megamendungkelabu

Jumat, 07 September 2018

Wawancara

Kamis kemarin aku pergi ke daerah Jakarta Selatan untuk interview pekerjaan di sebuah perusahaan, yang ternyata agensi iklan.

Tempat ini adalah markas dari tim kreatif kampaye salah satu calon presiden di pemilu periode yang lalu. Hal tersebutlah yang membuatku 'iseng' untuk mengirim sebuah lamaran pekerjaan. Beneran iseng. Seiseng para pendekar dari agensi iklan tersebut dalam membuat poster 'pencarian bakat' mereka.

Tunggu sebentar, iseng bagaimana sih? Jadi gini, seminggu yang lalu aku melihat poster lowongan pekerjaan bersliweran di lini masa. Aku berharap bisa bergabung dengan tim kreatif ini. Tentu saja sebagai pekerja lepas. Dan tengilnya, di poster tersebut tidak dicantumkan perihal mengenai sifat dari pekerjaan tersebut. Begitulah, dalam hitungan menit portofolioku Si Amed sukses berpindah tangan melalui email.

Sepertinya portofolio Si Amed terlalu dahsyat bagi mereka, hingga salah satu stafnya menelepon agar aku datang kamis ini untuk wawancara. Aku happy. Akhirnya aku bisa merasakan sebuah ritual sakral yang bernama 'job interview'.

Hari kamis siang, jam setengah satu aku berangkat ke Jakarta. Perjalanan ini aku tempuh dengan KRL dan ojek daring. Aku sampai di sebuah rumah rindang dengan berbagai macam standing figure di terasnya, tentu saja setelah dua jam terombang-ambing di jalanan Jakarta yang panas, pengap, dan penuh dengan raut wajah cemberut.

Akhirnya sampailah di lokasi. Tempat tersebut secara fisik sangat menyenangkan. Rumah yang rindang dengan banyak pohon di depan dan dua gazebo di samping bangunan. Gazebo itu ternyata digunakan untuk sholat bagi pegawai yang beragama islam. Suasananya juga tidak terlalu bising, karena terletak agak jauh dari jalan raya.

Perjumpaanku pertama dengan penghuni bangunan tersebut diawali kemunculan Mbak Bunga (nama sengaja disamarkan agar kalian tidak stalking IG-nya, biar aku saja) yang sempat sedikit aku kepo di Instagram. Hahaha.

Mbak Bunga mempersilahkan aku masuk ke sebuah ruangan yang berisi beberapa orang. Mereka sepertinya orang-orang penting di perusahaan tersebut. Ruangan itu memiliki dinding yang dihiasi berbagai macam poster berbingkai. Ada juga lemari kecil berisi buku-buku berbahasa inggris tepat di samping pintu.

Aku masuk ke ruangan tersebut dengan penuh sopan santun, pokoknya segala polah tingkahku saat itu mirip dengan adegan di sinetron yang menggambarkan 'orang jawa' saat datang ke Jakarta. Begitu klise.

Kalimat pertama yang mereka tamparkan ke diriku yang berkeringat basah itu adalah:

"Gile, rapi amat loe, Mas!?"
Aksiku memakai kemeja batik di sebuah interview pertama kerjaku ini berhasil menarik perhatian mereka.

Ada hal yang menarik dari peristiwa kecil tersebut. Awalnya saat berangkat dari Bogor, aku hanya memakai kaos oblong dengan gambar Si Amed. Niat semulanya jelas, pamer IP karakter sekalian mencitrakan diri sebagai pribadi muda  kreatif nan casual.

Sampai di Stasiun Cawang aku melihat para pegawai kantoran yang berlalu lalang. Mereka semua memakai kemeja rapi dan berseragam resmi. Tiba-tiba aku teringat pepatah jawa yang dulu didengungkan para orang tua. Pepatah itu berbunyi:

"Ajining diri gumantung ana ing lathi, ajining raga gumantung ana ing busana."

Yang jika diartikan secara bebas di dalam bahasa indonesia, kepribadian yang murni ada dalam ucapan/kata, penampilan mencerminkan kepribadian.

Sepersekian menit kemudian aku mendobeli kaos tersebut dengan kemeja batik berwarna hijau. Ah, persetan pribadi muda  kreatif nan casual. Aku akan mencoba menghargai orang-orang yang aku temui hari ini.

Dan sudah bisa diduga, penghuni 'markas dari tim kreatif kampaye salah satu calon presiden di pemilu periode yang lalu' itu memang tidak bisa disamakan dengan kantor-kantor resmi pada umumnya.

Aku tidak kecewa. Tidak ada yang ditertawakan, aku ikut tertawa bersama-sama mereka soal kemeja yang 'rapi amat' ini.

Setelah saling berkenalan akhirnya sesi wawancara dimulai dengan santai. Banyak hal yang ditanyakan, banyak hal yang diperbincangkan. Hingga akhirnya mengerucut ke sebuah pertanyaan final, mau enggak aku kerja di sini?

Mereka mencari pegawai tetap.
Aku ngarepnya mereka mencari pegawai lepas. 

Jadi aku menjawabnya, Tidak.

Alasannya. Misiku pergi ke barat (baca: Bogor), sebenarnya bukan untuk bekerja. Namun menemani kedua ortuku. Toh pekerjaanku bisa dibawa kemana-mana. Lalu aku pulang membawa banyak oleh-oleh berupa pemikiran baru. Pemahaman yang dianyari.

Beberapa hari berlalu setelah itu.
Perasaanku campur aduk. Apakah salah jika aku melepaskan kesempatan emas itu demi hal-hal sentimentil?

Mujix
Lelaki yang belagu! Lelaki yang belum bisa membawa dirinya dengan baik
Bogor, 25 September 2018.