megamendungkelabu

Minggu, 08 Januari 2017

lelaki bodoh

"Mas Mujix, dimana?"
"Mas Mujix kamu masih di Gramed? Aku tak ndisik yoo"
"Btw makasih banget ya gambarnya hehe"
Aku tertegun membaca chat tersebut.

Mataku segera menyapu seantero ruangan toko buku di Gramedia.
Tidak ada!

Perempuan bergincu merah muda itu tidak ada dimanapun. 
Penglihatan semu adegan ia berpamitan pulang dan menggenggam tanganku saat berjabat tangan hanya khayalan semata.

Sudahlah.

Langsung saja pesan itu aku balas dengan perbincangan umum nan basa-basi seakan-akan tidak terjadi apapun.
Benar. Tidak terjadi apapun.

Aku menghela napas panjang dengan sedikit berguman lirih.
"Sudah selesai. Dasar lelaki bodoh!"

Dalam sekejap mata, keramaian suasana di ruangan penuh buku itu mendadak sunyi senyap.
Ingatanku melesat beberapa bulan yang lalu.
Ingatan dimana dia hadir pertama kali di dalam kehidupanku.

***

Pertengahan tahun yang lalu.
Aku berada di Gedung Museum Radya Pustaka untuk menggelar Workshop Komik bersama Simon Hureue. Proyek seru kerjasama antara Komisi Solo, LIP Yogyakarta dan Museum Radya Pustaka ini menjadi hari luar biasa untuk hidupku.

Gimana enggak. Tiga hari bersama komikus top Paris Prancis ini memaksaku untuk bercengkrama dengan hal yang bernama live skecth dan bahasa Inggris. Industri komik di Eropa sangat menarik untuk diperbincangkan. Satu hal yang pasti, Prancis memiliki dedikasi tinggi untuk hidup demi dan untuk komik.
Kira-kira seperti itu, saat aku mencoba men-translate ulang omongan Simon. Ah, bahasa Inggris itu sulit! Sama sulitnya melanjutkan tulisan blog ini. Sama sulitnya untuk jatuh cinta ketika sedang patah hati.

Selama berada di depan forum bersama Simon, aku berusaha mengeluarkan semua kemampuan. Walau terkadang bingung dan terhenti mendadak karena bingung mencari arti kosakata, acara tersebut berlangsung dengan sukses. Peserta acara sangat antusias dengan diskusi tersebut. Banyak teman dari berbagai komunitas datang, dan itu sangat menyenangkan. Teman baru, pengalaman baru, dan atsmosfir baru merupakan pelipur lara yang tepat untuk segala rutinitas melelahkan. 

Acara diskusi dengan Simon sudah selesai. Para peserta tumpah ruah memenuhi depan pelataran Museum Radya Pustaka. Aku menyalami semua orang di sana dengan mengucapkan terimakasih karena mereka mau meluangkan untuk datang di acara ini. Satu per satu. Hingga akhirnya sampailah aku di sebuah pertemuan sederhana dengan perempuan tersebut. 

Jilbab hijau yang dikenakan perempuan itu cukup menarik perhatianku. 
Siapa ya? Otakku berpikir dengan keras me-nyortir semua gambar wanita yang pernah nempel di otak. Dan wajah perempuan itu tidak terdaftar di brankas memori. Oh. Oke. Cukup. Aku paham. Saatnya berkenalan.
Perbincangan basa-basi dan formalitas kami berlangsung dengan cepat. Nothing Special. Wajah manisnya sedikit mengingatkanku dengan wajah mantan pacarnya kakakku. Beneran agak mirip, kecuali warna gincunya yang berwarna merah muda. Beberapa bulan kemudian Perempuan itu meluncurkan komik baru. Saat aku ingin membelinya langsung, dia malah menawarkan untuk barter dan COD.

"Uoaah. Ada kesempatan buat kencan bareng cewek!!" Pikirku dengan gembira.
Yah emang sudah lama aku enggak hang out bareng manusia berjenis kelamin wanita. 
Menyedihkan sekali. Kami berjanji untuk bertemu di sebuah kafe di daerah Kota Barat. 
Sepertinya bakal menjadi pertemuan yang menyenangkan.

Aku tiba di kafe bernama Playground sehabis adzan Maghrib. Senja sebelumnya aku habiskan di food court Solo Square bersama mas Didik Wahyu Kurniawan, penulis idola kawula muda dari ISI Surakarta. Kami berdua seperti biasa memperbincangkan dunai tulis menulis. Saat ini Mas Didik tengah gencar dengan aktivitas menulisnya. Satu hal yang aku kagumi dari beliau adalah semangat pantang menyerahnya dalam menuangkan kehidupan melalui tulisan. Hingga detik ini sudah 5 buku beliau luncurkan, yang paling baru berjudul Kun Si Dukun. Belilah jika memiliki rezeki, apresiasi kalian adalah sumber semangat bagi penulis-penulis seperti kami. Setelah selesai bercurhat ria mengenai dunia tulis menulis (dan dunia percintaanku yang masih entah) aku menodong beliau untuk mengantarkan komikus yang papa ini menuju Playground.

Dan begitulah. Aku dan perempuan bergincu merah muda itu bertemu kembali.
Bertemu kembali di sebuah kafe yang menurutku 'mahal' buat kantong komikus berambut kribo ini.

Suasana kafe Playground petang ini cukup lengang. Tidak terlalu ramai seperti malam-malam dimana aku biasa nongkrong di sana. Yah. Suasana yang menyenangkan. Kami berdua berjalan pelan menuju ke meja dimana banyak makanan dan cemilan menggoda untuk disantap. Lampu menyala berwarna coklat yang berpadu dengan tembok warna-warni itu semakin membuatku yakin kalau terkadang ada hari dimana kita harus terlihat bego saat bersama wanita.

Beneran, sore itu aku tidak ada ganteng-gantengnya sama sekali. Adegan tolol semacam 'bingung cari sendok' hingga 'muka mengeryit ketakutan melihat daftar harga' menghiasi tingkah polahku yang canggung. Sial. Aku tidak akan menyerah. batinku sambil pasang muka 'sok cool' saat mengambil sate usus. Kami segera saja mencari tempat yang asik untuk ngobrol. 

"Maaf Mas Telat! Tadi aku harus ke rumah dulu setelah dari Jogja! Enggak nunggu lama kan?" katanya sambil tersenyum. 

"Enggak, aku juga baru sampai kok!" ujarku sembari pasang muka ganteng tapi penuh debu dan keringetan gara-gara mendung yang enggak jadi hujan. 

"Hehehe, iya tadikan kita berpapasan di depan" dia tertawa kecil dengan meletakkan tasnya ke bangku.

"Jadi, bagaimana kabarmu? Sibuk apa nih?" Langsung saja aku keluarkan pertanyaan pamungkas!
Kenapa pertanyaan tersebut aku sebut 'pertanyaan pamungkas'!? Soalnya ada kata 'Bagaimana'. Dan apabila seseorang dipertemukan dengan pertanyaan yang ada kata 'Bagaimana'-nya, seseorang tersebut diharuskan menjawab dengan uraian yang panjang. Begitulah,  beberapa menit kedepan, aku memiliki waktu untuk sekedar menenangkan diri agar pertemuan ini tidak kacau balau. 

***


***
Mas Mujix, dimana?"
"Mas Mujix kamu masih di Gramed? Aku tak ndisik yoo"
"Btw makasih banget ya gambarnya hehe"
Aku tertegun membaca chat tersebut. Langsung saja pesan itu aku balas dengan perbincangan umum nan basa-basi seakan-akan tidak terjadi apapun.

"Iyok. Sip sama-samaa. Ati-ati neng ndalan"
Yah. Pesan tersebut bermakna ganda, untuk mendoakan untuk keselamatan perempuan bergincu merah muda dan petuah untuk diriku sendiri agat berhati-hati.

Karena jalan yang harus dilalui oleh seorang lelaki bodoh untuk memahami wanita sangatlah terjal, membingungkan dan tentu saja penuh liku-liku.

Mujix
Jeda tersebut sebenarnya bisa dipersempit 
atau mungkin akan hilang jika
aku sudah menjadi 'orang besar'.
Purwosari, 9 Januari 2017