Langsung ke konten utama

Tetangga Depan Rumah

Siang ini aku berada di pelataran rumah tetangga menghadiri dan menghantar jenazah ke kuburan. Aku berkabung. Aku ikut berduka dan terdiam sambil merenung mahfum, serta berguman dalam hati "Mati itu mudah ya!". 

Mudah yang aku maksud bukan 'proses menuju ke suatu keadaan'. Namun lebih ke sebuah momentum dari 'hidup' ke 'mati'. 

Kenapa aku berpikir seperti itu? Jadi begini ceritanya. 

***

Setiap pagi aku memiliki ritual sederhana sebelum memulai pekerjaan, yakni minum teh panas sembari berjemur matahari. Kebiasaan ini sudah berlangsung cukup lama. Aku menjemur badanku yang habis mandi. Sensasi rasa dingin di kulit saat bertemu panasnya matahari sangat menggairahkan. Aktivitas tersebut makin menyenangkan kala ditambah secangkir teh hangat dan camilan. Setelah melakukan hal tersebut (insyaallah)  aku bakal siap menjalani hidup dengan lebih baik. 

Nah lokasi aku berjemur itu tepat di pinggir jalan di depan rumah. Di situ ada semacam selokan yang udah dibeton. Hampir setiap pagi aku nangkring di situ. Bisa dibilang tempat yang aku duduki itu sudah masuk di wilayah halaman tetanggaku, pas di bawah pohon Talok. Jadi bukan peristiwa yang aneh jika ada orang mondar-mandir saat  aku nongkrong. Sekali dua kali, aku sering berjumpa dengan orang-orang desa yang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. 

Salah satu orang yang sering aku jumpai tentu saja pemilik rumah tempat pekarangan yang aku tongkrongi. Sepasang suami istri, yang kata mamakku tidak terlalu akrab. 

***

Jenazah yang berada di keranda itu adalah  suami dan kepala keluarga di rumah tetanggaku tersebut. Beliau meninggal setelah hampir tiga minggu berada di rumah sakit. Semuanya berawal dari keluhan nyeri hebat di perut yang mengantarkan ia ke berbagai situasi sulit di ruangan ICU. 

Dalam tiga minggu yang selalu dihiasi mendung dan hujan itu, pria itu menjalani operasi besar di berbagai lokasi di tubuhnya. Semuanya berlangsung cepat. Ia bahkan harus berada dalam keadaan koma nyaris dua minggu. Dan di masa-masa tersebut pagiku tak sama seperti biasanya. Aku hampir tidak pernah nongkrong di selokan tersebut untuk berjemur demi kesehatan.  

***

Kesehatan adalah segalanya. Selama beberapa minggu berada di rumah sakit, aku dan mamakku kadang mengobrol mengenai apa yang sebenarnya terjadi. 

Operasi besar itu berupa pemotongan usus sepanjang sekitar 5 meter. Hal tersebut dilakukan karena ada pembusukan di banyak bagian usus. Penyebab luka infeksi itu dikarenakan pola makan yang tak sehat dan tak teratur. Jarang makan tepat waktu, kurang minum air putih dan konsumsi mie instan yang berlebihan ialah biang kerok utamanya. 

Sebenarnya gejala demi gejala sudah muncul, namun beliau tidak mengindahkan dan terus menahannya hingga menjadi seperti itu. 

"Halah,  mung loro ae diluk-diluk digowo rumah sakit! Nek aku yo tak ampet!" begitu kata mamakku menirukan beliau. 

Dan begitulah. Di suatu hari saat aku pergi ke Solo, semuanya terlambat ketika rasa sakit itu sudah tak tertahankan. 

***

Puluhan orang berjalan mengantar jenazah ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Aku mengekor di belakang. Sesekali tercium bau menyan yang bercampur dengan wangi bunga dari para pengiring 'kereta jawa'. 

Langit hari itu mendung dari pagi. Sehari sebelumnya juga sama saja. Bahkan saat pemasangan tratag, gerimis mengguyur dengan romantis. 

Sore itu jam setengah empat. Aku berada di kasur sambil memainkan hp. Sayup-sayup terdengar suara raungan dan tangisan. Aku berlari panik ke depan rumah. Orang-orang berhamburan. Ramai sedu sedan. Beliau dinyatakan meninggal saat itu juga, setelah semingguan pulang dari rumah sakit pasca operasi besar. Aku sudah menduga namun masih terlalu tak percaya. 

***
Prosesi penguburan berjalan lancar. Setelah didoakan para pelayat meninggalkan makam. Pikiranku melayang mengingat beliau. Kalau dipikir-pikir,  aku tak terlalu punya banyak ingatan tentang pria tersebut. Kenangan-kenangan yang muncul cukup samar. 

Hanya adegan-adegan sederhana saat beliau berbincang dengan bapak atau mamak saat aku nongkrong pagi hari di depan rumah. 

***
Hingga hari ini aku belum melakukan aktivitas menjemur badanku di depan rumahnya lagi. Mungkin karena memang cuaca jarang cerah di pagi hari, atau mungkin karena aku masih menganggap masa berkabung belum usai. Rest in peace, Pak. 

Mujix
Mencoba membuat list lagi. Karena bergerak random itu melelahkan. 
Simo,  7 Februari 2023










Postingan populer dari blog ini

Si Eja is Back!!

Tuyul kecil yang bernama Eja. suka menggelinding kemana-mana. kebiasaan terupdate dari si Tuyul ini adalah suka nyiumin knalpot sepeda motornya kakakku. iya, dia SUKA NYIUMIN KNALPOT.  makanya kalo motor abis di pake biasanya si Eja di buang dulu entah kemana. Abis nangis, soalnya dia suka gak terima kalo tiba-tiba di jauhin dari knalpot motor yang abis di pake. kasihan kan kalo ngemut knalpot panas, mending doi ngemut kerupuk atau ngemut dada ibunya saja (netek maksudnya -___-a). oh iya, kerupuk ini biasanya cuman di emut doang, jarang dimakan, kalo sedang gak mood si kerupuk cuman diremuk-remuk pake tangan. adegan 'meremuk kerupuk' itu ngingetin sama monsternya Ultraman saat menghancurkan gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo. sama-sama Brutal!!! adegan ini setidaknya menjelaskan bahwa Si Eja suka di kelitikin perutnya pake kepala bapakku yang botak. mungkin si Eja merasa geli-geli anget gimana gitu kali yaaa. adegan paling lucu yang bisa bik...

Laporan harian:)

Setelah berteori ria tentang makna MANUSIA dengan mas roso di postingan kemarin, sekarang saatnya melaporkan banyak hal yang terjadi dua mingguan kemarin. Hari ini adalah hari ke 25 di bulan mei, masih saja panas, terkantuk-kantuk dan tentu saja bermalas-malasan. Hidupku tak banyak berubah kurasa, berkutat dengan rutinitas yang akhir-akhir ini kurasa cukup menyenangkan. Aku sedikit banyak telah belajar tentang pengendalian mood dan semangat. Ada beberapa poin penting yang pelu dicatat dibulan mei ini, yang pasti aku dari awal bulan telah di sibukkan oleh profesi idealisku yaitu sebagai komikus amatir. Yeah.. kurasa kalian mengerti apa yang aku maksudkan, yup.. aku mulai mengerjakan lemon tea dengan semangat. Sebuah komik labil tentang cinta yang tertangguhkan selama hampir 1 tahun (dan hampir saja ide itu membatu menjadi fosil dan bermutasi menjadi virus mematikan bernama “galau”:D). Banyak kejadian yang membuatku memantapkan niatku untuk mengkelarkan projek ini, sengenggak-enggaknya...

November Rain!

Sudah beberapa hari ini, studio tempatku mengerjakan komik sangat berantakan. Berantakan pake banget. Sama berantakannya kayak muka gue.  Sebenarnya yang berantakan cuman meja gambarnya sih, sebenarnya itu juga BUKAN meja gambar yang kayak di studio-studio komik gituh. Lebih tragis lagi, aslinya meja tempatku mengerjakan komik adalah meja makan. Setahun sekali saat lebaran, meja itu biasanya dikeluarkan buat tempat toples Rempeyek, Rengginang, Jenang, dan tentu saja makanan-makanan alien lainnya.  Akhir lebaran tahun ini, meja makan itu dengan resmi bertransmigrasi dari ruang tamu menuju studio komik yang keren banget ini. Begitu. Bulan November 2014 seminggu lagi bakal abis, Dompetku juga mulai menipis, harga BBM yang kemarin naik makin membuatku meringis.  Terus aku kudu piye?  Aku juga tidak tahu, namun yang pasti, aku harus mengerjakan beberapa halaman komik yang belum kelar. Hal itulah yang membuat studio tempatku mengerjakan komik menjadi sangat berantakan...