Langsung ke konten utama

Ayam Bakar dan Somasi Tidak Percaya

Pagi ini aku dan adikku ke Pasar Simo untuk mengisi perut atau mencari lauk. Jangan tanya lauk apa, soalnya bingung belum pegang uang juga. Setelah dari ATM mengambil uang,  bergegaslah kami menyusuri jalan pagi di daerah Simo untuk mencari sarapan. 

Incaranku adalah Soto Madura dekat jembatan. Sebuah warung baru yang kebetulan aku lihat sekilas saat sarapan pekan lalu. 

"Nah kae, Wan warung'e!" kataku, dia segera membleyer motor untuk menyebrang. 

"Woy,  rasah nyebrang!  Kae lho cedak,  mobil!?" kataku sambil menepuk pundaknya. 

"Piye,  sih!? " katanya dengan menggerutu.  Moodnya sedang jelek. Dalam sekejap kami tiba di depan warung tersebut. 

Mataku menatap keadaan warung tersebut. Ada beberapa orang. Ruangannya sempit. Suasana terlihat kumuh. Ah, moodku juga ikutan jadi jelek. 

"GAS WAN!!  MAJU TERUS!!  RA PENAK NGGO NONGKRONG!! " kataku sambil menepuk pundaknya lagi. 

"PIYE SIH!!!? " teriaknya dengan penuh emosi. Dan mak jegagik motor kami melaju lurus ke depan. 

"Trus saiki meh mangan, opo!?" tanyanya. 
"Embuh" jawabku datar. 

Emosinya makin memuncak. Akhirnya kamu malah putar balik. 

"Wis mulih ae lah!" dampratnya. Aku mati-matian menahan tawa. Kami akhirnya memutuskan untuk pulang. Setelah berjalan beberapa saat aku melihat warung besar menu ayam bakar. 

"WAN MANDEK WAN!!  TUKU AYAM BAKAR AE GO LAWUH?! " teriakku panik. 

Sepeda motor kami berjalan menuju ke trotoar depan warung. Aku segera masuk ke teras sambil clingak-clinguk,  

"Kok sepi amat udah buka belum nih!? " pikirku bingung. Sesaat kemudian munculah ibu-ibu pake jilbab bermake up tebal. 

"Buk, Ayam bakar setunggal! Dibungkus mawon,  nggih!? " ucapku dengan lantang. 

Beliau langsung mempersiapkan pesananku tanpa banyak tanya. Aku duduk di kursi plastik merah sembari melihat keadaan sekitar. Pikiranku menerawang jauh. 

Ibu-ibu pake jilbab bermake up tebal sang penjual ayam bakar sudah menyelesaikan pesananku. 

"Pinten,  Buk?" tanyaku. 
"Rolas ewu, Mas!" jawabnya. Hee,  harganya turun,  kah? Biasanya kalau aku beli kena tarif normal Rp. 15.000.

Aku langsung mengulurkan uang berwarna merah bergambar Bung Karno dan Bung Hatta. Sang ibu-ibu pake jilbab bermake up tebal penjual ayam bakar mukanya langsung jutek. 

"Gak ono sing cilik,  Mas? " keluhnya.
"Mboten enten ki,  Buk! " tukasku sambil tertawa kecil. 

"Yowis,  gawanen sik ae, Mas!" ucapnya lagi. "Oh,  nggih maturnuwun, mengkih kulo mriki malih,  Buk" ucapku sambil siap keluar toko. 

Setelah ini mungkin aku bakal ke minimarket untuk membeli sesuatu sambil menukarkan uang. 

Baru beberapa langkah melangkahkan kaki, si ibu-ibu pake jilbab bermake up tebal tiba-tiba berteriak dengan muka masam. 

 "Wis, endi mas duite!!" 
Heh!? Aku menoleh bingung. Ia menyambar uangku cepat sambil menatapku penuh dengan ketidakpercayaan. 

Aku hanya tersenyum kecut dan menunggu kembalian. Ia kembali dengan membawa uang receh. Aku berlalu dari warung itu tanpa menerima ucapan terimakasih. "Warung koyo telek!"  Batinku. 

Di sepanjang perjalanan pulang aku mencoba berpikir untuk memahami apa yang terjadi. Secara garis besar aku menemukan sebuah kesimpulan kasar. 

Intinya, aku ternyata memenuhi kriteria sebagai golongan 'pembeli yang bakal kabur gak bayar' di mata sang ibu-ibu pake jilbab bermake up tebal penjual ayam bakar. 

Kalau boleh jujur,  aku tersinggung dan sangat kecewa dengan pelayanan warung ayam bakar tersebut. Yah mungkin aku bukan pembeli yang memesan ribuan kotak untuk hajatan. Namun tetap saja,  aku adalah seorang pembeli. Sudah menjadi hak (atau mungkin kewajiban)  seorang pembeli untuk dilayani sebaik mungkin. 

Karena secara tidak langsung,  pagi itu aku diutus oleh Tuhan untuk menjadi jalan rezeki sang ibu-ibu pake jilbab bermake up tebal. Yo mosok, mbok ngonokne,  to Mbokdeeee mbokdeee!? Mengko yen Gusti Alloh nesu sing kewirangan yo sampeyan. 

Aku tidak sampai hati untuk mendoakan hal-hal yang jelek. Yowis ra popolah, anggap saja peristiwa ini sebagai pelajaran 'How to treat your client with love for your better bussiness' dari semesta. Well,  suka enggak suka aku emang mendapatkan ilmu dari peristiwa sialan ini sih. Jancuk tenan,  kon raine mbokde-mbokde kae mau! 

Mujix
Dan ternyata harga ayam bakar tersebut bukan Rp. 12.000, bro!  Tapi Rp. 18.000!! Apakah ini karena dampak pandemi ya? 
Simo,  4 Desember 2020

Postingan populer dari blog ini

Si Eja is Back!!

Tuyul kecil yang bernama Eja. suka menggelinding kemana-mana. kebiasaan terupdate dari si Tuyul ini adalah suka nyiumin knalpot sepeda motornya kakakku. iya, dia SUKA NYIUMIN KNALPOT.  makanya kalo motor abis di pake biasanya si Eja di buang dulu entah kemana. Abis nangis, soalnya dia suka gak terima kalo tiba-tiba di jauhin dari knalpot motor yang abis di pake. kasihan kan kalo ngemut knalpot panas, mending doi ngemut kerupuk atau ngemut dada ibunya saja (netek maksudnya -___-a). oh iya, kerupuk ini biasanya cuman di emut doang, jarang dimakan, kalo sedang gak mood si kerupuk cuman diremuk-remuk pake tangan. adegan 'meremuk kerupuk' itu ngingetin sama monsternya Ultraman saat menghancurkan gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo. sama-sama Brutal!!! adegan ini setidaknya menjelaskan bahwa Si Eja suka di kelitikin perutnya pake kepala bapakku yang botak. mungkin si Eja merasa geli-geli anget gimana gitu kali yaaa. adegan paling lucu yang bisa bik...

Laporan harian:)

Setelah berteori ria tentang makna MANUSIA dengan mas roso di postingan kemarin, sekarang saatnya melaporkan banyak hal yang terjadi dua mingguan kemarin. Hari ini adalah hari ke 25 di bulan mei, masih saja panas, terkantuk-kantuk dan tentu saja bermalas-malasan. Hidupku tak banyak berubah kurasa, berkutat dengan rutinitas yang akhir-akhir ini kurasa cukup menyenangkan. Aku sedikit banyak telah belajar tentang pengendalian mood dan semangat. Ada beberapa poin penting yang pelu dicatat dibulan mei ini, yang pasti aku dari awal bulan telah di sibukkan oleh profesi idealisku yaitu sebagai komikus amatir. Yeah.. kurasa kalian mengerti apa yang aku maksudkan, yup.. aku mulai mengerjakan lemon tea dengan semangat. Sebuah komik labil tentang cinta yang tertangguhkan selama hampir 1 tahun (dan hampir saja ide itu membatu menjadi fosil dan bermutasi menjadi virus mematikan bernama “galau”:D). Banyak kejadian yang membuatku memantapkan niatku untuk mengkelarkan projek ini, sengenggak-enggaknya...

November Rain!

Sudah beberapa hari ini, studio tempatku mengerjakan komik sangat berantakan. Berantakan pake banget. Sama berantakannya kayak muka gue.  Sebenarnya yang berantakan cuman meja gambarnya sih, sebenarnya itu juga BUKAN meja gambar yang kayak di studio-studio komik gituh. Lebih tragis lagi, aslinya meja tempatku mengerjakan komik adalah meja makan. Setahun sekali saat lebaran, meja itu biasanya dikeluarkan buat tempat toples Rempeyek, Rengginang, Jenang, dan tentu saja makanan-makanan alien lainnya.  Akhir lebaran tahun ini, meja makan itu dengan resmi bertransmigrasi dari ruang tamu menuju studio komik yang keren banget ini. Begitu. Bulan November 2014 seminggu lagi bakal abis, Dompetku juga mulai menipis, harga BBM yang kemarin naik makin membuatku meringis.  Terus aku kudu piye?  Aku juga tidak tahu, namun yang pasti, aku harus mengerjakan beberapa halaman komik yang belum kelar. Hal itulah yang membuat studio tempatku mengerjakan komik menjadi sangat berantakan...