do this
Simo, 29 Juli 2019

Sabtu, 27 Juli 2019

29.08.2019

Abis dari Jogja. Capek banget. Capek banget lahir dan batin. Secara lahir ya jelas dong gegara perjalanan jauh Simo ke Jogja bolak-balik dalam satu hari. Dari Simo aku naik motor Karisma lawas menuju Colomadu, rumah Mas Angga Tantama. Nah dari sana aku bersama Angga, Jeki, dan Diaz naik mobil bareng menuju Jogjatorium, lokasi dimana diadakan acara 'Jogja Creator Meet Up'.

Secara batin capeknya sangat relatif sih. Mengesampingkan berbagai persoalan pribadi, (yang enggak bisa aku tulis di sini) menurutku acara ini ampas banget. Yes, secara 'konten' sebenarnya aku nyesel jauh-jauh datang ke acara tersebut. Gak 'worth it' banget lah.

Tapi pelajaran dan ilmu yang aku dapat dari aktivitas ini belum terlihat. Atau mungkin di luar sana terjadi peristiwa penting yang terjadi gara-gara acara ini. Entahlah. Takdir itu aneh. Namun menurutku sementara ini, acara tersebut gak terlalu penting.

Mujix
Akhirnya sampai rumah lagi.
Setelah ini istirahat. Lalu mulai berusaha lagi.
Kotagede, 27 Juli 2019

Jumat, 19 Juli 2019

Mobil Yang Berhenti

Mobil itu berhenti di tengah jalan agak menanjak. Dari mana aku tahu? Ada sebongkah batu mengganjal roda-rodanya.  Entah apa yang membuatnya tak bergerak sedikitpun.

Mungkin ban yang bocor. Mungkin kehabisan bensin. Atau mungkin sopirnya sedang tidur di dalam dan malas untuk mengemudikannya.

Yang manapun intinya mobil tersebut itu masih berhenti di tengah jalan. Bagi orang yang melaju, melihat orang yang berhenti sangatlah aneh. Begitu juga sebaliknya. Atau mungkin juga tidak. Siapa yang tahu.

Apa yang harus dilakukan agar mobil itu bisa berjalan?

Jika ban bocor, tentu saja harus ditambal. Atau ganti ban. Biasanya mobil kan punya ban cadangan. Kalo ndak ada ya harus ditambal.

Jadi, solusi untuk ban yang bocor tentu saja bukan memberikan bensin. Atau membetulkan posisi spion. Cebong mana paham!?

Mujix
Sedang capek
Simo, 23 Juli 2019

Selasa, 09 Juli 2019

Iklan FB

Jadi kemarin di lini masa FB muncul iklan tokai palsu yang dijual di Buka Palak, walaupun palsu, benda tersebut mirip banget dengan aslinya. Asem!

Kan aku jijik dong. Langsung deh aku report postingan itu. Klik ini, klik itu, trus ampe selesai. Dan eng ing eng.

Iklan itu beberapa hari ini sudah hilang. Berganti dengan promo aplikasi/ situs streaming film kartun!! Yang setiap postingannya berisi potongan video lucu dari serial kartun Tom & Jerry, atau Bugs Bunny, dan lain-lain.

Sebuah perubahan yang drastis! Aku jadi teringat diskusi dengan Mas Oki, seorang dosen Universitas New York yang aku bikin cinderamatanya saat worksop 'Permodelan 3D dengan Teknologi Photogrametry' di komunitas Ansora, minggu lalu.

Beliau bilang jika, semua file yang kita masukkan ke internet, datanya benar-benar dipake sama orang sana. Jadi jika kita pake FB atau medsos, itu enggak benar-benar gratis. Kita menjualnya dengan data, baik itu foto, video ataupun tulisan-tulisan yang terunggah.

Dan ucapan beliau terbukti dari kasus sederhana bergantinya iklan tokai menjadi iklan kartun. Secara gitu, hampir 80% postinganku pasti komik atau illustrasi.

Belum lagi Fanspage Si Amed, yang  postingan Infografisnya kemarin ternyata mendapatkan respon yang bagus. Unggahan terakhir bahkan sampai menjangkau lebih dari 14.000 pemirsa. Itu semua data yang aku barter (secara tersirat) dengan pihak pemilik medsos di internet.

Isu itu sudah beredar sejak lama. Jika memang 'jualan' sudah menjadi pola pikir, aku rasa tidak apa-apa jika pola pikir tersebut diterapkan dalam bermedia sosial.

Mereka memberikan iklan tokai atau kartun (atau obat pembesar alat kelamin), kita bisa membalasnya dengan menjual citra pribadi atau produk.

Atau hal yang paling sederhana, jadikan tempat menyimpan foto, pemikiran-pemikiran, hingga gagasan-gagasan brilian kita. Terlanjur basah ya sudah mandi sekalian.

Etapi aku enggak mau ngomongin yang ribet-ribet semacam pencurian data dan bagaimana dunia ini berjalan selayaknya video-video konspirasi yang nongol di yutup.

Aku cuman pengen bilang, jika ada sesuatu yang membuatmu kurang nyaman ada baiknya diungkapkan. Entah itu lewat perkataan atau tulisan.

Just say it.
Hidupmu terlalu berharga untuk sekedar menumpuk tetek bengek yang tak terlalu penting.

Mujix
Waktu berjalan sangat cepat!
Simo, 16 Juli 2019

Senin, 08 Juli 2019

Buku Favorit

Buku favoritku disobek keponakan, Senja (1,5 thn). Rasanya nyesek! Kecewa! Pesan moralnya adalah jangan meletakkan benda (favoritmu) di sembarang tempat! Epadahal gak sembarang amat juga sih. Di lantai karpet di kamar gambar gitu.

Cuman kali itu aku sedang mlipir ke dapur buat bikin kopi. Nah pas aku mengaduk kopi sambil bernyanyi tralala trilili, sang tuyul cilik yang sangat fasih mengucapkan kata 'bebek' itu masuk ke kamar.

Beliau membawa buku itu ke ruang tamu. Di-smack down-lah benda itu sampai berkeping-keping.

Hatiku langsung, mak prempeeeeng. Padahal satu jam lalu kondisinya masih mulus dan kinyis-kinyis. Trus ngeliat keadaan buku sampulnya sobek-sobek itu sangat membuatku 'nggrantes'.

Rasanya seperti patah hati secara tiba-tiba. Sebuah keadaan di mana aku tidak bisa membuat 'orang lain yang aku cinta' untuk mencintaiku. Langsung muter lagu Cidro-nya Lord Didi Kempot.

Trus, seperti biasa, seperti manusia umumnya yang sedang kesal, aku berkeluh kesah dong sambil ngedumel  sambil mikir 'why, God!? Why!?'

Trus God-nya yang sedang nongkrong di wedangan sambil mabar  'mobel lejen' bilang: 'Why, not!?'

Kenapa harus buku komik Slam Dunk Favoritku, sih!!!?? Kenapa!!??

Kenapa bukan buku 'Kapan Kamu Nikah?' yang ampe detik ini gak pernah bisa aku  sentuh selembarpun!!??

Kenapa!!??

Nah lalu, perasaanku tiba-tiba memburuk, dong. Udah kayak Squidward yang digangguin Spongebob.

Aku mau ngapain ini!? Semangat langsung ambyar. Balik lagi ke trek susahnya dah kayak nyuruh orang yang sedang 'post power syndrom' untuk mengubah dunia.

Aku melihatnya dengan tatapan nanar dan berkaca-kaca. Aku mengambil nafas panjang. Kemudian tanganku bergerak untuk merobeknya perlahan.

"Sreeeeekkkk!!!" Melodi suram itu terdengar.

Merobeknya lagi pelan-pelan.
Sembari mendengar bunyi kertas yang aku sobek, jantungku berdegup kencang.

Ya sudah, SEKALIAN saja kurusak cover buku tersebut, sampul yang sudah berpisah dengan buku.

"Sreeeeekkkk!!!"
Nadanya sangat menyayat sanubari.

Aku terus menyobek sampul halamam buku tersebut sambil mengamati perasaan burukku yang bergejolak di dalam dada.

Aku amati dalam-dalam.
Seperti memahami helaan demi helaan nafas saat bermeditasi.

Wuih. Sensasinya horror, sodara-sodara!!

Gak percaya!? Coba hancurkan action figure favoritmu sekarang juga! Eh jangan ding, mending kasih ke aku saja.

"Sreeeeeekkk!!!"
Suaranya menusuk jantung.

Sisi bijakku bilang:

'sabar, kamu harus belajar ikhlas, semua hal di dunia ini fana. Relakanlah. Jadilah manusia yang DEWASA.'

Etapi, Sisi bajinganku juga tereak kenceng bets:

"DEWASA JANC****K-MU GEDHIIII!!!"

Sisi baikku:

"Kamu harus ikhlas, sabar, agar..."

Sisi bajinganku motong obrolan dengan kerad:

"NDANG JALUK IJOL KARO MISUHHH!!!! OJO LALI BANTING BUKU!!!"

Langsung deh pertandingan nyolot di ruang imajiner itu udah kayak debat politik di tipi.

Aku tidak menuruti keduanya.
Yang aku lakukan adalah terus menghancurkannya sampai kecil-kecil. Ampe habis. Terus aku kumpulin dan kubuang deh ke tempat sampah.

Setelah itu aku membuat postingan ini sambil menertawakan entah apa.

Mungkin menertawai aku yang masih sangat 'lekat' dengan benda. Namanya juga manusia. Mungkin lho ya. Tapi yo embuh.

Kedua sampul tersebut sudah remuk seperti remah-remah. Aku marah.
Aku kecewa. Ya, aku benar-benar meresapi emosi itu di dalam sanubari.

Apakah bisa aku ledakkan?
Oh tentu saja bisa, Ferguso! Gampang! Pemicunya udah ada! Tinggal mak dhueeeerrr!!

Namun rasanya lucu, jika mengumbar 'emosi yang tidak baik' itu di depan anak kecil.

Gak minat owe meledakkan amarah gara-gara hal semacam itu. Ntar aja dilampiasin dengan jogging muterin lapangan ampe ngos-ngosan dan pegel-pegel.

Apalagi jika mengingat buku itu aku beli di Gladak. Sebuah surga loak di mana kamu bisa menemukan banyak buku bagus dengan harga murah!

Kalau tidak salah ingat, harga buku itu hanya 5 ribu. Kalau sedang beruntung, jika beli borongan agak banyak, kadang bisa kena 3 ribu.

Karena saat ini aku sedang nabung mas kawin buat kamu, jadi ya udah deh cari komik second it's oke bin gak papa.

Doain jika nanti sudah kaya seperti Hotman Ibukota Prancis, aku akan memborong semua jilid lengkapnya!

Dari peristiwa ini belajar banyak hal. Pertama, aku harus lebih disiplin, jika sudah dipakai letakkan di tempat semula.

Kedua, jangan terlalu menyisipkan 'aku' di banyak tempat, secukupnya dan sewajarnya saja. Susah dong!? Makanya belajar!

Ketiga, jadilah orang kaya! Baik secara materi maupun hati nurani. Kalo punya duit banyak mah tinggal beli on len. Kalo punya keikhlasan banyak, ya tinggal senyum penuh kerelaan lalu menjalani hidup seperti biasanya.

Etapi karena aku gak kaya-kaya amat, ya udah aku candain peristiwa nyebelin tersebut melalui catatan kayak gini.

Biar apa? Biar kagak lupa kalo aku belum nyelesein buku  'Kapan Kamu Nikah?' yang ampe detik ini belum aku baca ampe kelar. Heran, bisikan maut apa yang saat membawa buku itu ke kasir ya!?

Well sial, ternyata aku benar-benar sudah menjadi lelaki paruh baya. Sok dewasa. Berusaha bijak. Pasang topeng 'gak papa, I am fine' padahal sad bois club bets. Hahahaha.

Dan utas ini mending aku akhiri aja dengan sebuah UMPATAN KASAR NAMA BINATANG di dalam hati, sebagai penanda bahwa aku sudah baik-baik saja dan kembali beraktivitas seperti biasa.

NB: setelah menulis ini perasaanku jadi membaik. Emosi yang meluap-luap tadi entah hilang ke mana. Alhamdulillah.

NB lagi: jadi kalau suatu saat kalian sedang mengalami emosi yang tak tertahankan, segeralah menjauh untuk memberi jeda. It's works, trust me.

Mujix
Sedang bingung ngatur jadwal
Simo, 8 Juli 2019

Jumat, 05 Juli 2019

Tidak ada rindu

Terakhir aku rindu padamu, mungkin beberapa tahun yang lalu. Selalu aku kirimi pesan singkat. Tidak pernah kau balas, namun aku yakin sudah kau baca.

Berpuluh rindu sudah berlalu, dan masih tak ada balasan darimu. Lalu di suatu hari nan dramatis, sisa rinduku hampir habis. Dengan kekuatan tekad terakhir ku kirimkan pesan singkat yang berbunyi:

"Hei, apa kabar? Sibuk apa nih?" Saat mengetik tombol 'send', kuselipkan sebuah tekad tersirat. Sebuah pernyataan jika kau tidak membalas pesanku kali ini, maka tak ada rindu lagi yang akan kusisakan untukmu.

Dan tentu saja.
Tidak ada balasan.

Sejak saat itu aku memutuskan untuk melebur rasa rinduku padamu dengan segala logika di kepalaku. Tidak ada lagi rasa rindu. Terakhir aku rindu padamu, mungkin beberapa tahun yang lalu.

Mujix
Kepalaku pusing.
Sepertinya gara-gara hidupku yang di luar kontrol.
Simo, 5 Juli 2019

Jumat, 28 Juni 2019

11.28 AM

Aku pusing. Semua urusanku berantakan entah sejak kapan. Kata Alm. Mbak Tesa, hidup itu harus happy, gak boleh dibuat pusing. Tapi jika berkaca dari peristiwa-peristiwa belakangan ini, anjuran tersebut agak susah dilaksanakan.

Sedih, menyalahkan diri sendiri, dan (mungkin) depresi adalah teman baikku sejak kecil. Jadi, masih bisa hidup sampai detik ini, bagiku adalah keajaiban.

Sekarang aku berada di titik terendah.Aku merasa semua usahaku udah cukup maksimal.Tapi, Ya sudahlah, hal semacam ini sudah aku anggap sebagai rutinitas. Dan seperti biasanya, suka atau enggak suka, aku harus membereskan ini satu per satu. Entah darimana.

Wish me luck

Mujix
Gusti, Kesel bats ki aku.
Tak leren dilut ya.
Simo, 28 Juni 2019

Rabu, 26 Juni 2019

11.03 PM

Aku teronggok di kursi malas. Baru saja membunuh semut yang menggigit lenganku. Mataku rasanya berat. Lelah dan mengantuk menjadi satu. Di luar terdengar jangkrik bersuara lirih. Malam. Memang sudah sangat malam. Beberapa saat yang lalu pekerjaan yang sangat memuakkan itu baru saja selesai diwarnai. Untuk pertama kalinya aku mulai mendefinisikan kata 'berusaha'.

Selamat malam. Selamat beristirahat. Besok pagi kita jemput lagi mimpi-mimpi yang belum terwujud hari ini.

Mujix
Tresno, dek kui ono ning dodo.
Ora iso disawang nganggo moto.
Simo, 26 Juni 2019

Kamis, 20 Juni 2019

The Godfather of Broken Heart

"Yon, koe kan wis SMP. Sunat yo?"
Bapak sore itu tiba-tiba mengucapkan pertanyaan yang mengguncang jiwaku.

"Eto...." kata-kataku tertahan di tenggorokan.

Sunat! Kacuk dipotong! Jari kena pisau dikit aja berdarah, itu malah dipotong! Konon kalau kacuknya agak ALOT, bakal dipotong pakai gunting tanaman! Momok-momok menakutkan itu aku dengar di masa-masa pra sunat!

Rasa cemas itu relatif. Di kala para ekonom sedang mengkhawatirkan pasar global yang kian tak terprediksi, aku masih bingung ngurusin kacuk yang mau dipotong. Mana yang lebih gawat dari keduanya? Keduanya sama-sama gawat!

Sunat adalah prosesi kedewasaan anak laki-laki yang harus aku hadapi. Takutnya minta ampun. Horror, pokoknya! Jika memang 'benda tersebut' harus dipotong, maka aku harus mendapatkan harga yang pantas! Imbalan yang sepadan!

Baiklah, benda apa yang kira-kira layak?
Aku yang saat itu berusia 12 tahun lalu berpikir keras bagai filusuf.

Anak-anak lain saat sunat minta mainan.
Anak-anak lain saat sunat minta diajak ke pasar.

Sedangkan aku, aku meminta sesuatu hal yang sedang populer di desa. Terutama saat ada hajatan. 

Yakni, VCD Player.
Ya VCD Player!!

VCD player lengkap dengan VCD Didi Kempot yang ada lagunya Kuncung dan Cintaku Sekonyong-konyong Koder (and  for sure, Stasiun Balapan).

Bapakku setuju! Sore itu aku disunat! Bakda Maghrib, aku pergi ke Pak Sis, mantri sunat yang merangkap dokter dan perawat yang kantornya berada di desa tetangga. Proses 'pemotongan tumpeng' berjalan lancar. Enggak ada tari-tarian.

Tinggal sat set, mak mek, mak cekrek, trus kelar deh. Sensasi dingin dari obat bius itu masih terasa saja hingga kini.

Ternyata ritual itu tidak seseram hoax-hoax yang beredar di kalangan anak-anak pra sunat. Enggak pakai gunting tanaman. Alhamdulillah.

Abis Isya, aku tiba di rumah. Beberapa menit kemudian, bapakku membawa (baca: meminjam) VCD Player entah darimana, komplit dengan banyak kaset. 

Di meja depan lemari sudah ada televisi dan VCD player. Orang-orang berlalu lalang menyiapkan makanan serta minuman. Dan tentu saja malam itu, bapakku menyetel VCD Didi Kempot dengan suara nyaring untuk menghibur sang pesakitan, yang sudah berhasil melalui ritual bernama potong kacuk.

Jadi, sebelum para netizen, sobat ambyar, dan sad bois club, memproklamirkan Didi Kempot sebagai Lord, The Godfather of Broken Heart, Bapak Loro Ati Nasional atau apapun itu.

Aku di masa lalu sudah menganggap Didi Kempot sebagai panutan pemberi kekuatan dan harapan untuk melalui masa-masa gelapnya takut disunat. Hanya saja aku tak sempat melabeli beliau dengan julukan apapun.

Glory, Lord Didi Kempot! The Godfather of Braveheart! Bapak Loro Ati Nasional! Terimakasih sudah menemani masa-masaku.

Mujix
Seorang komikus yang pernah mewek di bis gara-gara dengerin lagu Sewu Kutho. Jadi, aku udah pantas disebut 'sobat ambyar sad bois club' belum?
Simo, 20 Juni 2019

Senin, 10 Juni 2019

Mimpi Tadi Malam

Dalam satu mimpi aku ketemu simbah, dek'e, lan teman-teman komikus senior. Terbangun dengan rasa bahagia ampe pengen nangis.

Alam bawah sadarku ternyata benar-benar baik. Terimakasih.

FYI: Simbah baru berpulang dua bulan yang lalu, dek'e cinta pertama sing wis lungo lan koyone gak mungkin tak gondeli terus, dan komikus-komikus senior itu sekarang terpisah ke dunianya masing-masing di Jakarta.

Well, it's explain many thing.

Simbah: beliau kelihatan gemuk. Ia bertanya banyak hal pendapat orang di dunia nyata. Aku bilang ia meninggal dengan sangat baik. Ia tersenyum lebar, tanpa gigi palsu. Aku lalu memeluknya dari belakang  melihat punggungnya sambil bilang 'Mbah, kangen!'.

Dek'e: ketemu dek'e gara-gara bis dibajak oknum. Aku harus turun di jalan dan berpapasan dengan dek'e. Lalu dek'e mengajakku ke rumahnya. Sampai di sana aku diledek sama keluarganya ampe salting. 'Ciee, sing nge-date, ciyee!!' Godanya dengan sumringah. Aku happy banget.

Komikus-komikus senior: Aku datang ke Akademi Samali, ada Bang Beng, Mbak Eri, dan lain-lain yang sedang menggambar. Aku bergegas menyalaminya dan berkenalan satu persatu. Trus mereka bilang 'Yuk nggambar bareng'. Lalu kami semua menggambar bersama tanpa banyak berpikir.

Mujix
Tulisan ini aku pindah dari Twitter.
Soalnya personal banget.
Yang di twitter tentu saja aku hapus
Simo, 10 Juni 2019

Jumat, 07 Juni 2019

07.06.2019

Rasa lelah ini begitu nyata
Bisa kubungkus untuk menutupi dunia
Hingga ujung semesta nun jauh di sana
Tempat di mana cinta berada

Mujix
Simo, 7 Juni 2019

Senin, 03 Juni 2019

Nomer WA

Setahun yang lalu aku nongkrong di Gapura Kapal ISI Solo dengan adik-adik tingkat jaman kuliah. Kami tak sengaja bertemu. Tentu saja laki-laki. Byuh. Di tengah-tengah obrolon, tiba-tiba salah satu adik tingkat jaman kuliahku itu disamperin cewek. Sepertinya teman satu angkatan. Mereka bertegur sapa dan berbicara dengan ceria. 'Mbaknya manis' batinku. Selepas mbak manis pergi, aku mengintrograsi juniorku itu dengan pelan dan sangat tersirat.

"Wah temanmu ya!?" Ucapku.
"Halah, Mas! Rasah basa-basi!" Sanggahnya. Aku terperanjat kaget.

"Nih, namanya si anu, ini nomer WA-nya!" Katanya penuh tawa sambil mengeluarkan ponsel pintar.

Para juniorku langsung terkekeh. Aku tersipu malu. Dalam hitungan kecepatan cahaya, nomer kontak mbak manis itu sudah berpindah ke HP-ku.

Ya, hanya berpindah. Tak pernah aku kontak satu kalipun hingga hari ini. Beberapa orang diberikan kesempatan, beberapa orang yang lain diberikan keberanian.

Namun ada juga yang tidak diberi keduanya. Mungkin saat itu ia sedang disibukkan dengan diri sendiri. Disibukkan dengan mewujudkan mimpi-mimpinya. Dan ya begitulah.

Jika kamu dianugerahi keduanya di saat yang tepat, dan bisa mengambil sikap dengan cermat, niscaya kejombloan adalah sebuah kisah klasik di masa lalu.

Mujix
Seorang lelaki pemalu yang mulai berharap bisa menjabat tanganmu di depan penghulu.
Simo, 5 September 2019

Kamis, 30 Mei 2019

Apa yang ditunggu?

Puasa di bulan Ramandhan tinggal hitungan jari. Lebaran beranjak sebentar lagi. Tak ada lagi kerepotan mengurus tiket untuk mudik. Semua orang di rumah sekarang, kecuali Simbah. Beliau telah berpulang beberapa pekan yang lalu. Jadi, ini adalah cerita hari-hari menjelang Lebaran dengan semua kebingunganku.

Beberapa hari ini terbesit satu pertanyaan. Apa yang ditunggu? Sepanjang hari di waktu-waktu ini semuanya berjalan lurus begitu saja. Masa tak mau menunggu. Sudah 40 hari sejak saat itu. Suka atau tidak suka, usia manusia akan berakhir di ujung yang sama. Yaitu meninggal dunia.

Namun bukan itu yang ingin diperbincangkan. Lebih ke esensi rasa menunggu yang akhir-akhir ini mulai kehilangan arti. Usia tak muda lagi. Banyak hal yang belum berubah. Masih di tempat yang sepertinya sama. Apa yang ditunggu?

Jodoh yang tak kunjung bertemu?
Kekayaan yang masih semu?
Umur yang kian bertambah tanpa punya rasa malu? Atau kematian yang pasti datang cepat atau lambat menghampirimu?

Sayup-sayup terdengar para pemeluk agama konservatif berteriak lantang, "Ayo Hijraaah!!! Tuhan akan memberikanmu surga!! Akherat adalah tujuan hidupmu, wahai Fulan!!!"

Heleh. Biarkan aku berproses sebagaimana mestinya diriku berproses. Taik kucing semua teriakanmu untukku saat ini. Tertanda, diriku yang sedang berkontemplasi.

Akhirnya aku sedikit mengerti mengenai ucapan para khotib yang membuat pernyataan 'Alhamdulillah, kita masih diberi kesempatan untuk bertemu dengan Bulan Ramadhan yang mulia ini'.

Apa yang ditunggu?

Mujix
Apa yang ditunggu? Mungkin diri sendiri yang tak terkalahkan oleh apapun.
Simo, 30 Mei 2019

Selasa, 28 Mei 2019

Umur 23

Malam itu aku berdiri di sebuah gerbang berwarna hijau kehitam-hitaman yang tersembunyi di rimbunnya pohon mangga. Dua orang perempuan yang menemaniku saat itu tersenyum penuh arti. Langit biru diselimuti bintang menghampar bagai permadani. Ia menaungi diriku yang agaknya sedang meyakini bahwa gerbang tersebut adalah pintu untuk pulang ke rumah.

Kedua tanganku segera mendorong kenop gerbang aneh tersebut.

"Krieeeeeetttt" suara gerbang mendecit memekakkan telinga.

Ada seberkas cahaya terang terpapar dari isi ruangan dalam gerbang. Mataku sedikit menyipit menahan silaunya. Hidungku mencium aroma wangi nan menentramkan hati. Tak perlu menunggu daun mangga itu jatuh ke bumi untuk kesekian kali, aku bergegas memasuki ruangan mistis tersebut dengan segenap ketidaktahuanku akan apapun.

Di depan bagian dalam pintu tersebut ternyata ada sebuah ruangan sempit dengan banyak anak tangga yang tersusun rapi menuju ke bawah. Aku memandangi ruangan itu dengan stakjub. Keren sekali ruangan ini. Banyak cahaya terang yang berpendar membentuk aurora pelangi di kutub utara yang kadang hanya bisa kulihat melalui video di Youtube.

Perlahan aku menuruni anak tangga dengan perasaan cemas. Tempat ini belum pernah aku datangi. Dan misteri tentang apa yang berada di ujung tangga ini, jujur membuatku sedikit takut.

Tangga demi tangga aku lewati.

"Drap..."
"Drap..."
"Drap..."

Suara langkahku berderap pelan. Aurora-auroara itu masih saja berpendar. Ayunan kaki ini makin lambat. Yang kemudian berhenti sama sekali.

Aku berada di tengah susunan anak tangga. Suasana tempat yang aku tuju masih saja tertutup asap putih, yang kadang berbaur dengan warna pelangi.

Aku agak sedikit khawatir.
Sejurus kemudian tanganku tiba-tiba digamit jari-jari berukuran mungil.

Ada dua bocah laki-laki berumur sekitar empat tahun. Perangainya sangat lembut dan lucu. Apalagi dengan kostum pakaian Tionghoa berwarna merah yang mereka kenakan.

Satu anak menuntunku, satu anak yang lain berjalan di depanku untuk menyibak kabut putih bernama rasa cemas.

Langkah demi langkah kami tempuh satu persatu. Rasa takut itu masih ada. Namun setidaknya aku ditemani dua krucil menggemaskan. Ujung tangga sudah di depan mata. Kami bertiga berhenti di sana. Bocah-bocah itu mendorongku ke depan, seperti memberi tanda untuk melanjutkan perjalanan tanpa mereka.

Aku elus kedua kepala bocah itu sambil mengucapkan terimakasih. Lalu mereka hilang satu per satu.

Suasana di ujung tangga sangat mistis. Rasanya seperti masuk ke suatu tempat berdimensi ganjil. Auranya sama persis seperti saat aku berziarah ke tempat-tempat ibadah kuno.

Sakral, menenangkan namun penuh energi spiritualitas yang besar. Perlahan-lahan asap putih itu turun hingga setinggi lutut. Lalu tampaklah pemandangan aneh dengan banyak hal tak wajar terhampar di depanku.

Ada empat lilin besar tegak berdiri di setiap sudut ruangan. Lilin-lilin itu berwarna merah. Sekobar api hinggap di ujungnya bagai matahari jingga yang merona saat senja. Di tengah tubuh lilin terpahat tulisan Cina.

Aku tidak bisa membacanya.
Entah apa yang tertulis di benda itu.

Di bawah lilin-lilin itu tergeletak banyak sajen dan sesembahan berjejer rapi. Buah-buahan segar, roti, daging-dagingan, semua ada di situ.

Bau dupa yang wangi semerbak datang silih berganti memasuki hidung. Atmospher yang kurasakan seperti di Masjid Agung Surakarta saat para jamaah beribadah dengan khusyuk ketika Sholat Jum'at.

Tiba-tiba terdengar suara ramah yang memanggilku dari kejauhan.

"Sini-sini, Mas!" Ia berkata sedikit lantang. Perlahan sosoknya semakin jelas. Seorang pria gagah paruh baya tergopoh-gopoh menjemputku. Wajahnya yang tegas nan berkharisma mengingatkanku dengan tokoh Superman.

Pria itu juga berpakaian ala etnis Tionghoa. Jika kedua krucil tadi mengenakan baju dominan warna merah emas dan atribut nan meriah. Pria ini lebih berbaju pakaian warna yang sederhana. Yakni putih dan hitam. Ia datang dengan sumringah dan memintaku untuk berjalan mengitari lilin-lilin itu.

Aku tidak dapat menolak permintaannya. Padahal seingatku, kami baru saja bertemu pertama kali di tempat ini.

Namun rasanya dia sangat familiar, akrab dan begitu dekat denganku. Tanpa banyak bicara aku menuruti permintaannya.

Kami berjalan bersama. Ia memegang pundakku untuk berjalan di sebuah jalan sempit di sepanjang area lilin dengan penuh sajen sesembahan tersebut.

Aku melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Sesekali aku berhenti untuk memilih area untuk berpijak. Jalannya sangat sempit. Jembatannya juga. Terkadang aku harus merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.

Setiap kali aku berjarak dekat lilin, biasanya akan muncul kilatan-kilatan berbentuk gambar yang pernah aku alami di masa lalu. Semakin mendekat semakin banyak visualisasi. Ini sangat menakjubkan!

Satu persatu lilin demi lilin berhasil aku kelilingi. Hingga akhirnya aku tiba di jembatan dengan sungai kecil mengalir di bawahnya.

Di seberang jembatan sudah tidak ada ruangan lagi. Yang terlihat hanya ada dinding dengan pintu berwarna putih yang misterius dan berpendar. Pria paruh baya itu mempersilahkanku untuk berjalan di jembatan.

Aku tersenyum sebagai tanda perpisahan kepadanya. Belum usai senyumku hilang. Tiba-tiba datang makhluk bercahaya putih menggengam dan menyangga badan melalui bawah pundakku.

Posisinya kurang lebih seperti orang tua yang sedang mengajari anaknya untuk berjalan saat balita. Makhluk itu bertangan namun tak berkaki. Dan terbuat dari cahaya.

Atau semacam itulah. Entah mengapa semua penglihatanku saat itu campur aduk dan tumpang tindih dengan realitas-realitas yang lain.

Sensasi saat makhluk putih bercahaya itu datang, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya sangat terang, aneh nan ganjil, mistis namun menentramkan.
Aku berjalan di jembatan itu dengan kecepatan yang tak terpikirkan.

Kami melewati itu dengan hening. Hingga separuh jalan menuju sisi jembatan yang lain, makhluk putih itu berbicara ke dalam hatiku.

"Dua puluh tiga!" Begitu ia berguman dengan suara bergetar nan seram.

Hah, aku bingung.

"Apa maksudnya dua puluh tiga!?" Tanyaku dengan penuh keheranan.

"Harusnya kamu mati di usia dua puluh tiga!" Jawabnya lagi menggema hingga relung jiwa.

Aku terperanjat! Saat ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku amblas teronggok di tengah jembatan nun jauh di bawah sana. Sebuah sensasi 'pelepasan' menyelimuti seluruh tubuh astralku. Kewarasanku terhempas ke arah langit.

Aku tersadar usiaku ternyata sudah lebih dari dua puluh tiga! Sudah lebih tujuh tahun tenggat waktu itu berlalu.

Dan sialnya aku harus meninggalkan tubuhku di bawah sana dengan semua kebingungan mengenai umur yang belum terjelaskan.

Aku terus melayang ke atas dengan sangat cepat. Terbang bagai pesawat yang lepas landas dari bumi menuju ke tempat yang tidak diketahui.

Pandanganku tidak berfungsi karena laju yang sangat cepat.

Yang tergambar hanya warna gelap yang kadang berganti-ganti dengan kilatan-kilatan cahaya berpendar.

Terus!
Terus ke atas!
Menembus langit!
Membuncah awan!
Sampai batas cakrawala yang kemudian tanpa jeda, aku langsung dihempaskan lagi ke bumi.

Blaaarr!!!!

"Huaaaakkkhh!!!!"
"Ohoookkkhh!!!"
Aku terkesiap! Nafasku tersengal-sengal!
Netraku yang tadi gelap perlahan mendapatkan rupa.

Pandanganku yang semula kabur sudah bisa menangkap gambar. Gambar itu adalah langit-langit kamarku yang remang. Pantulan lampu neon berwarna putih di antara dinding.

Keringat dingin mengucur di pelipis. Dada berdebar kencang. Tubuh gemetar tak tentu arah.

"Yon, tangi! Ayo sahur!" Suara mamak membuat segalanya menjadi normal.

Aku benar-benar berada di rumah.
Aku bangun sambil menenangkan diri.

"Asuuu! Ono opo iki mau, Cuk!!?"
Umpatku di dalam hati.

Dari kejauhan terdengar lantunan orang-orang yang membaca Al Quran. Itu adalah tanda jika waktu sahur hampir habis.

Aku ingat jika lebaran tinggal beberapa hari lagi. Aku juga ingat jika ini adalah pertama kalinya puasa Ramadhan tanpa simbah.

Mengambil nafas panjang.
Sambil berpikir keras.
Apa maksud mimpi barusan.
Di dalam kepalaku bersliweran adegan demi adegan yang baru saja aku alami di alam bawah sadar tersebut. Sangat jelas baik dalam rupa, suara, bahkan sensasinya.

Jika seharusnya aku mati di usia 23, apakah tenggat waktu yang kujalani hingga hari ini layak untuk menebus kematian tersebut?

"Ndang tangio, Yon!! Wis meh subuh, ki lhoo!!" Bentak mamakku dari dapur.

Ah, sudahlah. Kepalaku gak bakal kuat memikirkan hal yang bukan urusanku. Aku segera beranjak ke dapur untuk sahur sambil bersyukur bahwa aku benar-benar sudah berada di rumah.

Mujix
Work hard die fast!
Not work hard, you will be poor people!
So what you choose!?
Dukoh, 29 Juni 2019

Senin, 27 Mei 2019

Umur 30

Umur yang melelahkan. Umur yang memuakkan. Setengah tahun ini aku terus mendamprat usia yang berangka 30 ini, sebuah usia yang kujalani dengan sangat angin-anginan. Di usia ini semua titik stress menggumpal. Setiap hari aku berjuang untuk selalu menjaga kewarasan.

Aku manghadapi usia 30 ini sambil terus bekerja (yang uangnya hampir semuanya dipakai untuk urusan orang lain. Itu menyesakkan), mencari cinta (yang sialnya orang tersebut berbeda keyakinan), dan mencari jati diri.

Hingga suatu hari di titik terbawah, aku merasa muak. Aku merasa lelah. Baterai kebahagiaanku udah hampir habis. Perlu dicharger. Ah sial. Dan saat semua hal tersebut sudah mau meledak, aku akan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, atau berpergian ke suatu tempat dengan sangat random, atau tidur dan bangun hingga siang.

Namun, it's oke! Aku menerima semua hal tersebut dengan hati dongkol. Yah, walau hati dongkol, aku melalui hari-hariku dengan cukup bersemangat dan sikap bodo amat. Gak punya duit banyak! Bodo amat! Cari obralan komik! Gak punya pacar, bodo amat, yuk! Bikin Indomie rebus kayaknya enak!

Hahaha, begitulah. Salah satu caraku untuk menjaga kewarasan adalah  bersikap masa bodoh untuk mengais kebahagiaan-kebahagiaan kecil yang berada di sekitarku (tentu saja sambil terus mengeluh).

Aku mau tidak mau sedikit meyakini, pasti ada alasan yang belum diketahui kenapa masih diberikan nyawa untuk menjalani hidup hingga hari ini. Aku enggak tahu apa. Namun entah kenapa aku merasa yakin.

Dan di usia yang melelahkan dan memuakkan ini, beberapa saat yang lalu aku dikejutkan oleh kabar meninggalnya seorang teman. Dia berpulang di usia 29 tahun karena kecelakaan lalu lintas. Berita ini membuatku shock dan sedih. Men! Dia enggak sampai di usia 30!! Dia enggak sampai di usia yang menurutku melelahkan dan memuakkan ini!

Sedetik kemudian aku teringat mimpi-mimpiku yang belum tercapai. Komik-komik yang masih menggumpal di pikiran. Orang-orang yang ingin aku tampar dengan pembuktian dan tentu saja orang tua yang ingin aku bahagiakan.

Aku masih diberi kesempatan.
Dan kesempatan ini tengah aku jalani di usia 30. Apakah akan berlanjut di usia 31, 32 dan seterusnya? Siapa tahu.

Namun yang pasti aku tahu,
Aku masih diberi kesempatan.

Mujix
Semoga mendapat
Tempat yang paling baik
Di sisi Tuhan, Asep. Al Fatihah!
Simo, 27 Mei 2019

Selasa, 14 Mei 2019

Mbah Rembyung

"Allah, Mbah! Nyebut Gusti Allah, Mbah!!" Ucapku di siang itu sambil menahan batin yang terguncang melihat simbah menahan sakit.

"Aduuuh hiyuuung!! Iki opo leeeh!!!" Simbahku mengerang sembari memegang perutnya.

Matahari di luar bersinar terik. Ia menerobos kamar simbahku melalui genteng kaca. Suasana sangat mencekam. Aku, Mas Joko, Mamak dan tanteku berjubel di kamar tersebut untuk menenangkan Simbah yang terus berteriak kesakitan. Aku membatin dengan lirih, mungkin sebentar lagi 'hal tersebut' akan terjadi.

Aku mendekatkan wajah ke telinga simbahku dan berkata perlahan.

"Mbah, nyebut Allah Mbah!! Kan njenengan sholat terus ket ndisik! Mestine iso to!!?"

Simbahku mengangguk pelan, hatiku semakin tercekat. Entah kenapa semua orang di kamar ini mengetahui jika simbahku tengah menjalani sebuah ritual suci yang pasti dialami setiap manusia. Ya, ritual suci nan sakral dan dramatis itu bernama kematian. Prosesi yang sering disebut dengan sakratul maut.

"Allah!"
"Allah!"
"Allah!, Mbah!"

Aku berusaha membimbing simbah untuk mengucapkan kalimat tauhid. Tanganku mengelus dahinya sambil terus berkata 'Allah' dan 'Gusti Allah'. Simbahku masih  mengeluh kesakitan, mengerang keras, menjerit sambil beringsut ke sana ke mari. Tanpa suara. Aku menguatkan batin dan  selalu mengoceh kalimat tauhid sambil mati-matian menahan perasaan sedih yang kian menggumpal.

Simbahku masih terus berjuang menjemput ajal. Banyak yang bisa aku ceritakan mengenai perempuan tua yang bernama 'Mbah Rembyung' itu. Sangat banyak.

***
Ingatan paling awal yang terselip di memori manusiaku mengenai simbah, mungkin saat aku ditinggal pergi merantau oleh orang tua. Saat itu kira-kira  aku berusia lima tahun. Mamak dan bapak pergi mencari nafkah di Jakarta, dan siang itu aku mengalami perpisahan yang sangat menyakitkan.

Samar-samar ingatan itu muncul, sebuah adegan simbah yang memegangi aku yang tengah meronta penuh tangis karena tak rela ditinggal orang tua merantau ke ibukota.

Ingatan itu berwarna hijau. Dibalut suasana sedih dengan rasa berat nan kelu dalam sudut pandang seorang anak kecil yang hendak bersekolah di kelas 1 SD.

Dan sejak saat itu aku belajar ilmu hidup yang bernama 'perpisahan adalah sebuah kepastian'. Cepat atau lambat. Suka atau tidak suka.

Malam setelah peristiwa dramatis itu, aku masih saja menangis sesengukan. Belum ada listrik di rumah kami. Setiap rumah biasanya diterangi oleh lentera berbahan bakar minyak. Lentera itu dibuat kaleng susu bekas. Sumbu yang dipakai sama dengan sumbu kompor. Apabila lentera itu dinyalakan akan ada bau minyak terbakar yang cukup menyengat.

"Kidang talun..."
"Mangan kacang talun..."
"Mil ketemil... mil ketemil..."
"Si kidang mangan lembayung..."

Simbah bersenandung dengan suara merdu nan lirih menyibak gelapnya malam. Beliau menghiburku yang tengah dirundung pekatnya kesedihan peristiwa siang tadi. Tangan kecilku memeluk tubuhnya erat. Ia memelukku pula dengan penuh kasih sayang sambil terus bernyanyi.

Ruangan kami dipenuhi cahaya menari berpendar merah dari lentera. Sinarnya menelusup ke hati. Bagai uluran rasa cinta dari tangan Tuhan yang disalurkan melalui hangatnya perhatian simbah. Sejak saat itu, walau dengan berat hati aku berjanji dan berusaha menjadi anak yang kuat dan mandiri. Sulit? Absolutly yes! But I will try.

***

Mulai hari itu aku yang sedang masuk kelas 1 SD itu akan tinggal di rumah bersama simbah. Sesekali tiap akhir pekan mungkin aku akan mengganggu masku yang sedang bersekolah di SMSR Solo. Entah memporak-porandakan alat lukisnya, atau mencegatnya di perempatan jalan untuk meminta uang jajan.

Pagi kala itu, aku selalu disambut dengan aktivitas simbah yang membuat 'Rengginang', sebuah camilan yang berasal dari beras ketan. Simbahku menghadap meja dan menata ketan di 'Widig' tatakan dari bambu yang dibuat untuk menjemur rengginang basah.

Simbah duduk di kursi panjang. Disampingnya ada tumbu berisi ketan dan mangkuk berisi air untuk menjaga agar tangan tidak lengket saat memenyet ketan. Aku sering sarapan ketan yang dibuat simbah. Biasanya dengan lauk tempe goreng. Dan jangan lupa, teh anget milik simbah juga sering aku 'sabotase' untuk menyembuhkan dahaga. Sebuah pagi yang sangat menyenangkan di masa kecil.

"Mbah, njaluk sangu!" Ucapku setelah sarapan. Beliau lalu mengambil dua atau tiga keping 100 rupiah. Dan seperti bocah pada umumnya, setelah mendapatkan uang saku langsung ngacir ke sekolah. Buat jajan. Wkwkw

Saat aku berada di sekolah, simbah membuat rengginang. Setelah rengginang selesai, beliau lalu membuat 'besek'. Besek adalah kerajinan yang berasal dari bambu. Biasanya dipakai buat tempat makanan saat kenduri.

Proses membuat besek sangat kompleks, mulai dari 'Irat', 'nyisiki', 'nganam', 'mbalikke', dan 'mbratili'. Tuh kan, rumit. Kalian paham maksud istilah-istilah tersebut? Perlu dijelaskan? DM sist!

Saat istirahat tiba, aku sering balik lagi ke rumah, karena uang saku sudah habis buat jajan, namun aku masih lapar. Aku biasanya langsung 'mendobrak' pintu sambil berteriak keras.

"MBAH! ONO PANGANAN OPO!!!??"
Simbahku yang tengah membuat besek, biasanya hanya geleng-geleng sambil menanggapi seperti biasanya.

"Golek'ono dhewe neng lemari, Yon!"
Lalu dimulailah operasi 'tangkap panganan' di lemari. Kadang aku menemukan Rengginang, kadang menemukan Onde-onde, namun sering pula aku tak menemukan apa-apa.

Tangkapan besar panganan, biasanya terjadi di pasaran bernama Pahing. Terkadang jika hari Pahing tiba, beliau suka belanja di pasar. Untuk membeli beras ketan, atau menjual ayam. Aku sangat suka hari di mana Simbah pergi ke pasar di saat Pahing. Soalnya selalu ada makanan enak di tenggok yang ia bawa.

Jajanan pasar yang sering ia beli adalah Jenang Gendul. Semacam bubur diberi kuah gula jawa dengan campuran sagu dan santan. Rasanya enak. Kadang Simbah membeli Onde-onde dan Mentho. Ketiganya bagai durian runtuh bagi seorang bocah berambut kriting yang selalu kelaparan.

Jumat, 26 April 2019

Prosa Putus Asa

Malam ini berisik
Terpelanting ke sana ke mari
Maksud diri membenahi hati
Malah berceceran di tiap jejak kaki

Menuju ke tempatmu
Perlahan tapi pasti sambil menahan rindu
Yang semakin tak tahu malu
Menerobos hingga ke ujung kuku

Semua orang berjuang seakan perang
Bertarung hingga lepas pedang
Membantai hari dengan sangat garang
Dari pagi hingga siang,
Dari sore hingga petang

Malam ini berisik
Terpelanting ke sana ke mari
Maksud diri membenahi hati
Malah berceceran di tiap jejak kaki

Mujix
Nothing to lose itu dimulai dari niat tulus.
Karang, 8 Mei 2019

Selasa, 09 April 2019

Kamu

Malam ini kamu datang ke mimpiku. Sekejap saja kurasa. Yang teringat hanya senyum dan keberadaanmu. Selain itu terlupa saja dilindas alam bawah sadar. Aku bersyukur dengan hadirnya kamu malam ini.

Entah bagaimana menjelaskannya, namun aku merasa sedikit tersembuhkan dan menjadi pribadi yang lebih baik dari hari kemarin. Hari kemarin dimana kenyataan menghantamku berulang kali. Berulang kali hingga aku melupakan keberadaanmu.

Mujix
Sedikit penyesalan, banyak kebahagiaan. Tak perlu ditanyakan lagi kan!?
Mujix, Simo 9 April 2019

Senin, 01 April 2019

Orang Lain

Melihat orang lain selalu lebih menyenangkan. Sepertinya mereka semua berjalan lurus sesuai alur. Terus melaju, menemukan sesuatu, saat kelelahan tiba-tiba saja ada yang mendorongnya. Semuanya sudah ada yang mengatur. Semuanya. Kecuali dirimu sendiri.

Dan lucunya, saat permasalahan ini kamu tanyakan ke orang lain, maka ia akan menjawab bahwa hidupnya juga tak lancar-lancar amat. Dan tiba-tiba saja orang lain tersebut ternyata memiliki problem besar, bahkan lebih besar, daripada yang kamu hadapi. Menurutnya.

Orang lain selalu benar.
Diri sendiri selalu salah.
Saat diri sendiri ini sedang belajar untuk menjadi benar, orang lain menghantammu lagi dengan semua kebenaranmu yang teryata salah di mata mereka. Apakah akan seperti itu terus? Sampai kapan?

Mujix
Lalu bagaimana?
Karang, 11 Mei 2019

Minggu, 31 Maret 2019

Rumah Sakit

Rumah sakit adalah tempat dimana tabung infus tergantung. Ia mengalirkan cairan ke dalam tubuh yang tengah kurang sehat melalui selang berwarna putih. Tetes demi tetes yang jatuh dari tabung menuju selang bagai detik jam nyawa bagi penggunanya, bagiku yang hanya dapat menyaksikan sebagai penjenguk juga seperti itu. Seperti cemas yang mengalir bagai sendu sedan.

Rumah sakit adalah tempat dimana Tuhan banyak disenandungkan penghuninya. Simbahku selalu menyebut 'Gusti' saat perutnya meradang dikarenakan sakit kangker usus besarnya. Aku ingat, nama 'Allah' juga terselip diantara tangisan pasien di ruangan sebelah, saat ibu mereka terpaksa meregang nyawa karena tak bertakdir baik dengan rumah sakit ini.

Mujix
Terimakasih hidup untuk ilmu yang kau ajarkan hari ini, aku siap menghadapi hari esok dengan penuh antusias
Simo, 31 Maret 2019

Sabtu, 30 Maret 2019

Soal Pencapaian Berkarya

Siang itu aku sedang berbincang dengan seorang teman kuliah, sebut saja Agung dan satu teman baru. Usai perkenalan obrolan meluncur hangat dan melompat ke sana ke mari, lalu tiba-tiba Agung menyinggung soal karyaku yang kemarin dipamerkan di London. Aku hanya menjawab seperlunya. Toh bagiku, pameran diberbagai tempat adalah sebuah keniscayaan saat aku memiliki karya.

And then, Belum sempat obrolan tersebut selesai, teman baruku ini sekonyong-konyong bertanya dengan antusias.

"Wah, karyane tekan London nggenah entuk duit akeh nuh, Mas!?"

Aku tertegun. Pikiranku bergejolak seakan mau muntah karena ingin segera 'menghajarnya' dengan semua penjelasanku soal pencapaian berkarya, pentingnya berproses dan uang bukan segalanya (tapi sangat penting, everybody knows).

Sebelum meledak, aku mencoba mengatur napas. Tenang, Jix, tenang. Mindfullnes Budhist ala Ajahn Brahm yang aku pelajari ternyata cukup berguna di saat-saat seperti ini. Beliau bertanya soal uang. Dan aku secara tidak langsung harus berbicara dari sudut pandang finansial.

"Mas." kataku sambil menahan kata demi kata. Waktu berjalan lambat. Kok bisa? Karena aku sedang memilih kata yang pas dan mencoba menyamakan pola pikir dengan teman baruku ini yang sepertinya sangat 'money oriented' sekali.

"Promosi! Biaya promosi! Bayangkan saja kamu bisa mempromosikan karyamu di wilayah baru" kataku perlahan.

Saat aku mengatakan kalimat tersebut, entah kenapa aku bisa membaca gelagat yang ia tunjukkan. Gelagat yang aku tangkap dari dia kurang lebih ialah 'Oh, jadi gak dapat banyak uang!'. Semoga saja tebakanku salah. Namun sepertinya tidak. Darimana aku tahu? Tentu saja dari sikap dan bagaimana ia berbincang.

Namun aku masih mencoba melanjutkan apa yang ingin aku katakan.

"Yah, setidaknya aku dapat nama, terus..."
Kalimat tersebut tidak aku selesaikan. Semua gestur dan raut muka teman baruku itu menunjukkan penolakan untuk perbincangan lebih mendalam.

It's oke. Langsung aku alihkan ke pertanyaan yang menurutku ia sukai. Yah, anggap saja sebagai etika yang baik untuk menyenangkan orang lain sebelum aku bergegas pergi.

"Jadi gimana... bla.. bla..bla.."
Dan ia langsung menjawab dengan antusias. Berbicara ke sana ke mari. Aku menanggapinya dengan formal. Setelah kurasa cukup perbincangannya, aku segera berpamitan pulang.

Di sepanjang perjalanan pikiranku mencoba mencerna apa saja baru saja terjadi. Berkontemplasi. Menimbang, dan beradu argumen dengan diri sendiri. Semua perenunganku kali ini mengerucut menjadi beberapa ilmu tentang kehidupan.

Dan ilmu tersebut bernama 'rasah dipikir abot nek wong liyo ora nggagas lan ora mudeng karo opo sing mbok karepke!'.

Dan, btw, maaf, hingga hari di mana tulisan ini tertulis, aku lupa NAMA teman baruku tersebut. Ternyata sikap yang baik dan saling menghargai itu penting. Dan mungkin jika ia memberiku sedikit 'ruang' untuk berbincang, aku mempunyai sedikit motivasi untuk bukan hanya sekedar mengingat namanya, namun juga masuk ke list 'Teman Baru Yang Menyenangkan Bulan Ini', wkwkwkkw.

Alah, gak gablek duwek akeh wae, gayane ngomongne pencapaian, koe Cak!

Mujix
Don't stop me now
Purwosari,  26 April 2019

Adzan adalah Penanda Waktu

Adzan adalah penanda waktu. Penanda bahwa hidup masih dipelukmu. Mungkin suara adzan terdengar pilu. Namun tak sepilu tangisanmu saat menahan kelu. Teruslah bernafas dalam sendu. Percayalah bahwa semua ini akan berlalu.

Mujix
Sedang menunggu nenek yang sakit
Simo, 30 Maret 2019

Jumat, 29 Maret 2019

Semuanya Berjuang

Semuanya berjuang. Semuanya berusaha semampunya menjalani hari ini. Aku juga, mas-mas penjual es buah yang kulihat dari balik jendela bis itu juga tak mau kalah. Tak ketinggalan simbahku yang saat ini sakit. Beliau berjuang sebisanya untuk sembuh, walau harus menangis dan mengeluh menahan sakit.

Kata orang bijak, hasil dari sebuah perjuangan selalu sesuai. Tak lebih, tak kurang. Banyak yang bilang itu hukum karma. Apa yang kamu unduh adalah apa yang dulu kamu tanam. Baik dan buruk. Aku menulis ini untuk menyemangati diri sendiri yang mulai sedikit kelelahan berjuang. Semoga apa yang semua orang perjuangkan memberikan hasil yang terbaik.

Terbaik di mataku, terbaik di hidup kamu, terbaik di dunianya, dan terbaik di hadapan semesta. Amin.

Mujix
Fighting people who lose his control because life sometimes not fair.
Simo, 29 Maret 2019.

Rabu, 27 Maret 2019

Simbah Sedang Sakit

Simbah sedang sakit. Sakit yang teramat sangat. Darimana aku tahu? Dari erangan beliau yang bergema setiap saat. Nada dan suara dari simbah selalu membuat hatiku tercekat.

Penderitaan, aku sebagai manusia, memandang semua hal yang beliau alami adalah penderitaan. Ujian, penebusan dosa, pemurnian, penghapusan karma buruk, pendapat lainku jika aku seorang penganut agama.

Apapun itu. Rasa sakit yang diderita simbahku sangat nyata. Beliau sakit, aku dan keluargaku juga ikut sakit. Yang bisa dilakukan saat ini adalah berdoa dan ikut merawat simbah. Berdoa agar segera sembuh. Amin

Mujix
Sedang bingung
Simo, 28 Maret 2019

Selasa, 12 Maret 2019

Waktu Yang Sempurna

Saat itu pagi jam setengah delapan, sudah banyak pembeli berlalu lalang di warung kami. Aku sudah bangun dan tengah menyeduh teh hangat di dapur depan pintu. Sekedar kalian tahu, Teh hangat itu aku bawa dari 'Jawa', kalau kata orang Bogor. Dua merk teh tubruk aku campurkan menjadi satu agar mendapat citarasa kampung halaman yang kadang merasa butuh untuk dirindukan.

Mataku memandang ke sekeliling. Mamak tengah melayani pembeli yang butuh daun bawang, sawi, bayam, cabe atau apapun. Sesekali terdengar tawa renyah dari mereka. Bapakku tak tampak, jam segini ia biasanya lari-larian di taman belakang kampung. Aku juga terkadang lari-larian, atau bahasa gaulnya 'jogging', namun itu akan terjadi jika waktu sudah beranjak ke sore hari.

Teh hangat sudah terseduh, uap hangat dari gelas tersebut menyentuh tanganku yang kedinginan karena habis mandi. Mandi di pagi hari itu bagus untuk kamu yang 'ngantukan'. Mandi di pagi hari bagus untuk kamu yang ingin menikmati sedapnya teh hangat.

Aku beranjak ke meja yang terletak di tengah warung. Dari tempat ini aku bisa memandang luas sampai ke segala sudut. Di sampingku atau tepatnya di etalase lemari kaca depan warung, tersedia banyak makanan. Langsung saja aku comot beberapa martabak dan buras. Martabak yang buat adalah Encik, ibu-ibu paruh baya etnis Tionghoa yang pandai memasak berbagai makanan. Nah kalau buras, yang bikin bapakku. Bapakku menangani buras dan gorengan.

Selain martabak dan buras, di etalase itu ada kue hijau atau talem, buatan Teh Lenny. Camilan ini paling laris di warungku. Semacam lapis berwarna hijau namun diisi santan. Rasanya manis. Ada pula bakpao isi kentang milik Bu RW. Etalase itu seperti Indonesia. Bermacam-macam isinya namun berada di tempat yang sama.

Sesekali aku melongok ke luar, terkadang aku tiba-tiba ngidam sarapan bubur ayam. Dan tengilnya, lokasi tempat berjualan bubur ayam itu terhalangi oleh spesies brengsek bernama manusia yang punya mobil tapi gak mau bikin garasi. Aku berjanji jika suatu saat bisa beli mobil, aku akan membuat garasi terlebih dahulu. Apabila pandangan terhalang, aku biasanya berjalan beberapa langkah untuk memastikan ada tidaknya ceret tempat wadah teh. Jika ada, berarti penjual bubur itu tengah berniaga. Jika tidak, ya sepertinya aku akan sarapan buras 3 potong.

Aku selalu mengawali hari dengan aktivitas yang sempurna seperti ini. Minum teh hangat sambil makan camilan, dan mungkin apabila sudah hari jumat atau sabtu bakal ditemani komik baru di situs manga on line. Waktu yang sempurna adalah saat ini, dimana semua hal di sekitarmu bisa menyatu di sebuah dimensi bernama kebahagiaan dan rasa syukur.

Mujix
Sedang berada di tempat yang sama. Namun di masa yang berbeda. Situasi terkini warung tersebut sangat berantakan, karena kami memutuskan untuk pindah/ pulang ke Rumah. Apakah masih waktu yang sempurna? Tentu saja.
Bogor, 12 Maret 2019



Minggu, 03 Maret 2019

Tukang Tahu Asongan

Siang hari ini sangat panas. Debu dan asap mengepul memaksa masuk ke paru-paru setiap manusia. Rasanya sangat memuakkan, para ahli bilang, hal seperti ini yang sering mereka istilahkan sebagai 'radikal bebas' yang katanya bisa merusak kesehatan.

Namun bukan hal se-ilmiah itu, yang ia,  sang penjual asongan pikirkan, belum (dan mungkin) gak akan sampai hadir di benaknya.

Perasaan muak tersebut muncul karena harus ada uang yang ia cari, namun sialnya, kenyataan tak memberi ruang diri. Semua orang butuh uang, Thomas Alfa Edison pun tahu hal semacam itu. Namun satu hal yang mungkin belum diketahui Thomas Alfa Edison, sang penjual asongan itu sedang sangat lelah baik secara fisik maupun batin untuk mencari uang.

Beberapa kali bis besar datang. Semuanya ia biarkan hilang. Rasa pengap kabut asap kendaraan bercengkrama akrab dengan tahu kempong, kacang goreng, arem-arem, dan keripik usus yang baru laku beberapa biji. Melihat benda-benda itu masih bertumpuk di pundak, benar-benar membuatnya gamang. Ia berpikir, mungkin beban hidup seluruh makhluk bernama manusia sengaja dianugrahkan padanya siang ini.

Dari kejauhan muncul bis besar Agra Mas. Rasa malas masih bergelayut. Namun asa menolak untuk berdiam diri. Seutas senyum kecut ia torehkan di muka berkeringat nan hitam kecoklatan karena sinar matahari. Ia mengela nafas dan berdiri. Sandal jepit merk Swallow menjadi saksi bahwa ia masih ingin merubah hidup.

Bis tersebut berhenti perlahan di lampu lalu lintas yang berwarna merah. Agak sumringah juga melihat banyaknya penumpang di dalam. Ada sedikit rasa gembira saat membanyangkan jika barang dagangannya laris manis di dalam bis tersebut. Pria paruh baya itu berjalan pasti menuju sarang rezekinya. Ia menyebrangi jalan sambil memantapkan harapan. 

Tak lama berselang ia sudah sampai di depan bis besar tersebut. Diketoknya pintu supir, sambil memberi kode bahwa ia ingin masuk ke dalam bis untuk berjualan. Namun tak ada respon. Diketuknya lagi dengan lebih keras. Tak ada pintu terbuka. Hanya ada tatapan sinis dari kondektur dan sikap acuh tak acuh sang sopir.

Saat si penjual asongan ingin mengetuk pintu tersebut untuk terakhir kalinya, lampu lalu lintas berubah warna. Dari merah ke kuning. Bis tempat rezeki bersarang itu bergerak perlahan. Rasa kecewa menyembur dari dalam sanubari. Penjual asongan itu menggenggam jarinya dengan sangat erat. Menahan rasa putus asa kala bis tersebut meninggalkannya dengan penuh kepastian.

Pria paruh baya penjual asongan itu termenung di tengah jalan yang penuh asap dan kendaraan berlalu lalang. Yah. Mungkin memang belum rezeki, begitu pikirnya.

Mujix
Sedang berada di Bogor
Merapikan buku hutang milik mamak dan mencoba berbaik sangka terhadap hidupku hari ini.
Bogor, 9 Maret 2019

Jumat, 01 Maret 2019

Berita Gembira

Ingin mengabarkan berita gembira, jadi komik buatanku ini sudah berkelana ke beberapa negara sejak beberapa tahun yang lalu. Dan tahun ini, komik tersebut akan berpameran di London Book Fair.

Salah satu rahasia kecil dari komik 'Proposal Untuk Presiden' ialah, karya ini aku buat dengan menggunakan ilmu yang aku dapat dari prodi TV dan Film ISI Solo.

Mata kuliah 'Penulisan naskah', 'Penyutradaraan', 'Dramaturgi', 'produksi film fiksi' dan ilmu-ilmu lain yang selama ini aku pelajari saat kuliah ternyata sangat membantu dalam bertutur di media komik.

Terimakasih atas pengetahuan yang berlimpah, kampus Prodi TV dan Film ISI Solo.

Di karyaku selanjutnya, aku akan menggunakan lokasi dan setting kampus tersayangku ini sebagai penghormatan. Jadi tolong jangan tersinggung ya, jika suatu saat beberapa orang dari grup ini muncul sebagai karakter di komikku yang baru. Salam hangat.

Mujix
Tuhan, tolong lindungi aku dari perbincangan dan obrolan menjebak yang berujung ke penyesalan serta kekecewaan.
Simo, 28 Februari 2019

Dunia yang jauh

Dunia yang jauh
Sesuatu yang tak tercapai
Seperti uap embun
Yang hilang di siang hari
Rasa penat saat itu
Masih ada hingga kini
Tak tahu malu
Membuatku mati

Mujix
Terus bergejolak
Simo, 2 Maret 2019

Rabu, 27 Februari 2019

Menata Sayur

Banyak hal terjadi akhir-akhir ini. Serentetan peristiwa sambung menyambung melemparkan aku dari Bogor ke Boyolali, dari Boyolali ke Bogor.

Sudah satu bulan aku berada di Bogor  lagi untuk membantu mamak berjualan. Setiap hari aku harus bangun jam 3 pagi untuk membukakan pintu gerbang untuk Mang Ending yang mengantarkan mamak ke Pasar Bogor.

Saat Mamak ke pasar, biasanya aku tidur lagi. Lumayanlah waktu 45 menit untuk mengistirahatkan jiwa dan raga. Kok hanya 45 menit? Soalnya durasi waktu tersebut adalah durasi waktu dimana mamak berbelanja di Pasar Bogor.

Saat itu setiap jamnya sangat berarti. Gimana enggak, kegiatanku kala itu sangat banyak. Beberapa kegiatan tambahan tersebut ialah memberi makan burung bapak yang jumlahnya sekitar 20an. Mencuci perkakas dan beras. Bantuin nggoreng tempe, tahu, bakwan,  dan pisang. Dan lain-lain.

Setelah 45 menit yang berharga tersebut, aku (terpaksa) bangun lagi (karena jendela digedor agar bukain pintu) untuk menata sayuran yang baru saja di beli.

Mamak biasanya datang dengan menunpang angkot hijau. Kadang sambil bawa bubur ayam. Saat beliau tiba, aku sudah bisa dipastikan tengah menata sawi, daun bawang, atau sedang berpusing ria melepas ikatan plastik yang terlalu kencang. Sambil menguap berulang kali karena kurang tidur.

Menata sayur di rak itu ternyata ada seninya. Misalnya, 'sayuran yang berakar dan ada tanahnya' harus ditaruh di rak bawah, agar tanah di akar tersebut tidak mengotori sayur lain.

Seni lainnya ialah, sayuran yang lama lebih baik ditaro di atas sayuran baru. Agar ada regulasi yang sehat. Yang lama laris, yang baru menunggu pembeli.

Saat menata sayuran aku selalu menggunakan tiga plastik. Plastik pertama untuk menyimpan plastik-plastik  bekas sayur dari pasar. Terkadang dipakai lagi. Plastik kedua untuk menyimpan sayuran lama namun masih bisa dimasak.  Kadang dimasak, kadang diberikan orang lain. Dan plastik ketiga aku gunakan untuk sampah sayuran busuk.

Momen paling menyenangkan saat menata sayur adalah saat menatap sayur yang sudah rapi setelah ditata. Rasanya sangat lega, mak plong dan puas.

Pencapaian terbesar dari menata sayuran ini ialah saat ada pembeli yang bertanya " Budhe, kok gak pergi ke Pasar?"

Terus Mamak menjawab, "Ke Pasar, tuh sayurannya sudah rapi ditata sama Yono!"
Hmmmf. Aku mendengus bangga.

Mujix
Menata sayuran aja bisa masak menata agenda buat kaya raya dari membuat komik masa enggak bisa?
Simo, 27 Februari 2019

Minggu, 17 Februari 2019

Gimana Kalau

Gimana kalau komik 'Proposal Untuk Presiden' aku unggah secara gratis di dunia maya, ekslusif full color dan tayang rutin berkala di www.mujixmujix.com?

Kok digratisin sih, Mas Mujix?

Well, buku komik ini secara copyright sudah balik lagi ke tanganku. Dan secara materi dan non materi, komik ini sudah memberikanku banyak hal.

Membelikanku komputer serta uang buat jajan. Memberikanku pengalaman bahagia saat ngeliat 'komik buatan sendiri' nangkring di toko buku nasional. Makin terkenal gara-gara masuk koran  lokal. Pameran di dalam di luar negeri. Hingga Membuatku punya kolega dan teman baru. Lalu bla... bla... bla...

Nah, lalu sekarang aku akan tawarkan kepada kalian.

Apakah kalian ingin komik 'Proposal Untuk Presiden' tayang GRATIS!?

Sebagai 'kado' buat Pak Presiden kita yang akan terpilih tahun ini!?

Sebagai 'hadiah' buat kalian yang telah berhasil menjaga pikiran tetap tenang dan waras di tahun penuh gejolak ini!?

Kalian mau? Coba deh like atau komen, postingan ini. Aku pengen lihat siapa saja yang mau membaca komik ' Proposal Untuk Presiden' versi extended.  

NB: foto hanya pemanis semata, jika kurang berkenan di hati mohon dimaafkan lahir dan batin. Hehehe

Mujix
Sedang mencarimu
Simo, 19 Maret 2019

Kamis, 24 Januari 2019

Halo, Mbak Thesa!

Beberapa tahun yang lalu dari hari ini.

“Je! Em-Je!” Teriak seorang perempuan mungil agak cempreng. Suara penuh kehangatan itu asalnya dari seseorang di depan gedung Toko Buku Gramedia Slamet Riyadi. Waktu belum beranjak terlalu malam, saat itu kurasa habis adzan Isya.

“Halo, Mbak Thesa!” Aku berseru dengan antusias. Dalam beberapa langkah aku sudah sampai di depan Mbak Thesa, seorang seniorku di jurusan Prodi TV dan Film kampus ISI Solo.

Beberapa orang memang memanggilku ‘MJ’ (dibaca Em-Je. Enggak pake Es-Te. Apalagi 12) inisial dari ‘Mujix’. Insiden panggilan MJ itu terjadi gara-gara saat makrab aku 'sok asik' mengenalkan diri dengan nama tersebut.

Kami bertemu dalam rangka COD buku komik ‘Proposal Untuk Presiden’. Mbak Thesa saat itu datang bersama temannya. Aku menyalaminya satu persatu sambil bertanya kabar.

Kami memang sudah jarang bertemu sejak lulus kuliah. Kehebohan kami saat ngobrol ternyata memantik rasa penasaran temannya Mbak Thesa.

“Emange, bocah iki apamu to, Thes?” Tiba-tiba tercetus sebuah pertanyaan lucu dari teman Mbak Thesa. Aku dan Mbak Thesa tertawa ngakak.

“Ngene lho, dadi  Em-Je iki ndisik ra nduwe konco jaman kuliah, mergo mesakne, ndangnu dek’e tak jak wae nguripke komunitas 'Bengkel Film' neng kampus” Jawab Mbak Thesa.

Asem, Dikasihani karena tidak punya teman di kampus. Aku sedih, namun  gimana ya, sebagian ada benarnya juga sih. Obrolan kami tidak berlangsung lama. Setelah berhahahihi ria, segera saja kuberikan komik yang ia pesan.

Mbak Thesa sepertinya cukup terkejut melihatku, juniornya di kampus bisa membuat buku komik yang (ehem) tersebar di toko buku nasional. Ia lalu menyerahkan uang  Rp.50.000. Aku bingung.

“Waduh, Mbak, aku gak nduwe susuk’e! Opo tak ijolne dhisek?” kataku.

“Rasah, gawanen dhisek wae. Santai!” ujarnya dengan bergegas menuju sepeda motor.

“Oh, Yowis, kapan-kapan kita nongkrong neng kafe ngobrolne masa lalu ya! Kali aja bisa aku pake buat ide di komikku terbaru” aku berkata dengan semangat.

“Oke, Je! Tengyu Lhoo! Aku pamit sik ya!!” Mbak Thesa pergi sambil melambaikan tangannya.

Dan saat itulah aku terakhir kalinya aku bertemu dengan Mbak Thesa. Senior paling ramah, cablak, gayeng yang paling aku hormati karena ‘mengajariku’ berbagai macam ilmu di masa lalu.

***

Seminggu  yang lalu dari hari ini. Aku terbangun dengan perasaan kusut. Langkah gontai beradu dengan ubin dingin di pagi hari sesudah shubuh. Seperti biasa, aku berjalan auto pilot ke kamar mandi untuk buang air sekalian mengambil wudhu.

“Atiku kok rosone, elek banget yo!?” batinku. Harusnya hari itu aku puasa. Namun karena perasaan buruk bergelayut tersebut, aku memilih membatalkan puasanya.

Beberapa jam kemudian, grup WA alumni kampus ramai dengan berita duka.

Sebuah kabar sedih yaitu soal Mbak Thesa yang baru saja meninggal dunia.

Hatiku tercekat. Kabar itu bagai banjir bandang yang membuat perasaanku terombang-ambing dalam kemuraman tak terdefinisikan.

Apakah keadaan perasaan buruk yang aku rasakan tadi pagi adalah pertanda?

Dan detik ini kurasa waktu yang tepat untuk membicarakan masa lalu sembari mengenang berbagai peristiwa saat bersama Mbak Thesa. Here we go!

***

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu dari hari ini. Sebuah masa OSPEK di ISI Solo pada tahun 2006. Perjumpaanku pertama kali  dengan Mbak Thesa ialah saat sesi perkenalan UKM dan komunitas kampus di ajang inagurasi penerimaan mahasiswa baru.

Mbak Thesa menjelaskan panjang lebar soal komunitas film yang ia kelola bersama teman-temannya. Sebagai senior yang berada di tiga tingkat di atasku, ia bersama teman-temannya terlihat sangat keren saat berbicara di panggung semegah itu. 

Saat itu aku hanya sekedar menyimak dan  acuh tak acuh karena sibuk menyiapkan banyak hal untuk kehidupan kampus yang penuh drama.

Kehidupanku di awal-awal kuliah memang penuh dengan drama. Mungkin.

Ya, hal-hal semacam ‘diabaikan teman satu jurusan, mencari pekerjaan tambahan buat bayar kuliah, peliknya menjalani romatisme kacau ala mahasiswa ansos nan introvert, hingga beberapa hantaman telak  lain dari hidup agar pemuda  ini bisa beranjak dewasa' kurasa pantas aku labeli sebagai drama masa muda yang menggelora.

Di antara banyak drama, diantara banyak orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, sekonyong-konyong Sang Semesta mempertemukanku dengan Mbak Thesa, Mbak Tere dan Mbak Dara bersama komunitas BF. The life always have a magical solution when you are stuck.

Jadi buat yang belum tahu, BF adalah singkatan dari (tolong singkirkan pikiran kotor kalian, aku tahu itu) Bengkel Film.

BF ialah Sebuah komunitas film yang mewadahi mahasiswa-mahasiswa jurusanku( televisi dan film) untuk berkarya dan berdiskusi mengenai film. Keren ya!

Aku agak lupa bagaimana awal mulanya aku terlibat dengan komunitas tersebut, namun sejak saat itu, aku mencoba untuk  sering berinteraksi dengan mereka bertiga.

Hampir setiap hari Jumat, komunitas ini menjadwalkan untuk berkumpul. Saat bertemu untuk rapat BF, Ketiga senior itu membicarakan banyak hal, menggagas banyak hal. 'Aku mung ndomblong' sambil pasang muka 'ya, aku paham maksudmu'.

Walau hanya kadang datang sebagai pendengar, aku yang kesepian karena  merasa ‘hidup tidak berpihak padaku’ akhirnya seperti mendapat teman baru.

Selain berdiskusi, acara BF lainnya ialah memutar film. Setiap beberapa bulan sekali , BF memutar film karya banyak orang. Sepanjang siang hingga sore, aku, Mbak Thesa, Mbak Tere, dan Mbak Dara muter-muter mengurusi perlengkapan.

Meminjam proyektor, meminjam LCD, mengurus perijinan, dan kadang mencari makanan kecil. Acara biasanya dimulai setelah waktu sholat Isya berakhir.

Aku sangat ingat momen-momen hening ketika menjajal LCD dan menyimak film di sebuah ruangan besar milik jurusan tari di gedung F.

Atau momen-momen dimana aku stress dan gelisah berharap cemas menunggu para pengunjung acara pemutaran kami.

Acara dimulai saat jam menunjukkan pukul setengah delapan. Beberapa orang kadang datang, entah itu dari UKM lain maupun dari mahasiswa yang kebetulan lewat. Dan ironisnya, acara kami tersebut tidak terlalu diminati oleh teman-teman satu jurusanku.

Hingga di suatu titik aku bisa memahami mengapa  komunitas Bengkel Film  ini hanya beranggota 3 orang saja. 4 orang jika aku ikut dihitung.

Agenda acara kami terus berjalan, walau tidak terlalu rutin. Memutar film ditonton sendiri. Berdiskusi sendiri. Hingga pergi ke komunitas-komunitas film di kampus lain. Kadang aku sering ke UNS , UMS, Unisri, Sahid atau tempat-tempat di mana ada pemutaran film. Kecuali 21 Cineplex.

Jika ditanya darimana, aku akan menjawab dari Bengkel Film ISI Surakarta. Mereka biasanya kaget saat tahu di kampusku ternyata ada komunitas film. Dan di saat itulah aku perlahan-lahan belajar untuk bersosialisasi.

Aku berada di komunitas BF hampir satu setengah tahun, atau tiga semester. Sepertinya dari semester 2. Aku ingat betapa senangnya hati saat acara pemutaran kami mendapat pengunjung yang cukup banyak. Ya, baru cukup banyak.

Dan tengiknya, pengunjung itu malah dari kampus-kampus lain.

Teman-teman satu jurusanku di kampus? Tidak ada satupun. Ya nggak papa sih. Saat itu aku sudah sedikit belajar untuk 'tidak mempedulikan orang lain yang tidak mempedulikanmu'.

Selama satu tahun terakhir, acara terus berjalan bersama Mbak Thesa. Mbak Dara dan Mbak Tere saat itu sepertinya sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Mbak Thesa juga harusnya juga sibuk.

Namun saat itu entah kenapa Mbak Thesa masih aja mau nemenin aku muter film.  Mungkin kasihan sama aku. Atau mungkin rasa tanggung jawab dan dedikasinya terhadap komunitas yang ia kelola.

Walaupun penontonnya tidak seberapa. Untungnya Iklim dunia perfilman Solo saat itu sedang sangat terkoneksi satu dengan yang lain.

Jadi momen-momen depresi di kamar mandi menunggu penonton sudah jarang terjadi. Soalnya saat itu penontonnya sudah agak banyak dan masih ditambah soal aku yang sempat jatuh cintrong dengan admin komunitas film lain dari kampus sebelah. Hehehe

BF masih mengadakan acara nonton film seperti biasanya. Hanya saja kali ini  pengunjungnya sudah agak banyak. Bukan para makhluk tak kasat mata lagi. Dan kali itu, para pengunjung duduk melingkar di lantai.

Biasanya acara dibuka mbak Thesa. 
Namun kali ini tiba-tiba saja Mbak Tesa melempar umpan lambung yang sangat telak.

“ Terimakasih sudah datang di acara Bengkel Film, untuk kali ini mari kita dengarkan kata sambutan dari Em-Je! Sang calon ketua BF yang baru!”
Teriaknya dengan cablak.

"Prok...! Prok...!Prok...!"
Para pengunjung tepuk tangan.
Akunya tepuk jidat. Anjir, aku kaget. 
Apa-apaan ini.

Walau panik, malu, dan gugup, untuk saat itu untuk pertama kalinya aku belajar berbicara di depan khalayak ramai dengan sadar.

Bagaimana perfomaku saat itu? Uah, gatot, Mas. Gagap Total. Udah kayak ikan mas yang keluar dari aer. Megap-megap.

Begitulah, sejak saat itu namaku tiba-tiba saja tercatut sebagai posisi ‘ketua’ Bengkel Film. Tidak ada seremoni tidak ada pengangkatan. Pokoknya nempel gitu aja. Kayak perangko. Kayak aku saat PDKT sama kamu.

Mungkin karena di waktu-waktu itu aku yang kelihatan ribet wira-wiri dan main ke sana ke sini, akhirnya aku berpikir 'ya nggak papalah jadi ketua, wong anggotanya cuman 4 orang', dan begitulah awal mulanya aku belajar untuk berkomunitas, yang kelak momen ini benar-benar menjadi pondasi dasar karirku dalam berjejaring dengan banyak personal.

Lambat laun aku mulai belajar bersosialisasi. Berkenalan dengan orang baru. Kakakku yang kebetulan aktivis film indie pun ikut membantu publikasi apabila komunitas kami mengadakan acara.

Walhasil, saat itu aku cukup dikenal dan punya banyak teman baru di luar kampus.

Dan yah, walaupun di mata teman-teman satu jurusan, aku masih tidak memiliki banyak tempat di lingkungan sosial mereka. Beberapa orang memang diciptakan sebagai ‘remah-remah rengginang’ di semesta yang luas ini. Aku salah satunya.

Pelan namun pasti, komunitas BF mendapatkan nama. Sesekali masuk ke koran lokal. Aku bahkan sempat membuatkan akun Friendster untuk komunitas tersebut. Friendster cooy!!!! Yang profilnya bling-bling dan bisa kasih lagu!!!!

Titik puncaknya ialah saat kami membuat acara ulang tahun. 

Kami membuat pertunjukan di teater besar. Ada pemutaran film, pertunjukan musik, dan diskusi. Cukup megah, tentu saja dengan target penonton yang besar.
Acara itu memaksa kami untuk meminta bantuan beberapa orang, yang merembet ke banyak orang. Termasuk teman satu jurusanku.

Dan tiba-tiba saja mereka berkerumun untuk membantu acara kami? Banyak orang mulai berharap dengan komunitas ini.

Aku sedikit senang. Mungkin setelah  acara ini, Bengkel Film akan jadi tempat belajar yang menyenangkan. Setidaknya tempat ini bisa aku jadikan tempat untuk ‘membaur’ agar bisa diterima oleh teman-teman satu jurusanku.

Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Namun apa daya, keinginan konyolku untuk berbaur dengan teman-teman melalui BF, kandas dengan sangat telak.

Aku ingat betul. Saat itu kami rapat mengenai review acara pemutaran megah  ultah yang sukses kemarin itu di teater terbuka dekat masjid.

Aku dikelilingi teman-teman satu jurusan lintas angkatan yang sedang berbicara ke sana ke mari.

Mereka berbicara dengan bahasa rumit yang tidak aku mengerti. Hingga diskusi yang asing bagiku itu mengerucut  ke sebuah kesimpulan.

Aku tidak berkompeten sebagai ketua Bengkel Film.

Aku terkejut. Aku kaget. Well, hidup memang belum berpihak pada sang remah-remah rengginang untuk kesekian kalinya.

Dan, yah karena bukan ‘ketua’ Bengkel Film secara resmi (soalnya tidak ada seremoni dan tidak ada pengangkatan, lha gimana wong anggota aktifnya hanya 3 biji), sang remah-remah rengginang itu jadi memaklumi ucapan teman-temannya.

Pikiran memaklumi namun hati sakit hati sambil memaki.

Bagiku saat itu, pemuda nanggung  berhati lemah berusia 19 tahun, kalimat itu terlalu keras untuk seseorang yang sedang belajar bersosialisasi dan beranjak dewasa secara komunal.

Terlalu sadis untuk sesorang yang telah mengorbankan waktunya satu setengah tahun untuk ikut membesarkan komunitas tersebut.

Berbagai keluhan dan umpatan berkeliaran di pikiranku.

Hal-hal semacam  ‘Saat Bengkel Film yang dulu hampir mati kalian di mana?’,’ Jika kalian merasa berkompeten menjadi ketua, kenapa saat itu kalian tidak mengurusnya saja?’.

Kutelan mentah-mentah hingga hari ini.

Saat itu aku benar-benar sakit hati dengan semua orang-orang ‘kompeten nan pandai’ tersebut.

Setelah rapat tersebut hatiku remuk redam. Aku sudah muak dengan komunitas Bengkel Film. Rasa kesal itu aku tumpahkan kepada Mbak Thesa. Aku ingat apa yang aku curhatkan saat itu.

“Mbak, aku wis males Mbak karo BF! Aku bakal cabut! Yowislah ben dicekel cah-cah!”

Mbak Thesa yang saat itu juga melihat aku dikeroyok dan dihakimi, sepertinya juga maklum.

“Yowis, gak popo, santai wae Je!” katanya. She's save me with her slowly hug.

Dan sejak saat itu, aku sudah tidak pernah lagi mengurusi Bengkel Film. Jika ada teman-teman yang ingin mengadakan acara menggunakan acara Bengkel Film aku hanya menjawab ‘terserah kowe’, ‘sak karepmu’, dan ‘ya, ya, ya,’ lalu aku bakal menghilang dengan cepat, secepat saat 'kau ditagih utang tapi belum punya duit'.

Dan yah, ternyata aku memang tidak berkompeten menjadi ketua komunitas tersebut. Aku tidak setangguh Mbak Thesa dan kedua temannya.

Sudah hampir tidak ada pemutaran, diskusi berjalan sekenanya, info terakhir di tahun tahun penghujung aku berkuliah, katanya Bengkel Film  mau dijadikan UKM, dan perlahan komunitas Bengkel Film bergerak random lalu mati.

Bengkel Film sudah mati di pikiranku sejak saat itu. Namun ilmu yang diajarkan komunitas itu masih hidup hingga hari ini.

Walau sudah tidak mengurusi Bengkel Film, hubungan pertemananku dengan Mbak Thesa masih berjalan dengan baik.

Hingga pertemuan terakhir kali kami saat COD komik Proposal Untuk Presiden di depan Gramedia.

***

Dan hari ini. Setelah berhari-hari berpikir untuk menulis soal beliau, aku membuka lagi sejarah pesan singkat Mbak Thesa di aplikasi Whatsapp. Membaca semua chatnya dengan perasaan gamang.

Mataku tertuju ke banyak chat ketika aku menanyakan kabar, tentu saja setelah kami berpisah dari kampus, setelah sudah cukup lama tidak terkoneksi.

Latar belakang chat tersebut ialah mimpi aneh yang kualami saat tertidur. Saat itu tiba-tiba saja aku bermimpi bertemu Mbak Thesa.

Kami pergi berjalan-jalan ke sebuah tempat yang entah di mana. Namun yang pasti kami sangat senang sekali. Rasa senang itu terbawa sampai bangun tidur. Aku termenung.

Sudah sangat lama sekali aku tidak mendengar kabar Mbak Thesa, dan gara-gara mimpi ganjil itu, aku menanyakan kabar melalui pesan singkat di Whatsapp.

“Mbak Thesa, mambengi aku ngimpi dolan karo koe. Pie kabare? Sehat To?”

“Lagi loro Je. Iki seminggu obat jalan.”

“Ya Allah, loro opo koe Mbak? Semoga lekas sembuh!”

“Doane yo Je, pembesaran hati, tapi iki berangsur sembuh kok.”

“Duh, turut prihatin.”

“Biasa pola urip sik salah. Makanan dsb. Iyo Je, dongane mugo-mugo ndang mari.”

“Amin. Amin. Amin. Ndang Mari lan sehat, Mbak.”

“Amin. Iyo Je, Kudu. Kowe juga jaga kesehatan. Jo Kakean kopi, Begadang.”

“Sing penting ki air putih yo okeh, dan sing penting maneh, ojo spaneng kudu hepiiii.”

“Maturnuwun sarannya Mbak Thesa, lekas mari Mbak.”

Aku menulis  ulang chat tersebut di postingan ini dengan perasaan mengharu biru.

Aku merasa mempunyai banyak hutang. Aku masih berhutang uang 15.000, berhutang nongkrong di kafe untuk membicarakan masa lalu, dan Berhutang banyak ilmu soal berkomunikasi dengan orang baru.

Uang 15.000 masih ada di kantongku. Membicarakan masa lalu di kafe aku ganti di medsos melalui postingan ini.

hal pertama sudah tidak bisa diupayakan, namun untuk hutang yang terakhir, yakni hutang ilmu aku agak bingung.

Kata Mbak Tere, hutang ilmu cara membayarnya adalah meneruskan ilmu tersebut ke orang lain. Sejak aku bergabung dengan Bengkel Film, aku ikut mendirikan Komunitas Isi Solo dan Ikatan Komikus Solo. Semoga aktivitas berkomik di kedua tempat tersebut bisa disebut 'meneruskan ilmu ke orang lain'.

“Je! Em-Je!” Teriakan seorang perempuan mungil agak cempreng itu masih saja bergema dipikiranku. Halo, Mbak Thesa.
Terimakasih untuk pertemanan yang asik ini, damai dan selamat ngobrolin banyak hal dengan Gusti Alloh, nggih!.

Mujix
Seseorang yang mencoba mengabadikan  berbagai kepingan kenangan dengan tulisan.
Bogor, 24 Januari 2019