megamendungkelabu

Selasa, 24 Juni 2014

One Day in a Life



Suasana ruangan ini masih sangat lengang. Hembusan angin dari air conditioner itu tidak membuatku bertambah tenang. sepertinya di dunia ini hanya tubuhku saja yang masih merasa panas dan bergejolak. Di depanku terpampang laptop pinjaman dari seorang kerabat, layarnya bercahaya cerah dengan walpapper merah yang kuambil dari salah satu slide dari materi ujian.

Di samping laptop itu tergeletak sebuah skripsi tebal berwarna biru muda, yang sepertinya akan dibantai dengan kejam oleh para dosen penguji hari ini. Beneran, aku sudah mempersiapkan jiwa ragaku untuk semua hal terburuk yang akan terjadi. Akhirnya hari ini aku sampai di tahap ini. Sebuah tahap dimana aku akan menjalani proses ujian akhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan di kampus Institut Seni Surakarta ini. Aku memejamkan mata sejenak. Hari ini akan menjadi hari yang panjang.

*** 

Satu hari yang lalu, jam 05.30 WIB tanggal 10 Juni 2014 di batas desa. Penungguanku akan sebuah angkot belum juga berakhir. Aku bangun terlalu pagi hari ini, jam 04.00 WIB. Ayam jago jam segitu biasanya masih bikin planning ‘ngawinin ayam betina siapa lagi’ untuk hari ini tuh.  Yeah, hari ini pokoknya hari dimana aku harus bersiap menuju ke Kota Solo sepagi mungkin untuk prepare ujian pendadaran di kampus. Kenapa harus sepagi itu sih? Iya harus sepagi itu, ada agenda buat mencoba laptop di ruang ujian. Pak Wardi, staff akademik agak khawatir takutnya laptop yang dipake buat ujian gak cocok. Doi gak mau ribet kayak tahun kemarin. Yah, pokoknya waktu kemarin ke akademik dia curcol-curcol gituh. Andaikan dia cewek yang manis, mungkin saat curhat aku akan bilang gini:

 Honey, silahkan pake pundakku untuk bersandar sembari dikau menceritakan kisah kelam itu”.

Sayangnya Pak Wardi bukan seorang cewek yang manis.  Hari itu aku benar-benar was-was, paranoid dan takut apabila Pak Wardi tiba-tiba bersender di pundakku. Hiiiiyyy...

Kembali ke topik ‘ke Kota Solo sepagi mungkin untuk prepare ujian pendadaran’. Perjalanan dari Desaku ke Kota Solo memakan waktu tiga jam. satu jam buat naik bis, satu buat nunggu bis, dan satu jam sisanya buat nyari cewek manis yang naik bis. Yang terakhir adalah Satu jam paling sia-sia dalam hidupku. Bawaanku hari ini juga buanyaknya ngalahin kantong ajaibnya Doraemon. Di punggungku terdapat tas rangsel berisi banyak buku. Beneran banyak, mulai dari buku komik yang gak jelas berjudul ‘Go-Go-Go Saiyuki To The West’-nya  Konishi Noriyuki sampai buku keren berjudul ‘The Introvert Advantage’-nya Marti Olsen. 

Di dalam tas berwarna hitam itu juga terdapat Laptop, Charger, alat mandi, baju ganti bahkan celana kolor untuk mengantisipasi mimpi basah mendadak ketika nginep di kontrakan teman. Pfft. Sudah cukup? Enggak! Masih ada lagi. Di tangan kiriku ada tas jinjing bergambar semar yang isinya tak kalah akward. Benda-benda semacam celana hitam, dasi, skripsi yang tebelnya naujubileh, ikat pinggang dan almamater pinjeman dari mas Hendro tertata dengan rapi di tas tersebut.  

And finally, aku harus menggotong benda-benda itu agar sampai Solo selama tiga jam. Jin kura-kura aja kalah tuh. 

Penungguanku akan sebuah angkot belum juga berakhir, kayaknya jam segitu memang enggak ada angkot kali ya. Aku mempunyai jurus yang ampuh ketika keadaan semacam itu terjadi. Keadaan semacam itu gimana? Itu, tuh, keadaan di mana semuanya memburuk dan membuat kalian galau dan kacau gara-gara prasangka yang enggak baik. Jurus itu bernama ‘berpikiran positif’. Dan benar saja, jurus itu tiba-tiba berbuah takdir sederhana bernama ‘adik keponakan jauhmu tiba-tiba lewat dan berbaik hati memberi boncengan’. That’s awesome!

 7 KM adalah jarak yang harus aku tempuh dari desaku menuju terminal Pasar Simo. Jalan itu membentang dari arah barat menuju timur hampir membelah 10 desa. Berbagai landscape indah disuguhkan sepanjang perjalanan. Hamparan sawah yang menghijau, angin sepoi yang berhembus saat aku berkendara, langit yang merona jingga di ufuk timur, hingga kabut lembut yang menyelimuti perbukitan, seakan hanya diciptakan untuk para pengelana yang mau bangun pagi. Iya, pagi itu aku menjadi seorang pengelana. Sebuah julukan yang keren untuk para perantau yang bergegas mencari ilmu, cinta, dan rejeki. Angka  7 KM ini terkadang membuatku bersyukur bahwa aku masih diberi ‘hidup’ hari ini. Beneran. 

Hari itu aku tidak berhenti di Terminal Simo, aku hanya melewatinya saja. adik keponakanku bilang:
“Mas, kita ikut bis di depan itu yah! Bis itu langgananku, kamu bisa sampai Solo lebih cepat!”

Dia memacu motornya dengan kencang. Hembusan angin bertambah keras. Terkadang aku harus menyipitkan mata untuk mencari bis mana sih yang dia maksud. Benar-benar tidak terlihat. Nun jauh disana hanya tampak bayangan kotak kecil yang blur. Eh itu bis kota yah? Kacau, mataku yang sepertinya minus itu tidak bisa menangkap obyek itu dengan jelas. 

Setelah mengucapkan terimakasih dan berpamitan, aku segera menaiki bis itu dengan sigap.  adik keponakan langsung hilang ditelan angin. Perjalanan dari Simo ke Solo biasanya memakan kurang lebih satu jam. Aku memilih kursi di pojok dekat jendela sebelah timur. Tempat favorit ketika perjalanan menuju kota Solo. Selain bisa menikmati pemandangan sunrise yang keren, di tempat ini sangat asik untuk sekedar melamun dan membebaskan pikiran. Situasi  seperti itu sangat memorable, yang penting enggak boleh kerasukan gara-gara pikiran terlalu kosong. Enggak asik banget ketika aku berpose sok wise, tiba-tiba mengaum gara-gara kemasukan makhluk astral sejenis macan atau harimau. Arrrggggh!!!! Arrrrghhhh!!! #kemasukansaatbikinpostingan

*** 

Beberapa jam berlalu. Perjalanan naik bis antar desa ini kurasa segera berakhir. Aku memasuki daerah Kartosuro. Kurasa tinggal beberapa KM lagi menuju kota Solo. 

“Turunin akkuh doong Ommm! Di sinnnih ajjjah!!”  kataku genit sambil bergelayut manja di pundaknya embak-embak manis di dalam bis.

Aku memberi kode ke Om Kernet untuk turun di pojok perempatan arah terminal. Di tempat ini adalah pusatnya arus kendaraan bermotor yang hilir mudik ke berbagai daerah di Karisidenan Surakarta. Beneran banyak banget. Di tempat ini kalian bisa singgah ke daerah manapun. 

Solo? Guampang!
Jogja? Keciiiiil!
Jakarta? Santaaai.
Tempat yang tidak bisa kamu singgahi dari daerah ini adalah hatinya mantan. Eaaaaa...

Aku segera begegas menuju shelter Bus Trans jurusan Palur. Shelter tersebut berjarak beberapa meter dari perempatan pojok Kartosuro. Shelter itu berwarna biru tua, di beberapa tempat ada yang berwarna merah. Ada beberapa bis berjejer di shelter itu. Aku biasanya mempertimbangkan saat memilih jurusan, namun kali ini aku langsung saja nyolonong dan memilih kursi paling belakang. Ngadem dan bengong, berharap tiba-tiba ada Melody Nuramdhani atau Raisa Adriana duduk di sampingku, ngimpi kali ye. Bus Trans yang berada di tempat ini semuanya menuju Palur. One way ticket seharga 3.500 kecuali menuju bandara, dan tentu saja dengan tambahan fasilitas Air Conditioner. Fasilitas AC  yang kadang gak guna itu sering bikin gondok, terutama buat emak-emak dan bapak-bapak yang kadang udah uzur. Akan ada masa dimana emak atau bapak yang naik bis itu, turun-turun masuk angin dan meriang. Begitulah.

Bus Trans jurusan Palur. Hari itu ada kejadian yang lucu. Perlu aku kasih tahu, Bus Trans jurusan Palur adalah bis kota yang kernetnya biasanya seorang wanita. Ada cowoknya sih, tapi udah ah, jangan bahas cowok. Masak cowok membahas cowok. Nah, yang lucu dari hari itu aku memilih Bus Trans koridor 2 dan bertemu dengan sesosok kernet cewek yang mirip dengan... Sanasuke...

Kemudian hening...
Beneran... aku enggak bohong....

Saat itu aku beneran kaget. Andaikata kejadian itu adalah sinetron kurasa saat itu akan ada tulisan ‘BERSAMBUNG’ di kiri bawah dekat tanganku.

Aku enggak akan membahas dia di postingan ini. Enggaaaak! Takut doi kesenengan, takut dibilang enggak bisa move on, takut apabila Pak Wardi tiba-tiba bersender di pundakku. Eh.  langsung lanjut saja ke adegan ‘aku turun dengan ganteng di Perempatan Sekarpace’.

Perempatan Sekarpace. Sebuah perempatan kecil di daerah Kentingan dengan sebuah jalan lurus ke arah utara menuju kampus satu ISI Surakarta. Beneran kampus satu. Aku kuliah di kampus dua. Jarak antara kampus satu dan kampus dua berkisar 3 KM. Nanti akan aku ceritakan detailnya. Sekarang aku berjalan sedikit kelelahan menuju warung makan Mbak Yani.

Warung makan legendaris yang menjadi inspirasi tokoh Mbak Yani di komik Negara ½ Gila. Perjalanan tiga jam terombang-ambing bis dan angkutan umum itu benar-benar membuatku ingin segera beristirahat.  Warung makan Mbak Yani adalah titik balik, oase, di mana surga dan neraka bercampur menjadi satu, di sana tempat Jun menemukan Jin, ah yang terakhir mulai ngaco. Sepertinya aku benar-benar meracau. Aku butuh teh hangat!! Teh!! Tolong teh! Kalau enggak ada teh hangat, kasih teteh yang manis juga gak papah!! Teh!! Teteh yang manis, kesini dong teh!!

Teh hangat. Bagiku, Ngobrolin warung makan Mbak Yani enggak bisa lepas dengan namanya teh hangat. Rasanya sih biasa aja, tapi sensasinya itu tuuuh. Gilaaaaak. Di warung, di wedangan atau café-café tenar di kota solo banyak disediakan teh seduh dengan berbagai campuran. Mulai dari yang sederhana teh dicampur jeruk yang suka disebut lemon tea, hingga teh yang diracik dengan susu bernama teh tarik. Percayalah, di warung makannya Mbak Yani ada teh unik yang sangat super duper special pake sekali. Hanya di tempat ini disediakan teh yang dioplos sama bacotan-bacotan emosional penjualnya. Komplit deh. Sensasinya semriwing-semriwing gituh. 

Ada sound system otomatis ketika kalian mampir. Baru nyampe depan warung aja mbak yang sudah tereak-tereak kenceng yang suaranya nyampe langit ketujuh. Aku sangat yakin, ada beberapa makhluk yang mengira suara teriakan Mbak Yanni yang membahana itu adalah suara terompet tanda akhir zaman. Gituh. Jadwal rutinku di warung ini hanya ada dua. Minum teh anget sama numpang baca komik. Udah. Enggak ada acara salto-saltoan. Mejanya kecil. Enggak muat buat disaltoin. #nulissambilsalto.

Perjalananku menuju kampus 2 sangatlah terjal. Beneran, hari itu aku harus berjalan kaki dari warungnya Mbak Yani hingga ke Kampus 2 Mojosongo. Jaraknya sekitar 2-3 KM. aku agak payah dalam memperkirakan jadwal, namun perjalanan dengan mode santai biasanya menghabiskan waktu 45 menit. Mode santai lhoooh yaah. Medan yang paling menyebalkan dalam rute ini adalah kawasan kuburan cina yang jaraknya sekitar 500 M. kawasan itu berupa jalan lurus memanjang kearah utara tanpa ada pohon-pohon besar yang menaungi di pinggirannya.

Kenangan paling berkesan selama aku melintasi areal itu adalah pergulatan batin antara ketidakpuasanku terhadap hidup dengan kenyataan yang sedang aku hadapi. 

Cieeeh, sok dramatis amat sih. Beneran dramatis kok. Jalur panjang tersebut seakan menjadi saksi bahwa pernah ada mahasiswa berambut kribo yang selalu berjalan kaki gara-gara enggak memiliki sepeda motor demi mendapatkan gelar sarjana. Iya, mahasiswa berambut kribo itu adalah aku. Aku yang tidak tega untuk merepotkan orang tua dengan berbagai kebutuhanku yang mungkin akan sangat banyak sekali apabila dibandingkan dengan ‘ para mahasiswa normal’ lainnya. Hidup mahasiswa enggak normal!!! 

Btw jalan lurus kawasan kuburan cina itu mengajarkanku tentang pentingnya kesabaran dan keteguhan hati dalam mencapai berbagai impian. Ehem. Ehem.

Aku sampai di kampus 2 jam 9 pagi. Badan penuh peluh, bau apek, ketek yang tadinya wangi sekarang sudah berbau amis, tinggal dikasih ikan laut udah cocok tuh jadi menunya Si Mpus. Lebai amat sih kalo nulis, gak separah itu ah. Aku berjalan menuju teras akademik. Tempat itu berada di gedung dekanat. Aku segera duduk di kursi panjang berwarna perak tersebut. Menghela nafas panjang, dan memutuskan untuk beristirahat setengah jam. Saat-saat seperti itu biasanya aku memejamkan mata dan selalu meyakinkan diri sendiri. Sebuah keyakinan kecil bahwa semua hal yang terjadi di dunia ini memang seharusnya seperti ini. Pada keadaan seperti inilah aku merasa benar-benar hidup. 

Perjalananku masih sangat panjang. Hari ini belum berakhir. Aku segera saja ke ruang ujian di lantai 3 dan mencoba semua perlengkapan yang akan digunakan besok. Semuanya sudah beres. Saatnya kembali ke dunia nyata. Aku memandang ruangan ujian itu dengan tatapan nanar. Beneran enggak percaya aku bisa sampai ditahap ini. Ujian pendadaran ini harus dibayar dengan ratusan kali bangun sesudah subuh, menunggu bis, berteriak kesal dikarenakan tugas yang belum kelar gara-gara gak punya duit, galau, berjalan berates-ratus kilometer hanya untuk bisa sampai dikampus, dan masih banyak lagi kejadian-kejadia ajaib semasa kuliah. Ujian yang sederhana ini ternyata tidak sesederhana yang terlihat. 

***

20 jam kemudian aku sudah berada di ruangan yang masih sangat lengang ini, memikirkan hembusan angin dari air conditioner yang membuatku gugup.  Akhirnya hari ini aku sampai di tahap ini. Sebuah tahap dimana aku akan menjalani proses ujian akhir untuk memperoleh gelar kesarjanaan di kampus Institut Seni Surakarta ini. Aku memejamkan mata sejenak.
Hari ini akan menjadi hari yang panjang. 
Begitulah.  

Mujix
eniwei ujian pendadaran itu berjalan lancar.
alhamdulilah. sekarang sedang proses revisi
doain lancar ya folks
Mojosongo, 23 Juni 2014