Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2016

27.11.2016

Duck face. Sempat menjadi sebuah tren di kalangan muda-mudi beberapa tahun yang lalu . Caranya mudah, kamu cukup berfoto dengan me-monyong-kan bibir agar terlihat seperti paruh bebek. Cara berfoto yang konyol,  pikirku saat pertama kali melihat tren tersebut. Dasar bego! Mau-maunya bergaya seperti 'binatang' demi mempertahankan eksistensi diri. Aku enggak akan berfoto dengan gaya parah seperti itu. Berbagai foto duck face sempat hilir mudik di beranda Facebook-ku. Terkadang nongol di postingan paling atas, iya yang suka mepet 'kolom untuk membuat status' itu. Melihat banyak penampakan 'foto muka bebek' itu akhirnya menjadi rutinitas saat berselancar di jejaring sosial. Kalau yang berfoto cewek yang  wajahnya ' wagu', biasanya aku hanya terkekeh sambil membatin ' ora patut! Nyemplung laut wae!'. Kalau yang berfoto cewek lumayan bohay, paling mendengus sambil membatin ' hmmm, lumayan'. Nah, kalau yang berfoto duck face itu seorang cowok,...

Kang Tibi

Di desaku ada orang gila. Orang-orang memanggilnya Kang Tibi. Nama tersebut sering 'dicatut' oleh ibu-ibu di lingkunganku untuk menakut-nakuti anak-anaknya yang nakal. Aku sebenarnya iba terhadap Kang Tibi, sudah gila dijadikan momok pula. Kasihan juga anak-anak di lingkunganku itu, tanpa tahu Kang Tibi itu 'apa' atau 'siapa',  tiba-tiba ibunya menciptakan sosok seseorang yang harus ia takuti. Ibu dari anak-anak yang berada di lingkunganku itu juga lebih kasihan. Entah karena sudah hilang rasa, hilang logika, atau memang sudah kebelet pengen boker , hingga mereka dengan entengnya mencatut harkat martabat seseorang untuk dijadikan pelampiasan. Tapi sebenarnya ada yang lebih patut dikasihani daripada Kang Tibi, anak-anak itu, atau ibu dari anak-anak di lingkunganku. Memang siapa yang lebih patut dikasihani lagi? Aku. Penulis tulisan ini yang hanya bisa mengeluh mengenai orang gila yang dijadikan momok oleh para ibu untuk anak-anaknya. Jadi, siapa sebenarnya ya...

Anak Kecil

Aku capek. Beneran. Liburan singkat ke Pantai Sadranan Jogja kemarin seakan-akan menjadi titik puncak rasa lelahku. Pantai. Iya pantai. Pantai Sadranan dan teman-temannya adalah pantai terbagus yang pernah aku temui. Pemandangannya komplit. Pantai, laut, bukit, batu karang, hingga langit yang luas semua ada di sana.    Cuman kurang satu. Enggak ada cewek blonde pake bikini. Adanya ibuk-ibuk paruh baya yang menyewakan tempat berteduh (di bawah pohon entah apa namanya, semacam nanas gituh) seharga 20K. Aku dan beberapa teman berangkat dari Solo pukul 08.00 WIB. Kami mengambil rute dari Klaten, Cawas, Semin, lalu ke Wonosari (tolong maafkan kalau aku salah nulis rute atau nama daerahnya) sebelum akhirnya sampai di Pantai Sadranan. Perjalanan menuju lokasi membutuhkan waktu 4 jam. Plus nyasar beberapa kali. Setelah tanya sana-sini sampailah kita di Pantai Sadranan. Silau abis. Itu yang kurasakan pertama kali saat memandang lautan lepas di siang hari. Bau amis dan angin berasa ...

Jarene Pakne Thole

Dadi wong a pik kui angel. Salah sithik iso kepleset dadi wong elek. Ati kui koyo koco. Gampang pecah lan kudu ati-ati nggowone. Urip kui nek iso koyo'o rayap neng tembok kamarku. Mbangun  omah munggah terus sak kuate sak tekane. Nek omah'e dirusak tangane uwong, gaweo omah maneh. O jo nyerah. Nek kowe nyerah, kowe kalah karo rayap. Jeno kalah yo gak popo sih, soale rayap kancane akeh. Lha kowe mung dhewekan. Nek bejo yo paling diewangi karo Gusti Sing Ngecet Lombok. Nek bejo. Nek ora bejo yo urusono dewe, Le! Mujix Ikan Lele-nya ada di termos. Dia taruh di situ biar aku (sama simbah, mungkin) enggak ikutan makan. Sial. Lelucon semacam ini yang harus aku temui sepanjang hari. Simo, 14 November 2016

08.11.2016

Sedang berada di masa sulit, dan ingatanku kembali ke masa saat aku belajar berenang di sebuah sungai pinggiran desa, dan maaf aku lupa nama sungainya. Bagi para orang tua, sungai itu adalah salah satu tempat yang tidak boleh didatangi. Karena orang tuaku berada di Bogor, maka kau tahu sendirilah. Aku pergi ke sungai itu dengan niat ingin berenang, atau lebih tepatnya ingin main air. Tentu saja aku memilih di pinggir sungai yang dangkal. Lepas baju dan sotoy bergaya seolah telah menjadi perenang handal. Secara umum kelompok anak-anak dibagi menjadi dua. Ada yang berenang di pinggiran sungai dan ada yang berenang di tengah sungai. Mereka yang berada di tengah sungai adalah perenang kelas wahid. Selain areanya yang lebih luas, wilayah di tengah sungai memiliki dua batu agak tinggi mirip bukit yang bisa digunakan untuk melompat. Ya, melompat ke tengah udara dan meluncur langsung ke tengah sungai. Terkadang muncul rasa iri karena tidak bisa ikut bergabung untuk meluncur dari dua batu t...

Tangan Kanan.

Aku mengetik tulisan ini dengan tangan kanan, itu adalah sebuah kenyataan yang paling dekat di kehidupanku detik ini. Selain mengetik terkadang aku menyambar gelas berisi teh untuk mengobati rasa haus, dengan tangan kanan, tentu saja. Menggambar komik. Mengendarai motor (pinjaman). Menuntun Gantar menuju ke warung untuk membeli entah apa. Dan aku masih bisa menyebutkan ratusan aktivitas lain yang harus menggunakan tangan kanan. Namun untuk dua menit sebelumnya aku terpaku memandang tangan kanan orang lain. Orang yang tidak sengaja aku temui di wedangan di depan Gramedia Solo. Beberapa hari ini hidupku sangat menyebalkan. Semua sebab sudah aku hapal di luar kepala. Kasih ujian dadakanpun aku berani. Beberapa permasalahan pekerjaan, perasaan dan kondisi tubuh yang kurang bugar akhirnya berhasil 'mengalahkan' aku. Dengan telak! Dan seperti manusia pada umumnya, akhir-akhir ini aku selalu bermuka masam seperti Squitward dan selalu mengeluh seperti Smurf Gerutu. Semuanya tamp...