megamendungkelabu

Kamis, 22 November 2018

Gaya Gambar Personal?

Beberapa hari yang lalu, aku membuka komisian 'gambar stiker whatsapp personal versi muka kamu' di instastory, dengan mahar 350K, kamu dapat 9 stiker unyu. Jika kamu berminat, boleh PM.

Di postingan ini aku tidak membicarakan soal komisian stiker. Di postingan ini aku ingin bercerita soal gaya gambar, yang kebetulan semua kisahnya dimulai dari komisian yang aku bikin.

Saat komisian itu aku lempar di Instastory @mujixmujix, nah ada teman yang order, udah aku kerjain sampai selesai. Beberapa hari kemudian, tiba-tiba 'Mak clililuuung', ada yang ngirim stiker dari sang klien di HP-ku, namun muncul dari seorang teman yang lain. Terus dia bilang karakter gambarku sudah kuat banget. Aku berdehem bangga!

Tak terlalu lama berselang dari kejadian itu, muncul postingan dari seorang teman di linimasa FB yang isinya tentang, 'ia  resah karena gaya gambarnya dikatain mirip mangaka terkenal oleh netizen!'. Ada juga ya kebetulan semacam itu.

Seperti biasa, postingan itu aku buka dalam sekali klik. Banyak yang memberikan komentar. Banyak yang memberikan pujian, sebagian lainnya memberikan emotikon 'love' dan 'like'.

Postingan semacam itu sangat menggodaku agar ikut berkomentar. Di kepala langsung berkecamuk banyak opini dan teori soal gaya gambar yang 'baik' menurut sudut pandangku, tentu saja.

Emosi sudah sampai di ubun-ubun, tinggal satu hentakan lagi, jari ini  sudah bersiap menari binal untuk memberi komentar toxic semacam ini:

"Iya! Gaya gambarmu mirip si anu, kalau gak nyaman ya jangan terusin nggambarnya. Kalo kamu sudah oke ya jangan dengerin komentarnya!".

Tiba-tiba 'sesuatu' menangguhkan niat tersebut. Aku menghela napas panjang dan memutuskan untuk membiarkannya. Aku mengambil jeda sejenak. Gawai kuletakkan di atas meja. Mataku menerawang jauh. Melintasi ruang dan waktu mengingat prosesku di masa lalu.

Ya, sebaiknya memang aku harus membiarkan. Bukan karena aku tak sayang, bukan karena aku tak perhatian.
Aku hanya merasa, urusan gaya gambar adalah ranah personal seorang seniman.

Sebuah teritori yang tidak bisa kau injak sembarangan dengan kata 'sebaiknya' atau 'harusnya kamu'.

Yohohoho. Candu sekali lho, saat kamu 'merasa tahu' lalu bisa memberi nasihat sok menggurui 'tanpa harus berpikir'. Sesuatu yang membuat aku paham, kenapa postingan bermuatan SARA atau politik selalu ramai penuh dinamika.

Baiklah. Walau postingan itu aku abaikan, nyatanya hati nuraniku berkata lain. Aku jadi ingin membagi soal opiniku mengenai 'how to find your soul mate'.

Euh anu, maksudku bagi seorang seniman, gaya gambar adalah belahan jiwa yang akan menemaninya di sepanjang masa. Jadi tidak salah dong jika aku menyebut gaya gambar adalah 'soul mate' bagi seorang kreator. *ngeles.

Jadi bagaimana cara menemukan gaya gambar? Gaya gambar yang elu banget! Gaya gambar yang membuatmu gak bakal dilabeli oleh nama siapapun! Gaya gambar yang (mungkin) membuat kamu menjadi kreator yang tajir melipir kayak tapir yang melintir? Check this out!

Aku akan memulai 'how to find your soul mate' dari pendapat orang lain.

Menurut pendapat Kasuhiko Shimamoto di komiknya berjudul Blue Flame, untuk menemukan gaya gambar ada banyak cara. Salah satunya ialah, tirulah gaya gambar dari kreator yang kamu kagumi.

Tiru sampai bisa, namun jangan meniru mati-matian. Jadikan sebatas referensi saja.

Bisa juga dengan menciptakan gambar campuran orisinal dengan mencampurkan gaya gambar seseorang dengan gaya gambar seseorang yang lain.

Mengutip istilahnya Pak @pinotski, gunakanlah cara ATM Mandiri. Amati, tiru, modifikasi secara mandiri. Yes. Mengamati itu penting. Lalu tiru saja gambar-gambar yang kamu sukai. Lalu modifikasi dong. Lakukan secara terus menerus secara mandiri. Mandi sendiri.

Makin sering beksperimen dan berlatih maka akan semakin cepat terbentuk gaya gambar personal seorang kreator. Begitu pendapat beliau. Hampir sama dengan apa yang Saiko lakukan di manga Bakuman.

Namun jika kamu seorang Eiji Nizuma, gambarlah apa yang ingin kamu gambar! Ah bukan seorang Eiji Nizuma-pun, menggambar apa yang ingin kamu gambar adalah sebuah keniscayaan.

Nah. Setelah paragraf ini, aku akan berkisah soal proses dalam menemukan gaya gambar yang personal versi Mujix. Jika kamu sedang sibuk dan tidak punya waktu luang, langsung saja melompat ke 5 paragraf terakhir. Bisa dibilang 5 paragraf itu adalah nyawa dari postingan ini. Agak panjang soalnya.

Namun jika kamu ingin membaca ceritaku dalam berkarya, bolehlah dibaca sampai selesai. Siapa tahu jatuh cint... eh maksudku bermanfaat. Hehehe

***

Hidup tempat dimana kita tinggal terkadang tidak selalu sesuai dengan Manga Blue Flame ataupun Bakuman. Kadang lebih getir, kadang lebih dramatis bagimu namun biasa aja bagi orang lain.

Di suatu masa lalu yang biasa bagi orang lain, pertama kali aku berkarya dengan meniru gaya gambar dari Dragon Ball dan Digimon. itu terjadi saat SMP. Kala itu acara televisi di minggu pagi adalah surga.

Saat di SMK kelas 1 aku tergugah gaya gambarnya Takehiko Inoue melalui manga Slam Dunk, kalau tidak salah saat itu animenya tayang di TV7. Uh. Nostalgia sekali. Gambarku berubah? Yes! Waktu berjalan lagi.

Di sepanjang kelas 1 dan kelas 2 ada mata pelajaran gambar bentuk. Di pelajaran itu aku digembleng untuk memperbaiki anatomi, dan proporsi.

Aku benci pelajaran itu. Kenapa? Soalnya kalau gambarmu jelek dan kesan dimensinnya gagal, maka gambarmu akan dikatain 'gepeng' dan dapat nilai 10 dalam angka romawi. Alias 'x'. Alias disuruh menggambar ulang.

Aku agak benci pelajaran itu. Namun aku tahu kalau ilmu anatomi dan proporsi itu penting. Lambat laun pondasiku akhirnya agak terbentuk. Terimakasih Pak Anang.

Belum cukup dengan proporsi dan anatomi, suatu saat di kelas 2 aku magang di Bengkel Komik Solo. Sebuah studio komik lokal paling keren di masanya.

Tempat itu makin memberi pengaruh soal pentingnya proporsi dan anatomi saat MEMBUAT komik. Saat itu aku tercerahkan. Bahkan temanku sampai bilang, "gambarmu 'bengkel komik' banget, banyak debu-debunya". Terimakasih Pak Medi. Terimakasih Pak Iyok. Terimakasih Pak Andra.

Begitulah, saat lulus SMK, gaya gambarku saat itu agak 'n-Dragon Ball' sedikit 'n-Digimon' namun 'm-Bengkel Komik' sekali, walau aslinya kalau dilihat dari sudut pandang komersial agak berantakan dan jelek parah. Tapi aku tetep bangga dong.

Saat itu aku sudah sangat percaya diri dengan gambarku. Lalu, apakah prosesku dalam mencari gaya gambar selesai? Belum. Perjalanan masih panjang.

Saat kuliah di ISI Solo di jurusan TV dan Film, aku mendapatkan pekerjaan sebagai illustrator LKS. Lembar Kegiatan Siswa. Pertama kalinya aku bertemu klien di dunia nyata. Didikte dan menjadi budak gambar. Menggambar hanya untuk uang.  Sudah salah jurusan, Idealisku tergadaikan, pula. begitu pikirku saat itu.

Tugasku mengubah tulisan menjadi gambar di buku untuk anak. Menggambar suasana kelas saat belajar mengajar. Menggambar suasana kerja bakti kampung. Menggambar petani yang sedang mencangkul di sawah. Dan sejenisnya. Dan sejenisnya. Ampe mabok pokoknya.

Masa itu sangat membosankan, capek, namun demi memperoleh uang agar kuliahku lancar, semua hal yang membosankan itu aku telan mentah-mentah. Sama seperti saat aku rindu kamu, tapi kamu tidak perduli padaku. Ugh.

Pekerjaanku membuat illustrasi di LKS ternyata bukan hanya menghasilkan uang, namun juga memperkuat intuisiku dalam menggambar dengan adegan yang bagus nan efektif. Dan tentu saja menjual.

Misalnya, aku mendapat ilmu mengenai soal 'gesture tubuh tegak dan muka merengut' ternyata bisa lho dipakai untuk membuat gambar orang marah.

Sebelumnya, jika membuat gambar orang marah, aku hanya mengandalkan balon kata yang meledak-ledak dengan berbagai  umpatan kotor.

Yah, sepertinya kemampuanku berkomunikasi dalam menggambar komik semakin terasah.

Di masa kuliah semester 5 atau 6, aku lupa, era komik eropa semacam Boule & Bill, Spirou, Tintin dan lain-lain datang lagi menyerbu ke Toko Buku. Tak sebanyak manga. Namun harta karun itu sudah mulai ada.

Bagiku saat itu, Komik eropa menyimpan beberapa kekuatan yang tidak bisa kamu temukan di komik-komik negara lain. Aku suka garisnya. Aku suka panelingnya. Aku suka ekspresinya. Aku suka pewarnaannya.

Lagi-lagi aku terpengaruh. Gambarku makin 'kartun  eropa' namun 'manga jepang' agak sedikit kecampuran 'illustrasi LKS' tapi masih ada sentuhan 'Bengkel Komiknya' (udah gak muat lagi untuk menulis judul karya yang mempengaruhiku, soalnya sudah terlalu banyak).

Sejak saat itu aku terus menerus menggambar. Berbagai komik. Berbagai illustrasi. Tambal sulam gaya. Bongkar pasang. Dan akhirnya menemukan gaya gambar sekarang yang menurut orang-orang, 'Mujix Banget'.

Menurut orang-orang? Iya, menurut orang-orang. Jangan pernah mengklaim karya  yang kamu buat dengan ucapan 'ini gaya gambarku nih!', 'ini style komikku nih'.  No! Tidak semudah itu, Ferguso. Biarkan orang-orang yang menilai. Waktu terus berjalan. Aku terus menggambar.

***

Aku percaya, tidak akan pernah ada yang bisa mengalahkan kekuatan sebuah 'proses' dalam membentuk gaya gambar.

Semakin lama frekuensi menggambar, maka gaya gambar yang terbentuk akan semakin bagus dan tentu saja akan semakin punya ciri khas tersendiri. Harusnya sih seperti itu.

Hingga hari ini aku masih menerapkan kutipan bijaknya Steve Jobs, 'Stay foolish, stay hungry!'. Tetep guoblok. Tetep luwe. Dalam tanda kutip.

Aku membuka lebar-lebar cawan imajinasiku, mempersilahkan inspirasi untuk datang dan pergi. Kalau bagus ya dipakai sebagai pemutahiran kemampuan, kalau enggak ya disimpan sebagai wawasan.

Jangan khawatir jika kamu masih meniru gaya gambar orang lain. Jika kamu melakukannya dengan total mungkin saja kamu akan menjadi seperti Toyotarou. Pembuat komik Dragon Ball Super. Toyotarou diangkat langsung oleh Akira Toriyama untuk melanjutkan serial fenomenal tersebut. See!?

Dan berbanggalah buat kamu yang sudah (merasa) memiliki gaya gambar personal. Genjot terus! Kamu sudah meninggalkan jejak yang keren. Jangan lelah untuk terus berkesperimen. Siapa tahu gaya gambar personalmu suatu saat akan menjadi inspirasi kreator lain. Tuh kan!?

Mujix
Cergamis penggemar jogging dan makan pisang sambil mencari wanita yang mau disayang. Eak.
Bogor, 10 Desember 2018