megamendungkelabu

Jumat, 09 Oktober 2020

Genteng Bocor

"Bajinduuuul!! " aku mengumpat tatkala melihat buku-buku di atas meja yang basah gara-gara air hujan. Buku baru favoritku, 'Membuat Komik' karya Scot Mc Cloud kusut terguyur seember tirta dari luar angkasa.  

"Cenuut...Cenuuut... "
Wadooh, kepalaku langsung berdenyut kencang. Mataku bergegas mengarahkan pandangan ke berbagai arah, dan kabar baiknya adalah, Alhamdulillah laptopku aman.

Kekecewaanku sedikit mereda. Tak terbayangkan jika yang basah kuyup adalah laptop. Pikiranku saling melompat sibuk mencerna apa yang terjadi. 

"Okey,  semuanya masih bisa dikendalikan." batinku. 

Dengan tangkas aku segera memindahkan semua buku yang basah dari meja ke tempat yang lebih kering. Dan sekali lagi, aku memastikan bahwa laptop tersebut aman. Ok,  it's big deal. Aku gak sial-sial amat, kok.  

Cuman ya gitu, agak kecewa doang sih gara-gara buku idolaku kusut.  Rasanya kek 'Indomie goreng yang jatuh di wastafel saat meniriskan air kuahnya'.  Namun sekali lagi aku tegaskan,  Aku gak sial-sial amat, kok.  Tenan. 

Semua buku yang basah sudah hijrahkan di lantai. Aku menghela nafas lega, walaupun kepala masih nyut-nyutan memikirkan peristiwa ini. 

"What the hell is that!?" begitu pikirku, jika ditranslate bahasa Planet Namec: "Bajindul,  kok iso seeh!?".

Aku menyusun semua hal yang ada di pikiran satu per satu. Bentar,  bentar,  Jadi sore ini hujan, agak deras juga sih. Namun tidak ada angin kencang seperti biasanya. Harusnya aliran air di genteng aman dong ya!? 

Sore ini,  tepat saat hujan turun, aku berada di ruang tamu, sedang kelelahan karena mengejar deadline dan membahas revisi klien Fiverr via ponsel pintar. Wuih. Belagu ya guwe. 

Kenapa di ruang tamu dan memakai ponsel pintar?  Karena aku butuh atmosfer baru. Seharian di ruang kerja menatap laptop benar-benar melelahkan. Fisik dan mental sedang berada di titik rendah. Jika kata para bucin 'rosone kesel, koyo ditinggal pas sayang-sayange'. 

That's why (sok keminggris adalah nama tengahku) aku gak sadar dan hilang fokus untuk beberapa puluh menit saat hujan sore ini. 

Padahal saat hujan datang aku biasanya  punya kebiasaan muter-muter rumah mencari titik kebocoran. Kenapa aku berkeliling rumah?  Karena hujan adalah cuaca yang anomali. Yes, cuaca berhujan itu random, kek kabar doi yang tiba-tiba nikah tanpa ngabarin elu sama sekali. 

Dan logika manusiaku bilang,  jika hujan 'nyantai' seperti ini biasanya sih rumah gak akan ada yang bocor. Biasanyaaaa. 

Makanya sore itu aku duduk-duduk ganteng aja di ruang tamu. 

Adzan Maghrib berkumandang. Aku belum bergerak dari sofa. Pekerjaan sudah hampir paripurna. Suara gemericik hujan di atas genteng mulai mereda. Hawa dingin menyeruak dari balik jendela. Bau tanah basah yang bercampur dengan suara katak nun jauh di kebun benar-benar syahdu. Teh panas yang aku seduh beberapa saat yang lalu sudah mulai menghangat. Aku sangat suka cuaca setelah hujan, semua terasa sangat lengkap, cuman kurang calon istri yang datang bawain pisang goreng doang. 

Tubuh mulai agak lelah. Aku segera berjalan menuju kamar. Ke sebuah peraduan di mana aku berkarya dan bekerja. Saat aku membuka pintu itulah seketika tubuhku membeku. 

Kamarku bocor!!!!
Air hujan di mana-mana!!!
Korbannya adalah buku-buku favoritku!!! 
Tidaaaaakkkkkk!!! 

Dan begitulah kronologi kisah sial petang ini. Aku mengambil keset untuk mengeringkan meja. Buku 'Membuat Komik' karya Scot Mc Cloud masih aku timang-timang dengan perasaan gamang. 

Buku ini adalah favoritku. Salah satu buku yang mengubah hidupku. Baru beli minggu lalu menggunakan akun Buka Lapak-nya Mas Dody YW. Kenapa beli di buka lapak? Soalnya sudah tidak terbit dan tersedia di toko buku. 

Ya secara buku ini terbitan tahun 2007. Saat buku ini muncul, aku masih mahasiswa dan tidak terlalu tertarik untuk membelinya. Yah,  saat itu aku memang sedang berada di situasi dalam mode 'bertahan hidup' sih. Jangankan buat beli buku,  buat makan aja susah. Dari masa-masa itu aku sadar bahwa 'previlage' itu memang sangat penting dalam menentukan nasib seseorang. 

Andaikata pada tahun 2007 aku mendapatkan passionku lagi dalam berkomik dan mempunyai uang yang banyak untuk membeli buku 
Buku 'Membuat Komik' karya Scott Mc Cloud ini,  mungkin aku bisa 'memotong' banyak masa yang (sepertinya) terbuang percuma dan segera menjadi komikus berilmu. 

Mungkin. Tidak tahu juga sih. Soalnya hal yang bersifat anomali dan random selain 'hujan' adalah 'kehidupan'. Quotes dulu,  Vro, wkwkkwk!

Buku bersejarah itu masih basah. Perasaan masih resah. Cuaca setelah hujan yang harusnya aku sukai ini tiba-tiba membuatku gelisah. 

Dan di saat susah seperti ini, biasanya akan datang 'kalimat-kalimat' pendewasaan dari diri sendiri yang dari hari demi hari sudah terasah. 

"Huft...  Yowislah... " ucapku. 
"Toh yang basah cuman kertasnya." batinku. Ya, benar. Yang basah hanya kertasnya. Aku terlalu meletakkan emosiku ke sebuah materi fana bernama 
'Buku 'Membuat Komik' karya Scott Mc Cloud yang basah'.

Aku melupakan esensi yang paling penting yakni, 'ilmu komik di buku itu tidak akan luntur karena terguyur air hujan'. Pelan-pelan aku mencoba memahami dan menerima pernyataan itu. Pelan-pelan.

Detik demi detik berlalu,  perasaanku sudah sedikit pulih. Buku itu aku letakkan di lantai bersama buku-buku lainnya yang basah. Malam ini aku sengaja membiarkannya tergeletak di sana. 

Aku bergegas mengambil sajadah untuk melakukan sholat maghrib yang sudah terlambat belasan menit. Di sela-sela ibadahku ada harapan kecil yang aku selipkan kepada Tuhan. 

Semoga esok hari cerah. Semoga esok hari aku sehat. Agar aku bisa menjemur buku favorit, lalu bisa membacanya dan mendapatkan ilmu pengetahuan baru.

Dan wah. Rasa 'cenat-cenut' di kepalaku tidak terasa lagi. Apakah artinya aku sudah berdamai dengan masa lalu dan nilai sentimentil buku ini? Semoga saja.  Hihihi <3.

Mujix
Komikus yang sedang bingung dan sedang memikirkan cara mencari jodoh di masa pandemi ini. 
Simo, 13 Oktober 2020