megamendungkelabu

Kamis, 20 Juni 2019

The Godfather of Broken Heart

"Yon, koe kan wis SMP. Sunat yo?"
Bapak sore itu tiba-tiba mengucapkan pertanyaan yang mengguncang jiwaku.

"Eto...." kata-kataku tertahan di tenggorokan.

Sunat! Kacuk dipotong! Jari kena pisau dikit aja berdarah, itu malah dipotong! Konon kalau kacuknya agak ALOT, bakal dipotong pakai gunting tanaman! Momok-momok menakutkan itu aku dengar di masa-masa pra sunat!

Rasa cemas itu relatif. Di kala para ekonom sedang mengkhawatirkan pasar global yang kian tak terprediksi, aku masih bingung ngurusin kacuk yang mau dipotong. Mana yang lebih gawat dari keduanya? Keduanya sama-sama gawat!

Sunat adalah prosesi kedewasaan anak laki-laki yang harus aku hadapi. Takutnya minta ampun. Horror, pokoknya! Jika memang 'benda tersebut' harus dipotong, maka aku harus mendapatkan harga yang pantas! Imbalan yang sepadan!

Baiklah, benda apa yang kira-kira layak?
Aku yang saat itu berusia 12 tahun lalu berpikir keras bagai filusuf.

Anak-anak lain saat sunat minta mainan.
Anak-anak lain saat sunat minta diajak ke pasar.

Sedangkan aku, aku meminta sesuatu hal yang sedang populer di desa. Terutama saat ada hajatan. 

Yakni, VCD Player.
Ya VCD Player!!

VCD player lengkap dengan VCD Didi Kempot yang ada lagunya Kuncung dan Cintaku Sekonyong-konyong Koder (and  for sure, Stasiun Balapan).

Bapakku setuju! Sore itu aku disunat! Bakda Maghrib, aku pergi ke Pak Sis, mantri sunat yang merangkap dokter dan perawat yang kantornya berada di desa tetangga. Proses 'pemotongan tumpeng' berjalan lancar. Enggak ada tari-tarian.

Tinggal sat set, mak mek, mak cekrek, trus kelar deh. Sensasi dingin dari obat bius itu masih terasa saja hingga kini.

Ternyata ritual itu tidak seseram hoax-hoax yang beredar di kalangan anak-anak pra sunat. Enggak pakai gunting tanaman. Alhamdulillah.

Abis Isya, aku tiba di rumah. Beberapa menit kemudian, bapakku membawa (baca: meminjam) VCD Player entah darimana, komplit dengan banyak kaset. 

Di meja depan lemari sudah ada televisi dan VCD player. Orang-orang berlalu lalang menyiapkan makanan serta minuman. Dan tentu saja malam itu, bapakku menyetel VCD Didi Kempot dengan suara nyaring untuk menghibur sang pesakitan, yang sudah berhasil melalui ritual bernama potong kacuk.

Jadi, sebelum para netizen, sobat ambyar, dan sad bois club, memproklamirkan Didi Kempot sebagai Lord, The Godfather of Broken Heart, Bapak Loro Ati Nasional atau apapun itu.

Aku di masa lalu sudah menganggap Didi Kempot sebagai panutan pemberi kekuatan dan harapan untuk melalui masa-masa gelapnya takut disunat. Hanya saja aku tak sempat melabeli beliau dengan julukan apapun.

Glory, Lord Didi Kempot! The Godfather of Braveheart! Bapak Loro Ati Nasional! Terimakasih sudah menemani masa-masaku.

Mujix
Seorang komikus yang pernah mewek di bis gara-gara dengerin lagu Sewu Kutho. Jadi, aku udah pantas disebut 'sobat ambyar sad bois club' belum?
Simo, 20 Juni 2019