megamendungkelabu

Minggu, 06 Maret 2016

Kisah tentang sepasang tangan

Aku berdiri memandang standing banner itu dengan penuh tanda tanya. Benda tersebut menjadi perhatianku lagi semenjak beranjaknya kawan lama yang saat ini tengah sibuk dengan tugasnya sebagai fotografer. Entah sudah berapa menit aku termangu masih belum bisa menangkap maksud dari standing banner tersebut. Sudah sejak tadi sore aku di tempat itu menunggu hujan reda.

Ya, hujan akhir-akhir ini sepertinya sedang enggan berdamai dengan semua hal. Salah sedikit saja aku mungkin sudah terjebak di sebuah warung makan di pinggir jalan. Sangat tidak mengenakkan terjebak di tempat yang sempit di tengah hujan deras. Aku pernh mengalaminya dan aku enggan untuk .mengulanginya lagi. Untuk itulah, sebelum hujan bercumbu lagi dengan angin, aku harus sudah berada di tempat yang teduh dan tidak membuatku bosan. Dan tempat itu bernama toko buku.

Di aula depan tidak jauh dari toko buku ini teryata ada keriuhan yang memancing perhatianku. Beberapa jam melahap buku gratis di lantai atas ternyata tidak menjawab semua pertanyaanku akhir-akhir ini. Sialan, apakah memangmemang semua manusia harus bisa mengenal dirinya sendiri dengan berbagai pertanyaan yang harus dia jawab?

Aku menemukan berbagai tulisan di toko buku tersebut, dan lagi-lagi tulisan hanya menjadi sebuah tulisan ketika tidak ada ikatan personal antara pembaca dan penulisnya. Semuanya kurasa hambar. Baiklah. Aku lebih baik pergi dari tempat ini.

Aku berpindah ke lokasi yang penuh dengan barang dimana-mana. Ada gedebok pisang berdiri di dekat tembok, sebuah pemandangan yang aneh untuk sebuah aula tempat berpameran seni rupa. Beberapa bambu dan bungkusan daun pisang bertebaran dimana-mana. Sepertinya tempat ini akan menjadi semacam sekretariat acara tertentu. Beberapa langkah dari pintu masuk aula aku melihat sesosok pria paruh baya yang sedang sibuk dengan kameranya. Dia seorang kawan lama. Seperti biasa aku melemparkan sapaan ramah kepadanya.

"Wuaah, Mas Jepri! Pie kabarmu!?" aku menepuk pundaknya dengan perlahan. Dia menoleh dan berteriak girang.

"Kriwiiil!!! Kowe neng kene toh!? Apik! Kabarku apiiik" mukanya masih menyeramkan. Rambut gondrong muka sedikit brewok. Hahaha aku mau dimakan, sepertinya!! Aku jadi sedikit khawatir akan keselamatan nyawaku.

Obrolan mengalir kemana-mana. Mas Jepri memperbincangkan banyak hal dengan masih tetap sibuk mengotak-atik kamera digitalnya. Aku memperhatikan tangan Mas Jepri yang lincah berpindah dari satu tombol ke tombol lain. Bebera detik kemudian terdengar suara kamera berbunyi.

"Ckreeek!!!" terpampanglah gambar pohon pisang yang sangat artistik di layar preview. Foto yang bersebi itu pasti tercipta dari proses belajar  memotret yang cukup lama. Aku merasa memiliki sedikit persamaan dengan kawan lamaku itu. Kami adalah para manusia yang dianugrahi sepasang tangan hebat untuk mewujudkan apapun dari dunia imajinasi. Yah. Bedanya aku berkarya dengan membuat komik dan dia memfoto gambar.

Apa jadinya ya jika sepasang tangan hilang dari hidupku? Tidak ada jawaban dari logika saat aku mencoba menjawab pertanyaan tersebut. Kegelisahan ini muncul setelah beberapa menit aku berpisah dari Mas Jepri di tempat itu dan akan beranjak pulang.

Langkahku berhenti sejenak di depan standing banner itu. Di samping pintu masuk aula ternyata ada sesosok perempuan berjilbab dengan temannya yang tidak terlalu aku perhatikan. Perempuan berjilbab itu mendekatiku dan bertanya banyak hal mengenai standing banner.

"Mas, ini acara apaan y? Kok kayaknya ramai banget?" perempuan berjilbab itu bertanya dengan pelan. Aku menoleh dan memperhatikannya dengan acuh tak acuh.

"Wah ndak tahu ya mbak, ni aku juga sedang baca bannernya" kataku acuh tak acuh sambil menunjuk standing banner tersebut.

Sepersekian detik itu aku teringat akan sesuatu tentang 'sikap yang baik'. Dan sikapku barusan cukup buruk untuk sebuah perbincangan. Aku harus meluruskan hal tersebut.

"Maaf mbak, aku bukan panitia acara ini. Coba aja bertanya dengan mereka yang sedang berkumpul di sana!". Aku mencoba untuk fokus dan menunjukkan sikap bersahabat. Mungkin perempuan ini adalah reporter yang sedang mencari berita.  Mungkin dengan bersikap baik dengan perempuan  ini kelak aku akan diperlakukan dengan baik pula oleh perempuan lain.

Kami hanya berbicara seperlunya dan kemudian sali g berpisah tanpa berkenalan. Perempuan berjilbab itu memasuki toko buku dengan temannya. Aku melangkah lurus menuju basement tempat dimana banyak motor terpakir. Sekelebat saja aku melirik mereka. Sepertinya ada sesuatu yang aneh di sana. Aku sedikit terkesiap.

Perempuan berjilbab itu berjalan beriringan dengan temannya yang tadi tidak terlalu aku perhatikan. Teman perempuan berjilbab itu ternyata *maaf tidak memiliki dua tangan. Aku merinding dan perlahan seperti ditampar oleh jawaban dari berbagai pertanyaanku akhir-akhir ini.

Tuhan saat itu datang dan seakan-akan bilang, " Tuh,keluhanmu udah Aku jawab melalui kejadian hari ini. Masih mau sok Mellow Drama seakan-akan hidupmu paling menderita sedunia?"

Detik itu aku terdiam cukup lama menatap mereka hingga hilang dari pelupuk mata.


Mujix
Sedang sibuk dengan job buku mewarnai dan mencari tambatan hati.
Simo, 6 Maret 2016.