megamendungkelabu

Selasa, 14 Mei 2019

Mbah Rembyung

"Allah, Mbah! Nyebut Gusti Allah, Mbah!!" Ucapku di siang itu sambil menahan batin yang terguncang melihat simbah menahan sakit.

"Aduuuh hiyuuung!! Iki opo leeeh!!!" Simbahku mengerang sembari memegang perutnya.

Matahari di luar bersinar terik. Ia menerobos kamar simbahku melalui genteng kaca. Suasana sangat mencekam. Aku, Mas Joko, Mamak dan tanteku berjubel di kamar tersebut untuk menenangkan Simbah yang terus berteriak kesakitan. Aku membatin dengan lirih, mungkin sebentar lagi 'hal tersebut' akan terjadi.

Aku mendekatkan wajah ke telinga simbahku dan berkata perlahan.

"Mbah, nyebut Allah Mbah!! Kan njenengan sholat terus ket ndisik! Mestine iso to!!?"

Simbahku mengangguk pelan, hatiku semakin tercekat. Entah kenapa semua orang di kamar ini mengetahui jika simbahku tengah menjalani sebuah ritual suci yang pasti dialami setiap manusia. Ya, ritual suci nan sakral dan dramatis itu bernama kematian. Prosesi yang sering disebut dengan sakratul maut.

"Allah!"
"Allah!"
"Allah!, Mbah!"

Aku berusaha membimbing simbah untuk mengucapkan kalimat tauhid. Tanganku mengelus dahinya sambil terus berkata 'Allah' dan 'Gusti Allah'. Simbahku masih  mengeluh kesakitan, mengerang keras, menjerit sambil beringsut ke sana ke mari. Tanpa suara. Aku menguatkan batin dan  selalu mengoceh kalimat tauhid sambil mati-matian menahan perasaan sedih yang kian menggumpal.

Simbahku masih terus berjuang menjemput ajal. Banyak yang bisa aku ceritakan mengenai perempuan tua yang bernama 'Mbah Rembyung' itu. Sangat banyak.

***
Ingatan paling awal yang terselip di memori manusiaku mengenai simbah, mungkin saat aku ditinggal pergi merantau oleh orang tua. Saat itu kira-kira  aku berusia lima tahun. Mamak dan bapak pergi mencari nafkah di Jakarta, dan siang itu aku mengalami perpisahan yang sangat menyakitkan.

Samar-samar ingatan itu muncul, sebuah adegan simbah yang memegangi aku yang tengah meronta penuh tangis karena tak rela ditinggal orang tua merantau ke ibukota.

Ingatan itu berwarna hijau. Dibalut suasana sedih dengan rasa berat nan kelu dalam sudut pandang seorang anak kecil yang hendak bersekolah di kelas 1 SD.

Dan sejak saat itu aku belajar ilmu hidup yang bernama 'perpisahan adalah sebuah kepastian'. Cepat atau lambat. Suka atau tidak suka.

Malam setelah peristiwa dramatis itu, aku masih saja menangis sesengukan. Belum ada listrik di rumah kami. Setiap rumah biasanya diterangi oleh lentera berbahan bakar minyak. Lentera itu dibuat kaleng susu bekas. Sumbu yang dipakai sama dengan sumbu kompor. Apabila lentera itu dinyalakan akan ada bau minyak terbakar yang cukup menyengat.

"Kidang talun..."
"Mangan kacang talun..."
"Mil ketemil... mil ketemil..."
"Si kidang mangan lembayung..."

Simbah bersenandung dengan suara merdu nan lirih menyibak gelapnya malam. Beliau menghiburku yang tengah dirundung pekatnya kesedihan peristiwa siang tadi. Tangan kecilku memeluk tubuhnya erat. Ia memelukku pula dengan penuh kasih sayang sambil terus bernyanyi.

Ruangan kami dipenuhi cahaya menari berpendar merah dari lentera. Sinarnya menelusup ke hati. Bagai uluran rasa cinta dari tangan Tuhan yang disalurkan melalui hangatnya perhatian simbah. Sejak saat itu, walau dengan berat hati aku berjanji dan berusaha menjadi anak yang kuat dan mandiri. Sulit? Absolutly yes! But I will try.

***

Mulai hari itu aku yang sedang masuk kelas 1 SD itu akan tinggal di rumah bersama simbah. Sesekali tiap akhir pekan mungkin aku akan mengganggu masku yang sedang bersekolah di SMSR Solo. Entah memporak-porandakan alat lukisnya, atau mencegatnya di perempatan jalan untuk meminta uang jajan.

Pagi kala itu, aku selalu disambut dengan aktivitas simbah yang membuat 'Rengginang', sebuah camilan yang berasal dari beras ketan. Simbahku menghadap meja dan menata ketan di 'Widig' tatakan dari bambu yang dibuat untuk menjemur rengginang basah.

Simbah duduk di kursi panjang. Disampingnya ada tumbu berisi ketan dan mangkuk berisi air untuk menjaga agar tangan tidak lengket saat memenyet ketan. Aku sering sarapan ketan yang dibuat simbah. Biasanya dengan lauk tempe goreng. Dan jangan lupa, teh anget milik simbah juga sering aku 'sabotase' untuk menyembuhkan dahaga. Sebuah pagi yang sangat menyenangkan di masa kecil.

"Mbah, njaluk sangu!" Ucapku setelah sarapan. Beliau lalu mengambil dua atau tiga keping 100 rupiah. Dan seperti bocah pada umumnya, setelah mendapatkan uang saku langsung ngacir ke sekolah. Buat jajan. Wkwkw

Saat aku berada di sekolah, simbah membuat rengginang. Setelah rengginang selesai, beliau lalu membuat 'besek'. Besek adalah kerajinan yang berasal dari bambu. Biasanya dipakai buat tempat makanan saat kenduri.

Proses membuat besek sangat kompleks, mulai dari 'Irat', 'nyisiki', 'nganam', 'mbalikke', dan 'mbratili'. Tuh kan, rumit. Kalian paham maksud istilah-istilah tersebut? Perlu dijelaskan? DM sist!

Saat istirahat tiba, aku sering balik lagi ke rumah, karena uang saku sudah habis buat jajan, namun aku masih lapar. Aku biasanya langsung 'mendobrak' pintu sambil berteriak keras.

"MBAH! ONO PANGANAN OPO!!!??"
Simbahku yang tengah membuat besek, biasanya hanya geleng-geleng sambil menanggapi seperti biasanya.

"Golek'ono dhewe neng lemari, Yon!"
Lalu dimulailah operasi 'tangkap panganan' di lemari. Kadang aku menemukan Rengginang, kadang menemukan Onde-onde, namun sering pula aku tak menemukan apa-apa.

Tangkapan besar panganan, biasanya terjadi di pasaran bernama Pahing. Terkadang jika hari Pahing tiba, beliau suka belanja di pasar. Untuk membeli beras ketan, atau menjual ayam. Aku sangat suka hari di mana Simbah pergi ke pasar di saat Pahing. Soalnya selalu ada makanan enak di tenggok yang ia bawa.

Jajanan pasar yang sering ia beli adalah Jenang Gendul. Semacam bubur diberi kuah gula jawa dengan campuran sagu dan santan. Rasanya enak. Kadang Simbah membeli Onde-onde dan Mentho. Ketiganya bagai durian runtuh bagi seorang bocah berambut kriting yang selalu kelaparan.