megamendungkelabu

Kamis, 09 Februari 2023

Jas Hujan dan Uang Saku

Waktu SMP aku pulang pergi dengan berjalan kaki. Jarak antara rumah dan sekolah kurang lebih sekitar 3 Km. Sebuah jarak yang membuat teman-temanku lebih memilih untuk membayar angkot. Ya,  ada angkot sebenarnya. Namun karena beberapa alasan finansial aku lebih memilih jalan kaki. Wuidih alasannya klasik amat,  bro. 

Saat itu aku hanya mendapat uang saku 1000 rupiah. Aku enggak tahu apakah nominal itu termasuk besar atau kecil dalam ukuran anak SMP yang tinggal di desa pada tahun 2001, namun yang pasti kala itu aku merasa kalau jumlah tersebut udah cukup.

Jika aku naik angkot ke sekolah,  maka jatah uang Rp.400 sudah pasti habis dibiaya transpot. Tersisa uang Rp. 600. Seingatku uang segitu sudah cukup untuk membeli Soto, dan es teh di warung-warung dekat SMP-ku. Yak hanya soto dan es teh. Tanpa gorengan. Misal aku nekat beli gorengan, tidak ada es teh. Jika aku keseleg bakal berbuah menjadi pertaruhan antara hidup atau mati. Pokoknya udah kek Rambo saat perang di ngelawan pasukan Vetnam dah! Enggg berarti nominalnya cukuplah ya. Cukup memprihatinkan. Hahhaaha

Bisa dibilang kebiasaan (atau keadaan?) ini terus berlangsung sejak aku masuk ke kelas tersebut hingga kelas 2 SMP. Seingatku tidak ada kenaikan jatah uang saku. 

Lalu di masa pertengahan pra remaja ini aku bakal mengalami sebuah peristiwa yang bakal mengguncang mindset finansial seorang bocah SMP. Kalian penasaran? Jadi begini ceritanya. 

***

Aku menjalani kehidupan SMP dengan mengantongi sifat 'keranjingan membaca dan menonton film kartun'. Sifat yang aku bawa dari SD.  Dua buah kebiasaan yang tidak lazim untuk anak pra remaja. Kok tahu tidak lazim? 

Ketahuan dong dari pengunjung perpustakaan. Selama bersekolah di situ sangat jarang sekali ketemui teman-temanku yang membaca buku di perpustakaan. Seingatku hampir gak ada. Kebanyakan mereka ada yang mulai belajar merokok.  

Ketahuan dong dari obrolan mereka saat istirahat. Selama bersekolah di situ sangat jarang sekali kutemyi teman-temanku yang membicarakan betapa serunya kisah film kartun di hari Minggu pagi. Seingatku hampir gak ada. 

Di perpustakaan berisi banyak buku. Mulai buku paket,  ensiklopedia, majalah,  sampai novel-novel random. Favoritku ialah majalah Mop,  Penjebar Semangat,  sama novel Lupus. Kala itu aku memang suka membaca banyak hal. 

Hingga suatu hari aku sudan bosan dengan koleksi perpustakaan sekolah. Bukunya gak update-update. Di sebuah kesempatan aku menjelajah Pasar Simo. Tempat ini berada di sebelah timur dari sekolahan, jaraknya sekitar 2,5 Km. Aku suka sekali menyambangi pasar ini kala weton pahing tiba. Sebuah saat di mana semua orang di seluruh semesta kayak 'tumplek blek' berada di tempat itu. 

Pasar Simo saat pahing adalah karnaval yang penuh hingar bingar. Aku bisa bertemu banyak hal yang menarik saat waktu itu tiba. 

dan menemukan...  Apa coba? 

Rental Komik dan VCD, gaes!! 
Rental komik dan VCD!!  Gokil!! 

Darimana aku tahu kalau itu rental komik?  Jadi pas jalan-jalan di pasar aku melihat sebuah kios dengan banyak buku. Wuih koleksinya bikin terkesiap!  Banyak komik!! Sebuah perpustakaan idamanku! 

Langsung deh aku numpang baca di kios tersebut. Dari satu buku ke buku lain! Membaca banyak komik dan bergembira. Hingga suatu waktu aku mampir lagi dan membaca di sana terjadilah peristiwa yang mencengangkan. 

Aku sedang khusyuk dan tertawa kencang membaca Kungfu Komang. Tiba-tiba terdengarlah suara kencang yang menghardikku. 

"Dek!  Bukune ki ora entuk di woco neng kene!?!" 

Aku bingung. Lah buku kalo gak dibaca terus diapain dong? Dibakar!? Udah kayak kelakuan rezim negara konoha aja. 

Mbak-mbak itu lalu menjelaskan kalau buku-buku itu disewakan. Alias rental. Nah syarat untuk menyewa buku-buku itu ialah mendaftar dan meninggalkan kartu pelajar (atau uang jaminan ya? Aku lupa). Dan begitulah. Semua kebahagiaan baruku tersebut lagi-lagi dikelilingi dengan pentingnya memiliki uang. 

***