megamendungkelabu

Kamis, 22 Agustus 2019

Dwi Koendoro

Dulu, dulu sekali. Kalau tidak salah mungkin 10 tahun yang lalu, aku yang ingin belajar komik dengan nekatnya men-tag atau menandai Pak Dwi Koendoro. Alasannya sederhana, ingin terhubung dengan 'legenda hidup' dunia komik yang karyanya selalu muncul di harian Kompas, yakni Panji Koming.

Kekaguman sepihak dan uforia bertemu medsos baru bernama Facebook, membuatku kalap untuk sering mengunggah gambar lalu menandai para master-master komik seperti beliau.

Kalian tahu apa yang luar biasa? Saat itu aku masih memakai nama alay yakni 'Mujiyono Sing Ra Cetho' (dipersilahkan untuk tertawa) dan gambar masih absurd, namun kok yha beliau 'selo-selo'-nya memberi komentar dan memberi sedikit ilmunya kepada 'netizen gagap' yang ingin jadi komikus seperti aku.

Saat itu aku langsung tertegun, Pak Dwi Koendoro yang 'sangat besar' itu ternyata memiliki sikap yang sangat 'low profile' dan menyenangkan. Banyak ilmu yang aku pelajari dari beliau, entah itu dari kolom komentar saat menandai karya. Atau dari komik-komik yang ia buat.

Favoritku tentu saja Sawung Kampret. Bagiku, karya itu adalah titik puncak sebuah 'peradaban komik' yang ingin aku capai. Kenapa? Karakternya hidup, ceritanya mantap, risetnya jalan, komedinya ancur-ancuran, adegan aksinya keren dan lain-lain.

Bagiku, Pak Dwi Koendoro adalah sosok guru dan idola di waktu yang sama. Sugeng tindak, Pak Dwi Koen. Swargi langgeng.

Mujix
Simo, 22 Agustus 2019