megamendungkelabu

Minggu, 16 September 2018

Bibit Jagung

Kisah sederhana ini tiba-tiba terbersit dalam pikiran saat di lini masa bersliweran drama mengenai BIBIT UNGGUL.

***

Aku mempunyai kisah tentang bibit, entah bibit itu unggul atau tidak. Saat aku sekolah di SMP dulu ada pelajaran biologi. Salah satu tugasnya ialah membuat bibit jagung. Atau lebih spesifiknya mengubah biji jagung menjadi bibit jagung yang siap tanam. Biji menuju bibit.

Beberapa benda yang harus dipersiapkan untuk mengerjakan tugas tersebut. Benda-benda itu ialah gelas minuman mineral plastik, kapas, dan tentu saja biji jagung.

Di hari pertama, biji jagung itu aku letakkan di atas kapas, kapas yang basah. Kapas itu digunakan sebagai pengganti tanah. Lalu biji jagung yang sudah diletakkan di atas kapas itu dipindahkan ke gelas minuman mineral plastik. Biar praktis dan memudahkan saat menulis data penelitian.

Sejak hari itu petualanganku dalam 'menumbuhkan' biji jagung dimulai. Berbagai hal aku lakukan untuk menyukseskan misi tersebut. Misalnya, segera memberikan air jika kapas tempat biji jagung teronggok itu terlihat kering. Atau setiap pagi aku membawanya untuk berjemur di emperan rumah agar biji jagung itu mendapat sinar matahari. Sempat terpikir juga menambahkan kotoran ayam agar sang biji jagung medapatkan 'asupan' pupuk kandang. Namun aku batalkan karena alasan estetika. Baunya itu bro, belum lagi warna air yang keruh. Pokoknya, say 'No' to pupuk kandang.

Hari demi hari berlalu, biji jagung yang aku rawat 'seperti anak sendiri' itu akhirnya bertunas kecil. Sangat kecil. Walau kecil, Aku bahagia. Rasanya mungkin mirip seperti saat bokek, terus tiba-tiba menemukan uang 50 ribu di saku celana saat mencuci.

Misiku akhirnya hampir berhasil. Saat itu aku terlena dengan perasaan bahagia. Entah karena apa, tiba-tiba saja aku berpikir seperti ini:

"Karena sudah tumbuh tunas kecil, kayaknya tidak apa-apa deh jika biji jagung itu aku tinggalkan sejenak untuk mengurus hal-hal lain."

Hal-hal lain itu tidak aku perlu jelaskan di tulisan ini, namun yang pasti sejak saat itu aku hanya mengganti airnya jika aku ingat.

Terkadang aku lupa untuk menjemurnya di sinar matahari pagi. Puncaknya adalah saat banyak tugas dari pelajaran lain yang datang menghantam.

Hingga suatu datang suatu malam. Besok pagi adalah hari dimana tugas biologi itu, aku baru teringat bibit jagung tersebut.
Entah beberapa hari aku lupa untuk mengurus bibit tersebut. Namun saat aku temukan, bibit itu tergeletak dengan sangat mengenaskan.

Tunas yang kubanggakan itu sudah hilang, sepertinya membusuk. Kapas yang biasanya lembab itu kering. Celaka! Bibit jagungku mati! Bagaimana nasib nilai ujian biologiku besok!!?

Dari peristiwa ini aku diajari alam semesta untuk berfilsafat lebih awal di usia sangat muda.

Bibit jagung jika tidak diberi air dan tidak diberi sinar matahari, maka bibit tersebut akan mati.

Bukan hanya bibit jagung. Bibit apapun. Seunggul apapun.

Siapa yang bisa disalahkan dari 'matinya bibit jagung' tersebut? Airnya? Mataharinya? Kapasnya? Gelas plastiknya? Atau akunya?

Benar!! Kurasa kalian sudah tahu jawabannya! Yang bisa disalahkan dari 'matinya bibit jagung' tersebut ialah GELAS PLASTIKNYA!!

Mujix
Sepertinya setiap manusia memang punya masanya dimana ia memiliki sikap yang buruk. Maklumi, maafkan, dan mari kita sama-sama belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Bogor, 16 September 2018