Langsung ke konten utama

Ibu dan Anak Kucing

*Di kontrakan Bogor terdapat banyak tikus. Mulai dari yang kecil semacam Jerry sampai yang segede Gavan. Segerombolan tikus laknat itu mempunyai prilaku yang kurang baik. Sebagian suka ngembat makanan, sebagian suka ngegigit acak benda apapun, sebagian lagi suka mencuri uang rakyat. Cie kata-kata sok konseptual.

Mamakku udah jengah kelakuan para tikus tersebut. Lalu diracunlah para cecunguk itu. Sekali dua kali para tikus tersebut mati.

Sebagian ketemu di tempat yang mudah dijangkau, sebagian lain seperti 'jodoh', mencarinya harus pakai acara mondar-mandir dan belum tentu ketemu. Salah satu tanda yang nyata saat ada tikus mati ialah munculnya 'aroma' ala sate kambing  kadaluwarsa yang semerbak dimana-mana. Seperti pagi ini.

Jadi, Pagi ini lagi-lagi tercium wangi kembang melati akibat 'genosida' sepihak yang dilakukan mamakku dengan racun tikusnya. Beberapa kali dicari, namun kali ini bangkai tikus itu bersembunyi entah dimana. Hilang. Seperti aku di hati kamu.

Pencarian tersebut tak menghasilkan sesuatu apapun. Hingga di suatu siang yang cerah, mata mamak tak sengaja melihat seekor kucing belang di bawah kulkas.

Ngomongin kucing belang.

Kucing belang itu sering datang ke warung kami. Terkadang sendirian, terkadang bersama ibunya. Mamakku sering memberinya makan. Mamakku memang tidak tegaan. Makanya begitu  ngeliat kucing yang 'ngeang-ngeong', beliau langsung mengambil ikan tongkol dan mencampurnya dengan nasi untuk dijadikan makanan si kucing.

Dan detik ini, kucing belang yang sering beliau beri makan tiba-tiba tak bergeming sedikitpun. Tidak mungkin kucing tersebut sedang melangsungkan prosesi 'manequin challanges'!

Tanpa perlu menunggu Detektif Conan atau Sherlock Holmes mengeluarkan deduksi andalan, mamakku langsung tahu jika Si Kucing Belang itu mati dikarenakan racun tikus, bukan karena kasus pembunuhan berantai di ruang tertutup.

Ya. Si Kucing Belang itu sudah mati. Aromanya semerbak ke penjuru kontrakan. Mamakku lalu bermuka agak sendu.

Sepersekian detik itu mamakku tersadar lalu memanggil seseorang untuk membuang bangkai kucing. Mamakku berteriak. Bapakku sedang mager dan sedang tidur. Gak mungkin diserahi tugas negara sepenting itu. Sepersekian detik kemudian namaku membahana sampai di ujung langit-langit. Manusia  berambut kribo yang sedang kelelahan membuat komik namun kelihatannya nganggur itu tersentak saat namanya disebut. Manusia berambut kribo itu tak lain dan tak bukan adalah aku.

Bergegaslah aku ke arah kulkas. Awalnya aku enggan untuk mengurusi hal tersebut, perasaan dan fisikku sedang capai karena perjalanan Solo Bogor.

Mau bagaimana lagi ya. Ya sudahlah. Aku segera mengambil sapu lidi. Rencananya sih jenazah kucing itu langsung aku sapu lalu diangkat pakai pengki dan di buang ke tempat sampah. Hanya saja kenyataan berkata lain.

Kucing itu berukuran lumayan gede. Tidak kuat jika di sapu pakai lidi. Lagian kucing malang itu terselip di kolong bawah kulkas. Terlalu sulit jika memakai sapu. Aku memutuskan untuk mengangkatnya pakai tangan. Tanpa banyak cing cong aku mengambil tiga kantong plastik. Dua kantong plastik pertama aku pakai sebagai 'sarung tangan'. Kantong plastik ketiga adalah tempat untuk membawa mayat kucing tersebut.

Dalam sekali angkatan, kucing tersebut sudah berpindah ke kantong plastik. Mamakku sebenarnya ingin menguburnya. Namun karena di perkampungan Bogor ini sangat minim tanah umum yang dipakai buat nisan, dengan sangat berat hati beliau menyuruhku untuk membuangnya ke sungai.

Di detik inilah batinku mengalami pertentangan. Membuang sampah ke sungai itu perbuatan yang kurang beretika. Dan sialnya aku sering menyindir prilaku buruk tersebut di komik-komik yang aku buat. Sial. Mungkin ini keadaan yang menginspirasi para pencipta pepatah 'bagai menjilat ludah sendiri'.

Setelah sedikit pergolakan di batin akhirnya aku mendapatkan pencerahan. Bangkai kucing kan sampah 'organik' kan ya? Bisa terurai dan termasuk organisme yang sari patinya bisa menyuburan tanah. Tanpa ragu lagi. Kucing tersebut aku buang ke sungai. Dan byuuur.

Sip. Semua masalah sudah selesai. Aku kembali ke meja gambar.

Beberapa puluh menit kemudian terdengar suara kucing mengeong. Mamakku bilang ibu kucing tersebut mencari anaknya. Aku hanya melengos dan berkata datar bahwa kucing tersebut mungkin perutnya lapar.

Mamakku bilang suaranya beda.

Postingan populer dari blog ini

Si Eja is Back!!

Tuyul kecil yang bernama Eja. suka menggelinding kemana-mana. kebiasaan terupdate dari si Tuyul ini adalah suka nyiumin knalpot sepeda motornya kakakku. iya, dia SUKA NYIUMIN KNALPOT.  makanya kalo motor abis di pake biasanya si Eja di buang dulu entah kemana. Abis nangis, soalnya dia suka gak terima kalo tiba-tiba di jauhin dari knalpot motor yang abis di pake. kasihan kan kalo ngemut knalpot panas, mending doi ngemut kerupuk atau ngemut dada ibunya saja (netek maksudnya -___-a). oh iya, kerupuk ini biasanya cuman di emut doang, jarang dimakan, kalo sedang gak mood si kerupuk cuman diremuk-remuk pake tangan. adegan 'meremuk kerupuk' itu ngingetin sama monsternya Ultraman saat menghancurkan gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo. sama-sama Brutal!!! adegan ini setidaknya menjelaskan bahwa Si Eja suka di kelitikin perutnya pake kepala bapakku yang botak. mungkin si Eja merasa geli-geli anget gimana gitu kali yaaa. adegan paling lucu yang bisa bik...

Laporan harian:)

Setelah berteori ria tentang makna MANUSIA dengan mas roso di postingan kemarin, sekarang saatnya melaporkan banyak hal yang terjadi dua mingguan kemarin. Hari ini adalah hari ke 25 di bulan mei, masih saja panas, terkantuk-kantuk dan tentu saja bermalas-malasan. Hidupku tak banyak berubah kurasa, berkutat dengan rutinitas yang akhir-akhir ini kurasa cukup menyenangkan. Aku sedikit banyak telah belajar tentang pengendalian mood dan semangat. Ada beberapa poin penting yang pelu dicatat dibulan mei ini, yang pasti aku dari awal bulan telah di sibukkan oleh profesi idealisku yaitu sebagai komikus amatir. Yeah.. kurasa kalian mengerti apa yang aku maksudkan, yup.. aku mulai mengerjakan lemon tea dengan semangat. Sebuah komik labil tentang cinta yang tertangguhkan selama hampir 1 tahun (dan hampir saja ide itu membatu menjadi fosil dan bermutasi menjadi virus mematikan bernama “galau”:D). Banyak kejadian yang membuatku memantapkan niatku untuk mengkelarkan projek ini, sengenggak-enggaknya...

November Rain!

Sudah beberapa hari ini, studio tempatku mengerjakan komik sangat berantakan. Berantakan pake banget. Sama berantakannya kayak muka gue.  Sebenarnya yang berantakan cuman meja gambarnya sih, sebenarnya itu juga BUKAN meja gambar yang kayak di studio-studio komik gituh. Lebih tragis lagi, aslinya meja tempatku mengerjakan komik adalah meja makan. Setahun sekali saat lebaran, meja itu biasanya dikeluarkan buat tempat toples Rempeyek, Rengginang, Jenang, dan tentu saja makanan-makanan alien lainnya.  Akhir lebaran tahun ini, meja makan itu dengan resmi bertransmigrasi dari ruang tamu menuju studio komik yang keren banget ini. Begitu. Bulan November 2014 seminggu lagi bakal abis, Dompetku juga mulai menipis, harga BBM yang kemarin naik makin membuatku meringis.  Terus aku kudu piye?  Aku juga tidak tahu, namun yang pasti, aku harus mengerjakan beberapa halaman komik yang belum kelar. Hal itulah yang membuat studio tempatku mengerjakan komik menjadi sangat berantakan...