megamendungkelabu

Selasa, 28 Mei 2019

Umur 23

Malam itu aku berdiri di sebuah gerbang berwarna hijau kehitam-hitaman yang tersembunyi di rimbunnya pohon mangga. Dua orang perempuan yang menemaniku saat itu tersenyum penuh arti. Langit biru diselimuti bintang menghampar bagai permadani. Ia menaungi diriku yang agaknya sedang meyakini bahwa gerbang tersebut adalah pintu untuk pulang ke rumah.

Kedua tanganku segera mendorong kenop gerbang aneh tersebut.

"Krieeeeeetttt" suara gerbang mendecit memekakkan telinga.

Ada seberkas cahaya terang terpapar dari isi ruangan dalam gerbang. Mataku sedikit menyipit menahan silaunya. Hidungku mencium aroma wangi nan menentramkan hati. Tak perlu menunggu daun mangga itu jatuh ke bumi untuk kesekian kali, aku bergegas memasuki ruangan mistis tersebut dengan segenap ketidaktahuanku akan apapun.

Di depan bagian dalam pintu tersebut ternyata ada sebuah ruangan sempit dengan banyak anak tangga yang tersusun rapi menuju ke bawah. Aku memandangi ruangan itu dengan stakjub. Keren sekali ruangan ini. Banyak cahaya terang yang berpendar membentuk aurora pelangi di kutub utara yang kadang hanya bisa kulihat melalui video di Youtube.

Perlahan aku menuruni anak tangga dengan perasaan cemas. Tempat ini belum pernah aku datangi. Dan misteri tentang apa yang berada di ujung tangga ini, jujur membuatku sedikit takut.

Tangga demi tangga aku lewati.

"Drap..."
"Drap..."
"Drap..."

Suara langkahku berderap pelan. Aurora-auroara itu masih saja berpendar. Ayunan kaki ini makin lambat. Yang kemudian berhenti sama sekali.

Aku berada di tengah susunan anak tangga. Suasana tempat yang aku tuju masih saja tertutup asap putih, yang kadang berbaur dengan warna pelangi.

Aku agak sedikit khawatir.
Sejurus kemudian tanganku tiba-tiba digamit jari-jari berukuran mungil.

Ada dua bocah laki-laki berumur sekitar empat tahun. Perangainya sangat lembut dan lucu. Apalagi dengan kostum pakaian Tionghoa berwarna merah yang mereka kenakan.

Satu anak menuntunku, satu anak yang lain berjalan di depanku untuk menyibak kabut putih bernama rasa cemas.

Langkah demi langkah kami tempuh satu persatu. Rasa takut itu masih ada. Namun setidaknya aku ditemani dua krucil menggemaskan. Ujung tangga sudah di depan mata. Kami bertiga berhenti di sana. Bocah-bocah itu mendorongku ke depan, seperti memberi tanda untuk melanjutkan perjalanan tanpa mereka.

Aku elus kedua kepala bocah itu sambil mengucapkan terimakasih. Lalu mereka hilang satu per satu.

Suasana di ujung tangga sangat mistis. Rasanya seperti masuk ke suatu tempat berdimensi ganjil. Auranya sama persis seperti saat aku berziarah ke tempat-tempat ibadah kuno.

Sakral, menenangkan namun penuh energi spiritualitas yang besar. Perlahan-lahan asap putih itu turun hingga setinggi lutut. Lalu tampaklah pemandangan aneh dengan banyak hal tak wajar terhampar di depanku.

Ada empat lilin besar tegak berdiri di setiap sudut ruangan. Lilin-lilin itu berwarna merah. Sekobar api hinggap di ujungnya bagai matahari jingga yang merona saat senja. Di tengah tubuh lilin terpahat tulisan Cina.

Aku tidak bisa membacanya.
Entah apa yang tertulis di benda itu.

Di bawah lilin-lilin itu tergeletak banyak sajen dan sesembahan berjejer rapi. Buah-buahan segar, roti, daging-dagingan, semua ada di situ.

Bau dupa yang wangi semerbak datang silih berganti memasuki hidung. Atmospher yang kurasakan seperti di Masjid Agung Surakarta saat para jamaah beribadah dengan khusyuk ketika Sholat Jum'at.

Tiba-tiba terdengar suara ramah yang memanggilku dari kejauhan.

"Sini-sini, Mas!" Ia berkata sedikit lantang. Perlahan sosoknya semakin jelas. Seorang pria gagah paruh baya tergopoh-gopoh menjemputku. Wajahnya yang tegas nan berkharisma mengingatkanku dengan tokoh Superman.

Pria itu juga berpakaian ala etnis Tionghoa. Jika kedua krucil tadi mengenakan baju dominan warna merah emas dan atribut nan meriah. Pria ini lebih berbaju pakaian warna yang sederhana. Yakni putih dan hitam. Ia datang dengan sumringah dan memintaku untuk berjalan mengitari lilin-lilin itu.

Aku tidak dapat menolak permintaannya. Padahal seingatku, kami baru saja bertemu pertama kali di tempat ini.

Namun rasanya dia sangat familiar, akrab dan begitu dekat denganku. Tanpa banyak bicara aku menuruti permintaannya.

Kami berjalan bersama. Ia memegang pundakku untuk berjalan di sebuah jalan sempit di sepanjang area lilin dengan penuh sajen sesembahan tersebut.

Aku melangkahkan kaki dengan sangat hati-hati. Sesekali aku berhenti untuk memilih area untuk berpijak. Jalannya sangat sempit. Jembatannya juga. Terkadang aku harus merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.

Setiap kali aku berjarak dekat lilin, biasanya akan muncul kilatan-kilatan berbentuk gambar yang pernah aku alami di masa lalu. Semakin mendekat semakin banyak visualisasi. Ini sangat menakjubkan!

Satu persatu lilin demi lilin berhasil aku kelilingi. Hingga akhirnya aku tiba di jembatan dengan sungai kecil mengalir di bawahnya.

Di seberang jembatan sudah tidak ada ruangan lagi. Yang terlihat hanya ada dinding dengan pintu berwarna putih yang misterius dan berpendar. Pria paruh baya itu mempersilahkanku untuk berjalan di jembatan.

Aku tersenyum sebagai tanda perpisahan kepadanya. Belum usai senyumku hilang. Tiba-tiba datang makhluk bercahaya putih menggengam dan menyangga badan melalui bawah pundakku.

Posisinya kurang lebih seperti orang tua yang sedang mengajari anaknya untuk berjalan saat balita. Makhluk itu bertangan namun tak berkaki. Dan terbuat dari cahaya.

Atau semacam itulah. Entah mengapa semua penglihatanku saat itu campur aduk dan tumpang tindih dengan realitas-realitas yang lain.

Sensasi saat makhluk putih bercahaya itu datang, tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Rasanya sangat terang, aneh nan ganjil, mistis namun menentramkan.
Aku berjalan di jembatan itu dengan kecepatan yang tak terpikirkan.

Kami melewati itu dengan hening. Hingga separuh jalan menuju sisi jembatan yang lain, makhluk putih itu berbicara ke dalam hatiku.

"Dua puluh tiga!" Begitu ia berguman dengan suara bergetar nan seram.

Hah, aku bingung.

"Apa maksudnya dua puluh tiga!?" Tanyaku dengan penuh keheranan.

"Harusnya kamu mati di usia dua puluh tiga!" Jawabnya lagi menggema hingga relung jiwa.

Aku terperanjat! Saat ia mengucapkan kata-kata itu, tubuhku amblas teronggok di tengah jembatan nun jauh di bawah sana. Sebuah sensasi 'pelepasan' menyelimuti seluruh tubuh astralku. Kewarasanku terhempas ke arah langit.

Aku tersadar usiaku ternyata sudah lebih dari dua puluh tiga! Sudah lebih tujuh tahun tenggat waktu itu berlalu.

Dan sialnya aku harus meninggalkan tubuhku di bawah sana dengan semua kebingungan mengenai umur yang belum terjelaskan.

Aku terus melayang ke atas dengan sangat cepat. Terbang bagai pesawat yang lepas landas dari bumi menuju ke tempat yang tidak diketahui.

Pandanganku tidak berfungsi karena laju yang sangat cepat.

Yang tergambar hanya warna gelap yang kadang berganti-ganti dengan kilatan-kilatan cahaya berpendar.

Terus!
Terus ke atas!
Menembus langit!
Membuncah awan!
Sampai batas cakrawala yang kemudian tanpa jeda, aku langsung dihempaskan lagi ke bumi.

Blaaarr!!!!

"Huaaaakkkhh!!!!"
"Ohoookkkhh!!!"
Aku terkesiap! Nafasku tersengal-sengal!
Netraku yang tadi gelap perlahan mendapatkan rupa.

Pandanganku yang semula kabur sudah bisa menangkap gambar. Gambar itu adalah langit-langit kamarku yang remang. Pantulan lampu neon berwarna putih di antara dinding.

Keringat dingin mengucur di pelipis. Dada berdebar kencang. Tubuh gemetar tak tentu arah.

"Yon, tangi! Ayo sahur!" Suara mamak membuat segalanya menjadi normal.

Aku benar-benar berada di rumah.
Aku bangun sambil menenangkan diri.

"Asuuu! Ono opo iki mau, Cuk!!?"
Umpatku di dalam hati.

Dari kejauhan terdengar lantunan orang-orang yang membaca Al Quran. Itu adalah tanda jika waktu sahur hampir habis.

Aku ingat jika lebaran tinggal beberapa hari lagi. Aku juga ingat jika ini adalah pertama kalinya puasa Ramadhan tanpa simbah.

Mengambil nafas panjang.
Sambil berpikir keras.
Apa maksud mimpi barusan.
Di dalam kepalaku bersliweran adegan demi adegan yang baru saja aku alami di alam bawah sadar tersebut. Sangat jelas baik dalam rupa, suara, bahkan sensasinya.

Jika seharusnya aku mati di usia 23, apakah tenggat waktu yang kujalani hingga hari ini layak untuk menebus kematian tersebut?

"Ndang tangio, Yon!! Wis meh subuh, ki lhoo!!" Bentak mamakku dari dapur.

Ah, sudahlah. Kepalaku gak bakal kuat memikirkan hal yang bukan urusanku. Aku segera beranjak ke dapur untuk sahur sambil bersyukur bahwa aku benar-benar sudah berada di rumah.

Mujix
Work hard die fast!
Not work hard, you will be poor people!
So what you choose!?
Dukoh, 29 Juni 2019