megamendungkelabu

Rabu, 17 Agustus 2016

Penerbangan Yang Gagal

"Perhatian penumpang Laiyon Air untuk segera kembali ke tempat duduk dan mengenakan sabuk pengaman anda di karenakan cuaca kurang baik untuk penerbangan. Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih."

Aku bergidik ngeri saat mendengar pengumuman itu. Cuaca kurang bersahabat!? Jangan bercanda! Sekejap saja sholat asharku kacau. Entah ruku, sujud atau tahiyat semuanya sama saja.

Ternyata beribadah dengan khusuk di pesawat terbang di ketinggian entah berapa ribu kaki itu sangat mustahil untuk seorang komikus berambut kribo seperti aku.

Sholatku buyar, aku memandang ke arah luar jendela pesawat. Terlihat awan bergumpal bagai gula kapas. Sebagian berwarna putih, sebagian berwarna abu-abu.

Hal yang paling menyita perhatianku saat ini adalah sayap pesawat. Benda itu terlihat sangat rapuh, beneran, bergetar-getar dan berbunyi mendencit mengerikan. Di saat dramatis itu aku tiba-tiba mendapat satu pencerahan.

Mungkin sholatku kali ini adalah sholat gagal dan tidak sempurna.

Namun sholatku kali adalah sholat dimana aku benar-benar dekat dengan Tuhan, Allah, Dewa, atau apapun kalian menyebutnya.

"Hfffffttt...." aku mengambil nafas panjang dan menata sholat tersebut dengan seksama. Entah ibadah itu gagal atau cacat aku tidak perduli.

Aku melanjutkannya dengan perlahan, sambil sesekali melirik ke luar jendela. Kacau. Aku mencoba menenangkan diri dengan sebuah nasihat dari Pak Iyok.

"Numpak pesawat kui sing iso mbok lakoni mung siji. Pasrah."

Petuah nan bijak itu aku terima beberapa minggu yang lalu sesaat sebelum pergi ke Jakarta menaiki pesawat terbang.

Bepergian dengan benda logam yang melayang di atas cakrawala itu sesuatu yang baru untukku. Sangat baru malah. Untuk sesuatu yang baru dan belum pernah kujamah, mempelajari seluk beluk mengenai teknis adalah wajib. Nah, makanya deh sebelum berangkat aku banyak googling  dan curhat.

Salah satu curhatnya adalah dengan Pak Iyok. Veteran aktivis komik yang sudah berkali-kali naik pesawat terbang.

"Pak, nek ono 'opo-opo' pas numpak pesawat kudu piye? Padahal posisi wis neng angkoso kono."

Pak Iyok memandangku dengan datar sambil berkata satu kalimat pamungkas.

"Yo wis noh" ucapnya yang kemudian dilanjutkan dengan obrolan tentang 'pasrah'. Mau bagaimana lagi, sepertinya memang itu solusi untuk menghadapi apapun situasi tersebut.

Kecuali kamu seorang Superman atau One Punch Man. Hahaha

Pesawat yang aku tumpangi masih berada di awang-awang. Sholatku juga sudah sampai pada gerakan salam.

Semuanya serba dramatis. Aku menengok dua pramugari yang duduk di sampingku. Mereka masih mengenakan sabuk pengaman. Mataku melirik raut wajah pramugari itu.

Tak terlihat wajah panik ataupun takut. Mereka sepertinya sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Dan yang paling penting....

Dua pramugari ini lebih cantik dibandingkan pramugari sebelumnya saat aku berangkat. Astagfirullah. Sepertinya darah kelaki-lakianku tidak memikirkan situasi genting tersebut. Susunan DNA dan molekul di dalam tubuhku berteriak dengan lantang bahwa keadaan tidak seburuk itu.

"Mau mati kek! Mau pesawat meledak kek! Terserah!!" guman sesuatu nun jauh di dalam pikiranku.

Iya juga ya, mati hidup seseorang siapa yang tahu.

Akhirnya aku mencoba menikmati sisa penerbangan dengan perasaan yang sedikit lebih baik.

Pats. Lampu tanda 'mengenakan sabuk pengaman' sudah padam. Sepertinya daerah dengan cuaca yang kurang baik telah terlewati. Mbak-mbak pramugari juga beranjak dari kursinya sambil mencium pipiku.
Euhh... Sepertinya aku mulai berhalusinasi, acuhkan saja mulut besarku.

Aku memandang ke luar jendela. Di hadapanku terbentang pemandangan yang menakjubkan. Ada hamparan kotak-kotak kecil tertata secara acak. Ya, kotak-kotak kecil itu adalah pemukiman serta gedung-gedung megah yang kamu temui setiap hari.

Bentuknya beragam. Semua bangunan itu terlihat sangat kecil dan terlihat rumit. Sesekali terlihat sebuah garis panjang berwarna coklat membelah daratan.

"Itu pasti jalan tol yang sedang dibangun" begitu pikirku.

Kalau diperhatikan lebih seksama, nampak kumpulan butiran kecil bergerak pelan. Aku yakin benda-benda itu kendaraan yang tengah melintas di jalan raya. Wuiiiih. Bisa lucu gitu ya.

Semuanya ter-komposisi se-dekemikian rupa hingga membuatku berdecak kagum. Apalagi ketika sesekali matahari sore mengradasi semua pemandangan berwarna jingga yang lembut. Nikmat apa lagi yang kamu dustakan, Jix!!!

Gila, enggak menyangka gara-gara komik aku bisa naik pesawat dan melihat pemandangan seindah ini. Aku melupakan semua rasa takut dan resah. Entah sejak kapan hatiku mendadak penuh haru. Semua kenangan menyeruak tanpa permisi. Baik, buruk, semua bercampur aduk.

Jika kali ini aku masih hidup, aku ingin hidup dengan lebih baik.

Aku teringat kedua orang tuaku di Bogor. Aku yakin kedatanganku beberapa hari di sana, membuat mereka bahagia. Namun itu belum cukup.

Jika aku masih dibiarkan hidup oleh Tuhan, Allah, Dewa atau apapun kalian menyebutnya, aku ingin bisa lebih... Lebih... Lebih membuat mereka bahagia.

Beneran, Jika kali ini aku masih hidup, aku ingin hidup dengan lebih baik. Aku berjanji dengan sepenuh hati.

Mujix
Dan postingan ini diketik sesaat setelah turun dari pesawat dan dilanjutkan di rumah saat perasaanku sedang sangat baik.
Simo, 30 Agustus 2016