megamendungkelabu

Minggu, 03 Maret 2019

Tukang Tahu Asongan

Siang hari ini sangat panas. Debu dan asap mengepul memaksa masuk ke paru-paru setiap manusia. Rasanya sangat memuakkan, para ahli bilang, hal seperti ini yang sering mereka istilahkan sebagai 'radikal bebas' yang katanya bisa merusak kesehatan.

Namun bukan hal se-ilmiah itu, yang ia,  sang penjual asongan pikirkan, belum (dan mungkin) gak akan sampai hadir di benaknya.

Perasaan muak tersebut muncul karena harus ada uang yang ia cari, namun sialnya, kenyataan tak memberi ruang diri. Semua orang butuh uang, Thomas Alfa Edison pun tahu hal semacam itu. Namun satu hal yang mungkin belum diketahui Thomas Alfa Edison, sang penjual asongan itu sedang sangat lelah baik secara fisik maupun batin untuk mencari uang.

Beberapa kali bis besar datang. Semuanya ia biarkan hilang. Rasa pengap kabut asap kendaraan bercengkrama akrab dengan tahu kempong, kacang goreng, arem-arem, dan keripik usus yang baru laku beberapa biji. Melihat benda-benda itu masih bertumpuk di pundak, benar-benar membuatnya gamang. Ia berpikir, mungkin beban hidup seluruh makhluk bernama manusia sengaja dianugrahkan padanya siang ini.

Dari kejauhan muncul bis besar Agra Mas. Rasa malas masih bergelayut. Namun asa menolak untuk berdiam diri. Seutas senyum kecut ia torehkan di muka berkeringat nan hitam kecoklatan karena sinar matahari. Ia mengela nafas dan berdiri. Sandal jepit merk Swallow menjadi saksi bahwa ia masih ingin merubah hidup.

Bis tersebut berhenti perlahan di lampu lalu lintas yang berwarna merah. Agak sumringah juga melihat banyaknya penumpang di dalam. Ada sedikit rasa gembira saat membanyangkan jika barang dagangannya laris manis di dalam bis tersebut. Pria paruh baya itu berjalan pasti menuju sarang rezekinya. Ia menyebrangi jalan sambil memantapkan harapan. 

Tak lama berselang ia sudah sampai di depan bis besar tersebut. Diketoknya pintu supir, sambil memberi kode bahwa ia ingin masuk ke dalam bis untuk berjualan. Namun tak ada respon. Diketuknya lagi dengan lebih keras. Tak ada pintu terbuka. Hanya ada tatapan sinis dari kondektur dan sikap acuh tak acuh sang sopir.

Saat si penjual asongan ingin mengetuk pintu tersebut untuk terakhir kalinya, lampu lalu lintas berubah warna. Dari merah ke kuning. Bis tempat rezeki bersarang itu bergerak perlahan. Rasa kecewa menyembur dari dalam sanubari. Penjual asongan itu menggenggam jarinya dengan sangat erat. Menahan rasa putus asa kala bis tersebut meninggalkannya dengan penuh kepastian.

Pria paruh baya penjual asongan itu termenung di tengah jalan yang penuh asap dan kendaraan berlalu lalang. Yah. Mungkin memang belum rezeki, begitu pikirnya.

Mujix
Sedang berada di Bogor
Merapikan buku hutang milik mamak dan mencoba berbaik sangka terhadap hidupku hari ini.
Bogor, 9 Maret 2019