Langsung ke konten utama

Spidol

Aku sedang butuh spidol. Spidol yang biasa aku pakai hilang. Aku cari di meja kerja. Aku cari di ruang tidur. Aku cari di sudut rumah. Tak tampak di manapun. Aku menghela nafas. Aku masih mempunyai drawing pen, namun kali ini aku ingin menggambar menggunakan spidol. Aku rindu sensasi empuk nan luwes dari spidol.

Sedetik kemudian aku memutuskan membeli spidol di Warung Mama Andre. Sebuah toko kelontong paling lengkap di kampung ini. Aku kadang agak ragu untuk ke sana. Bukan masalah harganya. Bukan pula masalah barangnya.

Namun penjaganya. Penjaganya adalah mbak-mbak berjilbab. Cukup manis. Aku takut saat membeli spidol, dia akan jatuh cinta padaku. Atau, aku yang akan jatuh cinta padanya. Tidak ada yang bagus di antara keduanya. Kecuali kita berdua sama-sama saling mencinta.

Jika aku terjebak asmara sepihak, aku akan melupakan kerinduan akan sensasi menggambar menggunakan spidol. Hidupku hanya akan ada dia. Ah benar.  Selama aku berpikir terlalu jauh, aku  masih belum mempunyai spidol. Ah sudahlah. Tanpa berpikir panjang aku segera bergegas ke warung Mama Andre.

Aku tak peduli dengan mbak-mbak berjilbab manis. Aku tidak peduli dengan 'siapa' entah akan jatuh cinta dengan 'siapa'. Aku butuh spidol. Aku rindu sensasi empuk nan luwes dari spidol.

Dan benar saja, mbak-mbak manis berjilbab itu muncul. Aku minta spidol. Dia memberikan sebuah spidol besar. Namun sayang aku butuh yang kecil. Walaupun sama-sama spidol, spidol besar tidak aku butuhkan. Sekalipun yang memberikan mbak-mbak manis berjilbab.

Aku tak peduli dengan mbak-mbak berjilbab manis. Aku tidak peduli dengan cinta lokasi. Aku butuh spidol. Spidol yang kecil. Spidol yang mempunyai sensasi empuk nan luwes. Bukan spidol besar yang kasar dan beraroma menyengat.

Aku meninggalkan mbak-mbak berjilbab manis di Warung Mama Andre. Semoga tidak ada cinta diantara kami. Aku pulang ke rumah.

Aku bertanya kepada ibuku perihal di mana di jual spidol kecil. Beliau tidak tahu yang menjual spidol kecil. Namun ibuku tahu perihal warung kelontong lain selain Warung Mama Andre. Warung itu berada di ujung perempatan dekat jembatan. Warung itu katanya tidak sebesar warung Mama Andre.

Aku langsung berasumsi di warung ujung perempatan dekat jembatan itu pasti tidak menjual spidol. Spidol kecil yang mempunyai sensasi empuk nan luwes. Dan aku juga cukup yakin kalau di warung ujung perempatan dekat jembatan itu tidak ada mbak-mbak berjilbab manis yang menjadi penjaganya.

Namun karena aku menghormati saran ibu, aku memutuskan untuk pergi ke warung ujung perempatan dekat jembatan untuk mencari spidol kecil.

Aku berjalan menuju warung ujung perempatan dekat jembatan. Sesampainya di sana aku menanyakan soal spidol.

Dan seperti dugaanku, warung ujung perempatan dekat jembatan tidak mempunyai spidol, tidak pula mempunyai mbak-mbak berjilbab manis yang menjadi penjaganya. Hanya ada lelaki paruh baya yang mulai berpikir ternyata di semesta ini ada orang-orang yang membutuhkan benda remeh bernama spidol.

Aku kembali ke rumah. Aku masih mempunyai drawing pen, namun kali ini aku ingin menggambar menggunakan spidol. Hingga detik ini aku masih belum mempunyai spidol.

Haruskah aku memupus harapan untuk menggambar dengan spidol kecil yang mempunyai sensasi empuk nan luwes? Jika diriku yang biasanya, pasti aku putus asa dan akan langsung 'legowo' menggunakan drawing pen.

Tapi tidak untuk kali ini. Aku harus menggambar dengan spidol. Spidol yang kecil. Untuk kali ini aku akan menjadi makhluk yang tidak 'nrimo ing pandum'.

Aku teringat ada minimarket di kampung sebelah. Agak jauh letakknya. Nama minimarketnya 'Kindae'. Walau tidak segagah kompetitornya! Tidak seterang benderang pesaingnya! Namun minimarket itu masih berdiri hingga hari ini. Aku memutuskan pergi ke minimarket tersebut.

Malam hari yang sudah agak larut menjadi teman dalam misiku mencari spidol kecil. Kakiku berjalan agak terburu-buru. Mungkin sedikit kelelahan karena harus ke sana ke mari demi keegoisan pemiliknya. Jalanan komplek cukup lengang. Tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Puluhan prosa pasti akan tercipta jika seorang manusia romantis yang melalui jalanan malam ini.

Langit mendung kelam, angin semilir nan dingin dan jangan lupakan rintik hujan yang membaur bersama terangnya lampu merkuri. Yah, jika manusia romantis itu seseorang yang jenius dan memiliki keberuntungan bagus, bukan tidak mungkin ia akan menjadi milyuner.

Ia bisa mengubahnya menjadi puisi.
Ia bisa menyulapnya menjadi lagu.

Namun sayang, aku bukanlah manusia romantis. Aku adalah manusia egois yang rela membuang segala omong kosong itu demi spidol kecil. Spidol kecil yang mempunyai sensasi empuk nan luwes.

Tinggal beberapa langkah lagi aku sampai di Kindae. Sesampainya di sana aku langsung menebarkan ke segala arah. Mataku langsung tertuju ke rak kecil tempat alat tulis di jual.

Dan... Eureka!
Ada spidol kecil di situ!
Aku mengambil dua buah.
Kupandang lekat-lekat. Ada secercah rasa suka cita di dada. Rasanya mungkin seperti menemukan gadis yang kau sukai di antara kerumuman manusia.

Spidol idaman sudah di tangan. Dalam satu hentakan aku sudah berada lagi di depan meja gambar menuangkan prosa dan puisi yang ada di hati. Secercah rindu
rindu sensasi akan spidol empuk nan luwes dari spidol terobati sudah.

Spidol lama yang biasa aku pakai memang sudah hilang. Namun aku bisa menemukan spidol yang baru, dengan sedikit perjuangan tentunya. Aku dan spidol malam ini sama-sama saling mencinta. Aku memperjuangkan ia dengan berbagai cara. Ia memberikanku rasa nyaman dengan bermacam pola.

Setiap orang memiliki 'spidol'-nya masing-masing. Bisa berwujud cita-cita, keinginan, ataupun orang yang ia cintai. Mau diperjuangkan atau tidak bukanlah sesuatu yang penting. Karena bagi orang lain, hasil adalah segalanya.

Dan jika membicarakan soal hasil. Gambar inilah yang baru saja diciptakan oleh spidol tersebut.

Mujix
Temukan spidolmu
Simo, 10 April 2018

Postingan populer dari blog ini

Si Eja is Back!!

Tuyul kecil yang bernama Eja. suka menggelinding kemana-mana. kebiasaan terupdate dari si Tuyul ini adalah suka nyiumin knalpot sepeda motornya kakakku. iya, dia SUKA NYIUMIN KNALPOT.  makanya kalo motor abis di pake biasanya si Eja di buang dulu entah kemana. Abis nangis, soalnya dia suka gak terima kalo tiba-tiba di jauhin dari knalpot motor yang abis di pake. kasihan kan kalo ngemut knalpot panas, mending doi ngemut kerupuk atau ngemut dada ibunya saja (netek maksudnya -___-a). oh iya, kerupuk ini biasanya cuman di emut doang, jarang dimakan, kalo sedang gak mood si kerupuk cuman diremuk-remuk pake tangan. adegan 'meremuk kerupuk' itu ngingetin sama monsternya Ultraman saat menghancurkan gedung-gedung pencakar langit kota Tokyo. sama-sama Brutal!!! adegan ini setidaknya menjelaskan bahwa Si Eja suka di kelitikin perutnya pake kepala bapakku yang botak. mungkin si Eja merasa geli-geli anget gimana gitu kali yaaa. adegan paling lucu yang bisa bik...

Laporan harian:)

Setelah berteori ria tentang makna MANUSIA dengan mas roso di postingan kemarin, sekarang saatnya melaporkan banyak hal yang terjadi dua mingguan kemarin. Hari ini adalah hari ke 25 di bulan mei, masih saja panas, terkantuk-kantuk dan tentu saja bermalas-malasan. Hidupku tak banyak berubah kurasa, berkutat dengan rutinitas yang akhir-akhir ini kurasa cukup menyenangkan. Aku sedikit banyak telah belajar tentang pengendalian mood dan semangat. Ada beberapa poin penting yang pelu dicatat dibulan mei ini, yang pasti aku dari awal bulan telah di sibukkan oleh profesi idealisku yaitu sebagai komikus amatir. Yeah.. kurasa kalian mengerti apa yang aku maksudkan, yup.. aku mulai mengerjakan lemon tea dengan semangat. Sebuah komik labil tentang cinta yang tertangguhkan selama hampir 1 tahun (dan hampir saja ide itu membatu menjadi fosil dan bermutasi menjadi virus mematikan bernama “galau”:D). Banyak kejadian yang membuatku memantapkan niatku untuk mengkelarkan projek ini, sengenggak-enggaknya...

November Rain!

Sudah beberapa hari ini, studio tempatku mengerjakan komik sangat berantakan. Berantakan pake banget. Sama berantakannya kayak muka gue.  Sebenarnya yang berantakan cuman meja gambarnya sih, sebenarnya itu juga BUKAN meja gambar yang kayak di studio-studio komik gituh. Lebih tragis lagi, aslinya meja tempatku mengerjakan komik adalah meja makan. Setahun sekali saat lebaran, meja itu biasanya dikeluarkan buat tempat toples Rempeyek, Rengginang, Jenang, dan tentu saja makanan-makanan alien lainnya.  Akhir lebaran tahun ini, meja makan itu dengan resmi bertransmigrasi dari ruang tamu menuju studio komik yang keren banget ini. Begitu. Bulan November 2014 seminggu lagi bakal abis, Dompetku juga mulai menipis, harga BBM yang kemarin naik makin membuatku meringis.  Terus aku kudu piye?  Aku juga tidak tahu, namun yang pasti, aku harus mengerjakan beberapa halaman komik yang belum kelar. Hal itulah yang membuat studio tempatku mengerjakan komik menjadi sangat berantakan...