megamendungkelabu

Minggu, 31 Maret 2019

Rumah Sakit

Rumah sakit adalah tempat dimana tabung infus tergantung. Ia mengalirkan cairan ke dalam tubuh yang tengah kurang sehat melalui selang berwarna putih. Tetes demi tetes yang jatuh dari tabung menuju selang bagai detik jam nyawa bagi penggunanya, bagiku yang hanya dapat menyaksikan sebagai penjenguk juga seperti itu. Seperti cemas yang mengalir bagai sendu sedan.

Rumah sakit adalah tempat dimana Tuhan banyak disenandungkan penghuninya. Simbahku selalu menyebut 'Gusti' saat perutnya meradang dikarenakan sakit kangker usus besarnya. Aku ingat, nama 'Allah' juga terselip diantara tangisan pasien di ruangan sebelah, saat ibu mereka terpaksa meregang nyawa karena tak bertakdir baik dengan rumah sakit ini.

Mujix
Terimakasih hidup untuk ilmu yang kau ajarkan hari ini, aku siap menghadapi hari esok dengan penuh antusias
Simo, 31 Maret 2019

Sabtu, 30 Maret 2019

Soal Pencapaian Berkarya

Siang itu aku sedang berbincang dengan seorang teman kuliah, sebut saja Agung dan satu teman baru. Usai perkenalan obrolan meluncur hangat dan melompat ke sana ke mari, lalu tiba-tiba Agung menyinggung soal karyaku yang kemarin dipamerkan di London. Aku hanya menjawab seperlunya. Toh bagiku, pameran diberbagai tempat adalah sebuah keniscayaan saat aku memiliki karya.

And then, Belum sempat obrolan tersebut selesai, teman baruku ini sekonyong-konyong bertanya dengan antusias.

"Wah, karyane tekan London nggenah entuk duit akeh nuh, Mas!?"

Aku tertegun. Pikiranku bergejolak seakan mau muntah karena ingin segera 'menghajarnya' dengan semua penjelasanku soal pencapaian berkarya, pentingnya berproses dan uang bukan segalanya (tapi sangat penting, everybody knows).

Sebelum meledak, aku mencoba mengatur napas. Tenang, Jix, tenang. Mindfullnes Budhist ala Ajahn Brahm yang aku pelajari ternyata cukup berguna di saat-saat seperti ini. Beliau bertanya soal uang. Dan aku secara tidak langsung harus berbicara dari sudut pandang finansial.

"Mas." kataku sambil menahan kata demi kata. Waktu berjalan lambat. Kok bisa? Karena aku sedang memilih kata yang pas dan mencoba menyamakan pola pikir dengan teman baruku ini yang sepertinya sangat 'money oriented' sekali.

"Promosi! Biaya promosi! Bayangkan saja kamu bisa mempromosikan karyamu di wilayah baru" kataku perlahan.

Saat aku mengatakan kalimat tersebut, entah kenapa aku bisa membaca gelagat yang ia tunjukkan. Gelagat yang aku tangkap dari dia kurang lebih ialah 'Oh, jadi gak dapat banyak uang!'. Semoga saja tebakanku salah. Namun sepertinya tidak. Darimana aku tahu? Tentu saja dari sikap dan bagaimana ia berbincang.

Namun aku masih mencoba melanjutkan apa yang ingin aku katakan.

"Yah, setidaknya aku dapat nama, terus..."
Kalimat tersebut tidak aku selesaikan. Semua gestur dan raut muka teman baruku itu menunjukkan penolakan untuk perbincangan lebih mendalam.

It's oke. Langsung aku alihkan ke pertanyaan yang menurutku ia sukai. Yah, anggap saja sebagai etika yang baik untuk menyenangkan orang lain sebelum aku bergegas pergi.

"Jadi gimana... bla.. bla..bla.."
Dan ia langsung menjawab dengan antusias. Berbicara ke sana ke mari. Aku menanggapinya dengan formal. Setelah kurasa cukup perbincangannya, aku segera berpamitan pulang.

Di sepanjang perjalanan pikiranku mencoba mencerna apa saja baru saja terjadi. Berkontemplasi. Menimbang, dan beradu argumen dengan diri sendiri. Semua perenunganku kali ini mengerucut menjadi beberapa ilmu tentang kehidupan.

Dan ilmu tersebut bernama 'rasah dipikir abot nek wong liyo ora nggagas lan ora mudeng karo opo sing mbok karepke!'.

Dan, btw, maaf, hingga hari di mana tulisan ini tertulis, aku lupa NAMA teman baruku tersebut. Ternyata sikap yang baik dan saling menghargai itu penting. Dan mungkin jika ia memberiku sedikit 'ruang' untuk berbincang, aku mempunyai sedikit motivasi untuk bukan hanya sekedar mengingat namanya, namun juga masuk ke list 'Teman Baru Yang Menyenangkan Bulan Ini', wkwkwkkw.

Alah, gak gablek duwek akeh wae, gayane ngomongne pencapaian, koe Cak!

Mujix
Don't stop me now
Purwosari,  26 April 2019

Adzan adalah Penanda Waktu

Adzan adalah penanda waktu. Penanda bahwa hidup masih dipelukmu. Mungkin suara adzan terdengar pilu. Namun tak sepilu tangisanmu saat menahan kelu. Teruslah bernafas dalam sendu. Percayalah bahwa semua ini akan berlalu.

Mujix
Sedang menunggu nenek yang sakit
Simo, 30 Maret 2019

Jumat, 29 Maret 2019

Semuanya Berjuang

Semuanya berjuang. Semuanya berusaha semampunya menjalani hari ini. Aku juga, mas-mas penjual es buah yang kulihat dari balik jendela bis itu juga tak mau kalah. Tak ketinggalan simbahku yang saat ini sakit. Beliau berjuang sebisanya untuk sembuh, walau harus menangis dan mengeluh menahan sakit.

Kata orang bijak, hasil dari sebuah perjuangan selalu sesuai. Tak lebih, tak kurang. Banyak yang bilang itu hukum karma. Apa yang kamu unduh adalah apa yang dulu kamu tanam. Baik dan buruk. Aku menulis ini untuk menyemangati diri sendiri yang mulai sedikit kelelahan berjuang. Semoga apa yang semua orang perjuangkan memberikan hasil yang terbaik.

Terbaik di mataku, terbaik di hidup kamu, terbaik di dunianya, dan terbaik di hadapan semesta. Amin.

Mujix
Fighting people who lose his control because life sometimes not fair.
Simo, 29 Maret 2019.

Rabu, 27 Maret 2019

Simbah Sedang Sakit

Simbah sedang sakit. Sakit yang teramat sangat. Darimana aku tahu? Dari erangan beliau yang bergema setiap saat. Nada dan suara dari simbah selalu membuat hatiku tercekat.

Penderitaan, aku sebagai manusia, memandang semua hal yang beliau alami adalah penderitaan. Ujian, penebusan dosa, pemurnian, penghapusan karma buruk, pendapat lainku jika aku seorang penganut agama.

Apapun itu. Rasa sakit yang diderita simbahku sangat nyata. Beliau sakit, aku dan keluargaku juga ikut sakit. Yang bisa dilakukan saat ini adalah berdoa dan ikut merawat simbah. Berdoa agar segera sembuh. Amin

Mujix
Sedang bingung
Simo, 28 Maret 2019

Selasa, 12 Maret 2019

Waktu Yang Sempurna

Saat itu pagi jam setengah delapan, sudah banyak pembeli berlalu lalang di warung kami. Aku sudah bangun dan tengah menyeduh teh hangat di dapur depan pintu. Sekedar kalian tahu, Teh hangat itu aku bawa dari 'Jawa', kalau kata orang Bogor. Dua merk teh tubruk aku campurkan menjadi satu agar mendapat citarasa kampung halaman yang kadang merasa butuh untuk dirindukan.

Mataku memandang ke sekeliling. Mamak tengah melayani pembeli yang butuh daun bawang, sawi, bayam, cabe atau apapun. Sesekali terdengar tawa renyah dari mereka. Bapakku tak tampak, jam segini ia biasanya lari-larian di taman belakang kampung. Aku juga terkadang lari-larian, atau bahasa gaulnya 'jogging', namun itu akan terjadi jika waktu sudah beranjak ke sore hari.

Teh hangat sudah terseduh, uap hangat dari gelas tersebut menyentuh tanganku yang kedinginan karena habis mandi. Mandi di pagi hari itu bagus untuk kamu yang 'ngantukan'. Mandi di pagi hari bagus untuk kamu yang ingin menikmati sedapnya teh hangat.

Aku beranjak ke meja yang terletak di tengah warung. Dari tempat ini aku bisa memandang luas sampai ke segala sudut. Di sampingku atau tepatnya di etalase lemari kaca depan warung, tersedia banyak makanan. Langsung saja aku comot beberapa martabak dan buras. Martabak yang buat adalah Encik, ibu-ibu paruh baya etnis Tionghoa yang pandai memasak berbagai makanan. Nah kalau buras, yang bikin bapakku. Bapakku menangani buras dan gorengan.

Selain martabak dan buras, di etalase itu ada kue hijau atau talem, buatan Teh Lenny. Camilan ini paling laris di warungku. Semacam lapis berwarna hijau namun diisi santan. Rasanya manis. Ada pula bakpao isi kentang milik Bu RW. Etalase itu seperti Indonesia. Bermacam-macam isinya namun berada di tempat yang sama.

Sesekali aku melongok ke luar, terkadang aku tiba-tiba ngidam sarapan bubur ayam. Dan tengilnya, lokasi tempat berjualan bubur ayam itu terhalangi oleh spesies brengsek bernama manusia yang punya mobil tapi gak mau bikin garasi. Aku berjanji jika suatu saat bisa beli mobil, aku akan membuat garasi terlebih dahulu. Apabila pandangan terhalang, aku biasanya berjalan beberapa langkah untuk memastikan ada tidaknya ceret tempat wadah teh. Jika ada, berarti penjual bubur itu tengah berniaga. Jika tidak, ya sepertinya aku akan sarapan buras 3 potong.

Aku selalu mengawali hari dengan aktivitas yang sempurna seperti ini. Minum teh hangat sambil makan camilan, dan mungkin apabila sudah hari jumat atau sabtu bakal ditemani komik baru di situs manga on line. Waktu yang sempurna adalah saat ini, dimana semua hal di sekitarmu bisa menyatu di sebuah dimensi bernama kebahagiaan dan rasa syukur.

Mujix
Sedang berada di tempat yang sama. Namun di masa yang berbeda. Situasi terkini warung tersebut sangat berantakan, karena kami memutuskan untuk pindah/ pulang ke Rumah. Apakah masih waktu yang sempurna? Tentu saja.
Bogor, 12 Maret 2019



Minggu, 03 Maret 2019

Tukang Tahu Asongan

Siang hari ini sangat panas. Debu dan asap mengepul memaksa masuk ke paru-paru setiap manusia. Rasanya sangat memuakkan, para ahli bilang, hal seperti ini yang sering mereka istilahkan sebagai 'radikal bebas' yang katanya bisa merusak kesehatan.

Namun bukan hal se-ilmiah itu, yang ia,  sang penjual asongan pikirkan, belum (dan mungkin) gak akan sampai hadir di benaknya.

Perasaan muak tersebut muncul karena harus ada uang yang ia cari, namun sialnya, kenyataan tak memberi ruang diri. Semua orang butuh uang, Thomas Alfa Edison pun tahu hal semacam itu. Namun satu hal yang mungkin belum diketahui Thomas Alfa Edison, sang penjual asongan itu sedang sangat lelah baik secara fisik maupun batin untuk mencari uang.

Beberapa kali bis besar datang. Semuanya ia biarkan hilang. Rasa pengap kabut asap kendaraan bercengkrama akrab dengan tahu kempong, kacang goreng, arem-arem, dan keripik usus yang baru laku beberapa biji. Melihat benda-benda itu masih bertumpuk di pundak, benar-benar membuatnya gamang. Ia berpikir, mungkin beban hidup seluruh makhluk bernama manusia sengaja dianugrahkan padanya siang ini.

Dari kejauhan muncul bis besar Agra Mas. Rasa malas masih bergelayut. Namun asa menolak untuk berdiam diri. Seutas senyum kecut ia torehkan di muka berkeringat nan hitam kecoklatan karena sinar matahari. Ia mengela nafas dan berdiri. Sandal jepit merk Swallow menjadi saksi bahwa ia masih ingin merubah hidup.

Bis tersebut berhenti perlahan di lampu lalu lintas yang berwarna merah. Agak sumringah juga melihat banyaknya penumpang di dalam. Ada sedikit rasa gembira saat membanyangkan jika barang dagangannya laris manis di dalam bis tersebut. Pria paruh baya itu berjalan pasti menuju sarang rezekinya. Ia menyebrangi jalan sambil memantapkan harapan. 

Tak lama berselang ia sudah sampai di depan bis besar tersebut. Diketoknya pintu supir, sambil memberi kode bahwa ia ingin masuk ke dalam bis untuk berjualan. Namun tak ada respon. Diketuknya lagi dengan lebih keras. Tak ada pintu terbuka. Hanya ada tatapan sinis dari kondektur dan sikap acuh tak acuh sang sopir.

Saat si penjual asongan ingin mengetuk pintu tersebut untuk terakhir kalinya, lampu lalu lintas berubah warna. Dari merah ke kuning. Bis tempat rezeki bersarang itu bergerak perlahan. Rasa kecewa menyembur dari dalam sanubari. Penjual asongan itu menggenggam jarinya dengan sangat erat. Menahan rasa putus asa kala bis tersebut meninggalkannya dengan penuh kepastian.

Pria paruh baya penjual asongan itu termenung di tengah jalan yang penuh asap dan kendaraan berlalu lalang. Yah. Mungkin memang belum rezeki, begitu pikirnya.

Mujix
Sedang berada di Bogor
Merapikan buku hutang milik mamak dan mencoba berbaik sangka terhadap hidupku hari ini.
Bogor, 9 Maret 2019

Jumat, 01 Maret 2019

Berita Gembira

Ingin mengabarkan berita gembira, jadi komik buatanku ini sudah berkelana ke beberapa negara sejak beberapa tahun yang lalu. Dan tahun ini, komik tersebut akan berpameran di London Book Fair.

Salah satu rahasia kecil dari komik 'Proposal Untuk Presiden' ialah, karya ini aku buat dengan menggunakan ilmu yang aku dapat dari prodi TV dan Film ISI Solo.

Mata kuliah 'Penulisan naskah', 'Penyutradaraan', 'Dramaturgi', 'produksi film fiksi' dan ilmu-ilmu lain yang selama ini aku pelajari saat kuliah ternyata sangat membantu dalam bertutur di media komik.

Terimakasih atas pengetahuan yang berlimpah, kampus Prodi TV dan Film ISI Solo.

Di karyaku selanjutnya, aku akan menggunakan lokasi dan setting kampus tersayangku ini sebagai penghormatan. Jadi tolong jangan tersinggung ya, jika suatu saat beberapa orang dari grup ini muncul sebagai karakter di komikku yang baru. Salam hangat.

Mujix
Tuhan, tolong lindungi aku dari perbincangan dan obrolan menjebak yang berujung ke penyesalan serta kekecewaan.
Simo, 28 Februari 2019

Dunia yang jauh

Dunia yang jauh
Sesuatu yang tak tercapai
Seperti uap embun
Yang hilang di siang hari
Rasa penat saat itu
Masih ada hingga kini
Tak tahu malu
Membuatku mati

Mujix
Terus bergejolak
Simo, 2 Maret 2019