megamendungkelabu

Kamis, 24 Januari 2019

Halo, Mbak Thesa!

Beberapa tahun yang lalu dari hari ini.

“Je! Em-Je!” Teriak seorang perempuan mungil agak cempreng. Suara penuh kehangatan itu asalnya dari seseorang di depan gedung Toko Buku Gramedia Slamet Riyadi. Waktu belum beranjak terlalu malam, saat itu kurasa habis adzan Isya.

“Halo, Mbak Thesa!” Aku berseru dengan antusias. Dalam beberapa langkah aku sudah sampai di depan Mbak Thesa, seorang seniorku di jurusan Prodi TV dan Film kampus ISI Solo.

Beberapa orang memang memanggilku ‘MJ’ (dibaca Em-Je. Enggak pake Es-Te. Apalagi 12) inisial dari ‘Mujix’. Insiden panggilan MJ itu terjadi gara-gara saat makrab aku 'sok asik' mengenalkan diri dengan nama tersebut.

Kami bertemu dalam rangka COD buku komik ‘Proposal Untuk Presiden’. Mbak Thesa saat itu datang bersama temannya. Aku menyalaminya satu persatu sambil bertanya kabar.

Kami memang sudah jarang bertemu sejak lulus kuliah. Kehebohan kami saat ngobrol ternyata memantik rasa penasaran temannya Mbak Thesa.

“Emange, bocah iki apamu to, Thes?” Tiba-tiba tercetus sebuah pertanyaan lucu dari teman Mbak Thesa. Aku dan Mbak Thesa tertawa ngakak.

“Ngene lho, dadi  Em-Je iki ndisik ra nduwe konco jaman kuliah, mergo mesakne, ndangnu dek’e tak jak wae nguripke komunitas 'Bengkel Film' neng kampus” Jawab Mbak Thesa.

Asem, Dikasihani karena tidak punya teman di kampus. Aku sedih, namun  gimana ya, sebagian ada benarnya juga sih. Obrolan kami tidak berlangsung lama. Setelah berhahahihi ria, segera saja kuberikan komik yang ia pesan.

Mbak Thesa sepertinya cukup terkejut melihatku, juniornya di kampus bisa membuat buku komik yang (ehem) tersebar di toko buku nasional. Ia lalu menyerahkan uang  Rp.50.000. Aku bingung.

“Waduh, Mbak, aku gak nduwe susuk’e! Opo tak ijolne dhisek?” kataku.

“Rasah, gawanen dhisek wae. Santai!” ujarnya dengan bergegas menuju sepeda motor.

“Oh, Yowis, kapan-kapan kita nongkrong neng kafe ngobrolne masa lalu ya! Kali aja bisa aku pake buat ide di komikku terbaru” aku berkata dengan semangat.

“Oke, Je! Tengyu Lhoo! Aku pamit sik ya!!” Mbak Thesa pergi sambil melambaikan tangannya.

Dan saat itulah aku terakhir kalinya aku bertemu dengan Mbak Thesa. Senior paling ramah, cablak, gayeng yang paling aku hormati karena ‘mengajariku’ berbagai macam ilmu di masa lalu.

***

Seminggu  yang lalu dari hari ini. Aku terbangun dengan perasaan kusut. Langkah gontai beradu dengan ubin dingin di pagi hari sesudah shubuh. Seperti biasa, aku berjalan auto pilot ke kamar mandi untuk buang air sekalian mengambil wudhu.

“Atiku kok rosone, elek banget yo!?” batinku. Harusnya hari itu aku puasa. Namun karena perasaan buruk bergelayut tersebut, aku memilih membatalkan puasanya.

Beberapa jam kemudian, grup WA alumni kampus ramai dengan berita duka.

Sebuah kabar sedih yaitu soal Mbak Thesa yang baru saja meninggal dunia.

Hatiku tercekat. Kabar itu bagai banjir bandang yang membuat perasaanku terombang-ambing dalam kemuraman tak terdefinisikan.

Apakah keadaan perasaan buruk yang aku rasakan tadi pagi adalah pertanda?

Dan detik ini kurasa waktu yang tepat untuk membicarakan masa lalu sembari mengenang berbagai peristiwa saat bersama Mbak Thesa. Here we go!

***

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu dari hari ini. Sebuah masa OSPEK di ISI Solo pada tahun 2006. Perjumpaanku pertama kali  dengan Mbak Thesa ialah saat sesi perkenalan UKM dan komunitas kampus di ajang inagurasi penerimaan mahasiswa baru.

Mbak Thesa menjelaskan panjang lebar soal komunitas film yang ia kelola bersama teman-temannya. Sebagai senior yang berada di tiga tingkat di atasku, ia bersama teman-temannya terlihat sangat keren saat berbicara di panggung semegah itu. 

Saat itu aku hanya sekedar menyimak dan  acuh tak acuh karena sibuk menyiapkan banyak hal untuk kehidupan kampus yang penuh drama.

Kehidupanku di awal-awal kuliah memang penuh dengan drama. Mungkin.

Ya, hal-hal semacam ‘diabaikan teman satu jurusan, mencari pekerjaan tambahan buat bayar kuliah, peliknya menjalani romatisme kacau ala mahasiswa ansos nan introvert, hingga beberapa hantaman telak  lain dari hidup agar pemuda  ini bisa beranjak dewasa' kurasa pantas aku labeli sebagai drama masa muda yang menggelora.

Di antara banyak drama, diantara banyak orang yang sibuk dengan dirinya sendiri, sekonyong-konyong Sang Semesta mempertemukanku dengan Mbak Thesa, Mbak Tere dan Mbak Dara bersama komunitas BF. The life always have a magical solution when you are stuck.

Jadi buat yang belum tahu, BF adalah singkatan dari (tolong singkirkan pikiran kotor kalian, aku tahu itu) Bengkel Film.

BF ialah Sebuah komunitas film yang mewadahi mahasiswa-mahasiswa jurusanku( televisi dan film) untuk berkarya dan berdiskusi mengenai film. Keren ya!

Aku agak lupa bagaimana awal mulanya aku terlibat dengan komunitas tersebut, namun sejak saat itu, aku mencoba untuk  sering berinteraksi dengan mereka bertiga.

Hampir setiap hari Jumat, komunitas ini menjadwalkan untuk berkumpul. Saat bertemu untuk rapat BF, Ketiga senior itu membicarakan banyak hal, menggagas banyak hal. 'Aku mung ndomblong' sambil pasang muka 'ya, aku paham maksudmu'.

Walau hanya kadang datang sebagai pendengar, aku yang kesepian karena  merasa ‘hidup tidak berpihak padaku’ akhirnya seperti mendapat teman baru.

Selain berdiskusi, acara BF lainnya ialah memutar film. Setiap beberapa bulan sekali , BF memutar film karya banyak orang. Sepanjang siang hingga sore, aku, Mbak Thesa, Mbak Tere, dan Mbak Dara muter-muter mengurusi perlengkapan.

Meminjam proyektor, meminjam LCD, mengurus perijinan, dan kadang mencari makanan kecil. Acara biasanya dimulai setelah waktu sholat Isya berakhir.

Aku sangat ingat momen-momen hening ketika menjajal LCD dan menyimak film di sebuah ruangan besar milik jurusan tari di gedung F.

Atau momen-momen dimana aku stress dan gelisah berharap cemas menunggu para pengunjung acara pemutaran kami.

Acara dimulai saat jam menunjukkan pukul setengah delapan. Beberapa orang kadang datang, entah itu dari UKM lain maupun dari mahasiswa yang kebetulan lewat. Dan ironisnya, acara kami tersebut tidak terlalu diminati oleh teman-teman satu jurusanku.

Hingga di suatu titik aku bisa memahami mengapa  komunitas Bengkel Film  ini hanya beranggota 3 orang saja. 4 orang jika aku ikut dihitung.

Agenda acara kami terus berjalan, walau tidak terlalu rutin. Memutar film ditonton sendiri. Berdiskusi sendiri. Hingga pergi ke komunitas-komunitas film di kampus lain. Kadang aku sering ke UNS , UMS, Unisri, Sahid atau tempat-tempat di mana ada pemutaran film. Kecuali 21 Cineplex.

Jika ditanya darimana, aku akan menjawab dari Bengkel Film ISI Surakarta. Mereka biasanya kaget saat tahu di kampusku ternyata ada komunitas film. Dan di saat itulah aku perlahan-lahan belajar untuk bersosialisasi.

Aku berada di komunitas BF hampir satu setengah tahun, atau tiga semester. Sepertinya dari semester 2. Aku ingat betapa senangnya hati saat acara pemutaran kami mendapat pengunjung yang cukup banyak. Ya, baru cukup banyak.

Dan tengiknya, pengunjung itu malah dari kampus-kampus lain.

Teman-teman satu jurusanku di kampus? Tidak ada satupun. Ya nggak papa sih. Saat itu aku sudah sedikit belajar untuk 'tidak mempedulikan orang lain yang tidak mempedulikanmu'.

Selama satu tahun terakhir, acara terus berjalan bersama Mbak Thesa. Mbak Dara dan Mbak Tere saat itu sepertinya sedang sibuk dengan tugas kuliahnya. Mbak Thesa juga harusnya juga sibuk.

Namun saat itu entah kenapa Mbak Thesa masih aja mau nemenin aku muter film.  Mungkin kasihan sama aku. Atau mungkin rasa tanggung jawab dan dedikasinya terhadap komunitas yang ia kelola.

Walaupun penontonnya tidak seberapa. Untungnya Iklim dunia perfilman Solo saat itu sedang sangat terkoneksi satu dengan yang lain.

Jadi momen-momen depresi di kamar mandi menunggu penonton sudah jarang terjadi. Soalnya saat itu penontonnya sudah agak banyak dan masih ditambah soal aku yang sempat jatuh cintrong dengan admin komunitas film lain dari kampus sebelah. Hehehe

BF masih mengadakan acara nonton film seperti biasanya. Hanya saja kali ini  pengunjungnya sudah agak banyak. Bukan para makhluk tak kasat mata lagi. Dan kali itu, para pengunjung duduk melingkar di lantai.

Biasanya acara dibuka mbak Thesa. 
Namun kali ini tiba-tiba saja Mbak Tesa melempar umpan lambung yang sangat telak.

“ Terimakasih sudah datang di acara Bengkel Film, untuk kali ini mari kita dengarkan kata sambutan dari Em-Je! Sang calon ketua BF yang baru!”
Teriaknya dengan cablak.

"Prok...! Prok...!Prok...!"
Para pengunjung tepuk tangan.
Akunya tepuk jidat. Anjir, aku kaget. 
Apa-apaan ini.

Walau panik, malu, dan gugup, untuk saat itu untuk pertama kalinya aku belajar berbicara di depan khalayak ramai dengan sadar.

Bagaimana perfomaku saat itu? Uah, gatot, Mas. Gagap Total. Udah kayak ikan mas yang keluar dari aer. Megap-megap.

Begitulah, sejak saat itu namaku tiba-tiba saja tercatut sebagai posisi ‘ketua’ Bengkel Film. Tidak ada seremoni tidak ada pengangkatan. Pokoknya nempel gitu aja. Kayak perangko. Kayak aku saat PDKT sama kamu.

Mungkin karena di waktu-waktu itu aku yang kelihatan ribet wira-wiri dan main ke sana ke sini, akhirnya aku berpikir 'ya nggak papalah jadi ketua, wong anggotanya cuman 4 orang', dan begitulah awal mulanya aku belajar untuk berkomunitas, yang kelak momen ini benar-benar menjadi pondasi dasar karirku dalam berjejaring dengan banyak personal.

Lambat laun aku mulai belajar bersosialisasi. Berkenalan dengan orang baru. Kakakku yang kebetulan aktivis film indie pun ikut membantu publikasi apabila komunitas kami mengadakan acara.

Walhasil, saat itu aku cukup dikenal dan punya banyak teman baru di luar kampus.

Dan yah, walaupun di mata teman-teman satu jurusan, aku masih tidak memiliki banyak tempat di lingkungan sosial mereka. Beberapa orang memang diciptakan sebagai ‘remah-remah rengginang’ di semesta yang luas ini. Aku salah satunya.

Pelan namun pasti, komunitas BF mendapatkan nama. Sesekali masuk ke koran lokal. Aku bahkan sempat membuatkan akun Friendster untuk komunitas tersebut. Friendster cooy!!!! Yang profilnya bling-bling dan bisa kasih lagu!!!!

Titik puncaknya ialah saat kami membuat acara ulang tahun. 

Kami membuat pertunjukan di teater besar. Ada pemutaran film, pertunjukan musik, dan diskusi. Cukup megah, tentu saja dengan target penonton yang besar.
Acara itu memaksa kami untuk meminta bantuan beberapa orang, yang merembet ke banyak orang. Termasuk teman satu jurusanku.

Dan tiba-tiba saja mereka berkerumun untuk membantu acara kami? Banyak orang mulai berharap dengan komunitas ini.

Aku sedikit senang. Mungkin setelah  acara ini, Bengkel Film akan jadi tempat belajar yang menyenangkan. Setidaknya tempat ini bisa aku jadikan tempat untuk ‘membaur’ agar bisa diterima oleh teman-teman satu jurusanku.

Manusia bisa berencana, Tuhan yang menentukan. Namun apa daya, keinginan konyolku untuk berbaur dengan teman-teman melalui BF, kandas dengan sangat telak.

Aku ingat betul. Saat itu kami rapat mengenai review acara pemutaran megah  ultah yang sukses kemarin itu di teater terbuka dekat masjid.

Aku dikelilingi teman-teman satu jurusan lintas angkatan yang sedang berbicara ke sana ke mari.

Mereka berbicara dengan bahasa rumit yang tidak aku mengerti. Hingga diskusi yang asing bagiku itu mengerucut  ke sebuah kesimpulan.

Aku tidak berkompeten sebagai ketua Bengkel Film.

Aku terkejut. Aku kaget. Well, hidup memang belum berpihak pada sang remah-remah rengginang untuk kesekian kalinya.

Dan, yah karena bukan ‘ketua’ Bengkel Film secara resmi (soalnya tidak ada seremoni dan tidak ada pengangkatan, lha gimana wong anggota aktifnya hanya 3 biji), sang remah-remah rengginang itu jadi memaklumi ucapan teman-temannya.

Pikiran memaklumi namun hati sakit hati sambil memaki.

Bagiku saat itu, pemuda nanggung  berhati lemah berusia 19 tahun, kalimat itu terlalu keras untuk seseorang yang sedang belajar bersosialisasi dan beranjak dewasa secara komunal.

Terlalu sadis untuk sesorang yang telah mengorbankan waktunya satu setengah tahun untuk ikut membesarkan komunitas tersebut.

Berbagai keluhan dan umpatan berkeliaran di pikiranku.

Hal-hal semacam  ‘Saat Bengkel Film yang dulu hampir mati kalian di mana?’,’ Jika kalian merasa berkompeten menjadi ketua, kenapa saat itu kalian tidak mengurusnya saja?’.

Kutelan mentah-mentah hingga hari ini.

Saat itu aku benar-benar sakit hati dengan semua orang-orang ‘kompeten nan pandai’ tersebut.

Setelah rapat tersebut hatiku remuk redam. Aku sudah muak dengan komunitas Bengkel Film. Rasa kesal itu aku tumpahkan kepada Mbak Thesa. Aku ingat apa yang aku curhatkan saat itu.

“Mbak, aku wis males Mbak karo BF! Aku bakal cabut! Yowislah ben dicekel cah-cah!”

Mbak Thesa yang saat itu juga melihat aku dikeroyok dan dihakimi, sepertinya juga maklum.

“Yowis, gak popo, santai wae Je!” katanya. She's save me with her slowly hug.

Dan sejak saat itu, aku sudah tidak pernah lagi mengurusi Bengkel Film. Jika ada teman-teman yang ingin mengadakan acara menggunakan acara Bengkel Film aku hanya menjawab ‘terserah kowe’, ‘sak karepmu’, dan ‘ya, ya, ya,’ lalu aku bakal menghilang dengan cepat, secepat saat 'kau ditagih utang tapi belum punya duit'.

Dan yah, ternyata aku memang tidak berkompeten menjadi ketua komunitas tersebut. Aku tidak setangguh Mbak Thesa dan kedua temannya.

Sudah hampir tidak ada pemutaran, diskusi berjalan sekenanya, info terakhir di tahun tahun penghujung aku berkuliah, katanya Bengkel Film  mau dijadikan UKM, dan perlahan komunitas Bengkel Film bergerak random lalu mati.

Bengkel Film sudah mati di pikiranku sejak saat itu. Namun ilmu yang diajarkan komunitas itu masih hidup hingga hari ini.

Walau sudah tidak mengurusi Bengkel Film, hubungan pertemananku dengan Mbak Thesa masih berjalan dengan baik.

Hingga pertemuan terakhir kali kami saat COD komik Proposal Untuk Presiden di depan Gramedia.

***

Dan hari ini. Setelah berhari-hari berpikir untuk menulis soal beliau, aku membuka lagi sejarah pesan singkat Mbak Thesa di aplikasi Whatsapp. Membaca semua chatnya dengan perasaan gamang.

Mataku tertuju ke banyak chat ketika aku menanyakan kabar, tentu saja setelah kami berpisah dari kampus, setelah sudah cukup lama tidak terkoneksi.

Latar belakang chat tersebut ialah mimpi aneh yang kualami saat tertidur. Saat itu tiba-tiba saja aku bermimpi bertemu Mbak Thesa.

Kami pergi berjalan-jalan ke sebuah tempat yang entah di mana. Namun yang pasti kami sangat senang sekali. Rasa senang itu terbawa sampai bangun tidur. Aku termenung.

Sudah sangat lama sekali aku tidak mendengar kabar Mbak Thesa, dan gara-gara mimpi ganjil itu, aku menanyakan kabar melalui pesan singkat di Whatsapp.

“Mbak Thesa, mambengi aku ngimpi dolan karo koe. Pie kabare? Sehat To?”

“Lagi loro Je. Iki seminggu obat jalan.”

“Ya Allah, loro opo koe Mbak? Semoga lekas sembuh!”

“Doane yo Je, pembesaran hati, tapi iki berangsur sembuh kok.”

“Duh, turut prihatin.”

“Biasa pola urip sik salah. Makanan dsb. Iyo Je, dongane mugo-mugo ndang mari.”

“Amin. Amin. Amin. Ndang Mari lan sehat, Mbak.”

“Amin. Iyo Je, Kudu. Kowe juga jaga kesehatan. Jo Kakean kopi, Begadang.”

“Sing penting ki air putih yo okeh, dan sing penting maneh, ojo spaneng kudu hepiiii.”

“Maturnuwun sarannya Mbak Thesa, lekas mari Mbak.”

Aku menulis  ulang chat tersebut di postingan ini dengan perasaan mengharu biru.

Aku merasa mempunyai banyak hutang. Aku masih berhutang uang 15.000, berhutang nongkrong di kafe untuk membicarakan masa lalu, dan Berhutang banyak ilmu soal berkomunikasi dengan orang baru.

Uang 15.000 masih ada di kantongku. Membicarakan masa lalu di kafe aku ganti di medsos melalui postingan ini.

hal pertama sudah tidak bisa diupayakan, namun untuk hutang yang terakhir, yakni hutang ilmu aku agak bingung.

Kata Mbak Tere, hutang ilmu cara membayarnya adalah meneruskan ilmu tersebut ke orang lain. Sejak aku bergabung dengan Bengkel Film, aku ikut mendirikan Komunitas Isi Solo dan Ikatan Komikus Solo. Semoga aktivitas berkomik di kedua tempat tersebut bisa disebut 'meneruskan ilmu ke orang lain'.

“Je! Em-Je!” Teriakan seorang perempuan mungil agak cempreng itu masih saja bergema dipikiranku. Halo, Mbak Thesa.
Terimakasih untuk pertemanan yang asik ini, damai dan selamat ngobrolin banyak hal dengan Gusti Alloh, nggih!.

Mujix
Seseorang yang mencoba mengabadikan  berbagai kepingan kenangan dengan tulisan.
Bogor, 24 Januari 2019

Senin, 21 Januari 2019

Hari Di mana aku berusia 30 Tahun

Hari di mana aku berusia 30 tahun. Hari-hari di tahun ini adalah hari yang membingungkan. Dan sudah berjalan hampir setengah tahun. Aku (sepertinya) masih di titik yang sama.
Mempertanyakan banyak hal? Tentu saja.
Menyalahkan banyak hal? Sudah pasti.
Banyak hal yang harus aku benahi. Banyak sekali.
Doakan segera beres agar bisa melaju lebih kencang dan gagah berani menjalani hidup.

Mujix
Mencoba membuat banyak list dan mempertanggungjawabkannnya.
Bogor, 21 Januari 2019

Rabu, 09 Januari 2019

Hari Saat Kamu Tidak Ada


Saat tidak ada kamu, matahari masih datang menyapaku.

Saat tidak ada kamu, semua terus berjalan termasuk aku dan waktu

Saat tidak ada kamu, banyak wanita bilang hatiku sekeras batu

Saat tidak ada kamu, rasa cinta baru kadang datang namun malu

Saat tidak ada kamu, aku akan terus berjalan tanpa ragu

Mujix
Bogor, 9 Januari 2019

Selasa, 08 Januari 2019

Aku di ladang saat adzan berkumandang

Adzan berkumandang
Aku masih di ladang
Lembayung senja tak nampak
Terhalang kenangan akan anak

Ia kutinggal di tanah seberang
Demi sebongkah emas berwarna terang
Agar bisa kujual untuk sekolah
Agar bisa kujual untuk bersedekah

Adzan berkumandang
Hari sebentar lagi selesai
Aku akan segera pulang kandang
Untuk sekedar berdoa dan bersantai

Mendoakan aku
Mendoakan kamu
Mendoakan anakku

Hingga adzan kembali bermula
Kita masih belum bisa bersua

Mujix
Energiku terbatas.
Bogor, 8 Januari 2018

Sabtu, 05 Januari 2019

Ojo Gumunan

'Ojo gumunan', nasihat dari Sang Pencipta Jagad kepada komikus kribo yang lebai gara-gara diinbox tokoh idolanya.

Mugo-mugo lancar lan iso dadi dalan sing rodo padang.

Yo gumun lah, goro-goro komen thok ngerti-ngerti nginbox kon ngirim contoh gambar. Tapi wis kebacut heboh sih. Wuakakakak.

Hmmm, Ijek nunggu balesan. Beliau ngirim nomer WA tapi koyone salah ongko. Ra metu neng aplikasi. Asem. Dag dig dug ser.

Uwaaah, crito neng neng twitter kui penak tenan. Untung followerku sithik. Ora ono bom notifikasi. *ijek gumun

Ngoceh sak kesel'e (utowo hape mati) bar kui dihapus kabeh!

Wis ah. Wis ah. Yen ucul yo wis. Urung jodhone. Naksir urung karoan tresno. Tresno wae kadang urung karoan rabi. Wis ah. Wis.

Sudah mencoba terkoneksi via Whatsapp. Menunda untuk koar-koar atau printscreen barang bukti di medsos.

Mujix
Ijek deg-degan.
Bogor, 5 Januari 2018

Jumat, 04 Januari 2019

Tuhan itu...

Siang itu aku sedang menggambar. Mamak berada di kamar sedang sibuk mencoba menelfon adiknya. Adiknya mamakku, alias tanteku sedang ditimpa sedikit kemalangan. Anaknya sakit dan belum sembuh sejak hampir satu tahun yang lalu.

Bolak-balik mamakku mencoba menelfon namun tidak ada jawaban. Tidak ada suara apapun dan hening. Tiba-tiba saja suasana senyap siang itu dirusak oleh celetukan mamakku.

"Lha, si anu itu njaluk mari kok karo Yesus. Kudune ki karo Alloh!"

Aku yang sedang menggambar tiba-tiba keselek mendengar pernyataan kontroversial beliau.

"Hah!? Opone!? Piye-piye?!" Ucapku sambil membalikkan badan untuk memastikan pernyataan.

"Yho kui mau, kapan kae jarene si anu ki pendak wengi ki ndonga ben anak'e mari, nek nduwe penjalukan kui yo nyuwun karo Alloh. Dudu Yesus." Tukasnya lagi.

Mamakku memang lulusan SD. Jadi ada beberapa hal fundamental yang kadang perlu dimaklumi. Namun kali ini kayaknya beliau agak keterlaluan 'bercandanya'.

"Mak, asline aku prekewuh ngajari wong tuwo, tapi nek sing iki aku crito sithik soal Tuhan, yo!" Ujarku.

"Maksud'e?" Mamakku bingung.

Aku mengambil nafas panjang. Di kepalaku sedang menyederhanakan beberapa ilmu filsafat dan teologi yang selama ini aku pelajari agar bisa 'sedikit' meluruskan pemikiran mamakku.

Selasa, 01 Januari 2019

Hai, Tukang Ojek.

"Hai!" Terdengar suara anak kecil memanggilku yang sedang mengantri membeli sarapan di mamang-mamang tukang kupat.

Aku menoleh. Anak kecil itu lalu melanjutkan ucapannya dengan sangat tengil.

"... tukang ojek! Tolong anterin saya!"
Aku gondok. Bocah kecil itu tertawa puas melihat ekspresiku. Sial. Aku diam saja.

Ternyata trend ngegodain orang dengan kalimat 'Hai, Tukang ojek tolong anterin saya' dan 'Hei, Tayo! Hey Tayo!' Sedang sangat ngetren di Kota Hujan.

Beberapa kali aku dikecengin semacam ini. Mulai dari cewek-cewek ABG, ampe yang paling baru bocah kecil ini.

Bocah itu belum kapok, lagi-lagi ia memanggilku sama seperti beberapa saat yang lalu.

"Hai..."
Aku diem.

"Hai...!!"
Suaranya makin keras. Aku menoleh ke arah anak kecil berkemeja garis-garis itu.

Dan lagi-lagi...
"... tukang ojek! Tolong anterin saya!". Aku makin gondok. Dia tertawa lepas.

Piring ditangan aku letakkan di atas pagar beton. Aku mengambil napas panjang sambil berjalan pelan ke arah anak tengil itu. Seseorang harus memberinya pelajaran.

"Hai!!" Sapaku dengan wajah cerah ke bocah tersebut. Sepertinya ia kaget. Ia beringsut bersembunyi di punggung mamanya.

"Hai!! Namamu siapa?" Tanyaku yang ikut beringsut mengikuti gerakan bocah lucu itu. Mamanya diam saja. Sepertinya beliau membiarkan anaknya untuk belajar berinteraksi dengan orang asing.

"Halo!! Namamu siapa, dek!?" Tanyaku sambil mengelus kepala mungilnya.

Dengan malu-malu bocah itu menjawab pertanyaanku.

"Apay!" Sahutnya sambil kembali bersembunyi di balik punggung ibunya.

"Halo Apay!! Sini kenalan dulu. Namaku Mujix! Tapi teman-teman memanggilku Nicholas Saputra!" Kataku lagi.

Tanganku terulur ke arahnya. Ia diam saja dengan wajah agak panik dan malu-malu.

"Halo Apay, ayo salaman. Tadi kan Apay manggil-manggil aku!" Ucapku sambil tertawa.

Pelan-pelan tangannya menjabat tanganku. Ia senyum agak canggung. Mungkin Apay jarang mendapatkan respon agresif dari target yang ia goda dengan kalimat "Hei, tukang ojek! Tolong anterin saya!" Andalannya.

"Gituh, dong! Apay umurnya berapa?" Tanyaku lagi. Bocah itu makin panik. Kurasa 'waktu zona nyamannya untuk berinteraksi dengan orang baru' mulai habis.

"Lima tahun!!" Katanya sambil berlari ke arah gang dalam satu hentakan. Aku tersenyum puas di dalam hati.

Bocah bernama Apay itu memulai tahun baru dengan pelajaran baru. Pelajaran bernama 'kalo menggoda, bersiaplah untuk digoda'.

Dan hari ini pun aku juga memulai tahun baru dengan pelajaran baru. Nanti kalau ada cewek cantik lewat bakal kugoda dengan  "Hei, tukang ojek! Tolong anterin saya!".

Kalo beruntung, kali aja cewek cantik itu ngajak kenalan, tukaran nomer hape, ketemu orang tuanya, lalu kami berdua berakhir bahagia di kursi pelaminan. Hehehe.

Selamat tahun baru semuanya. Salam waras!

Mujix
Pria yang sedang mengerjakan komik cinta sambil melarikan diri sejenak dari dunia nyata.
Bogor, 1 Januari 2019