megamendungkelabu

Rabu, 03 Februari 2016

Mesin Pemotong Aku



Aku berulang kali menghela napas panjang. Sebuah tanda sederhana bahwa aku sedang tidak memiliki perasaan yang baik. Akhir pekan ini aku menghabiskan waktu di dirumah. Kebetulan ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Ruang kerjaku saat ini cukup berantakan, dan sedikit sepi gara-gara computer belum juga usai masa perbaikannya.

Suka atau tidak suka, hal tersebut sangat menghambatku dalam menyelesaikan berbagai tanggungan. Kalau harus memberikan kesan khusus soal bulan Januari ini, kesan khusus itu niscaya penuh dengan keluhan dan sumpah serapahku tentang hal-hal yang terjadi belakangan ini.

Suasana di luar jendela cukup gelap dengan suara berisik mesin pemotong kayu milik tetangga. Bunyi yang memekakkan telinga itu berpadu dengan kerasnya petir di ujung langit. Yak. Komplit sudah hal-hal yang membuatku makin murung.

Dan percaya atau tidak, postingan ini terhenti gara-gara mati listrik. Itu sangat mengganggu sekali. Percayalah, untuk kali ini semua petuah dan motto di dalam hidupku terpatahkan begitu saja oleh kenyataan.

Aku melanjutkan postingan ini beberaoa hari setelah  kejadian mati lampu tersebut. Bisa dikatakan tulisan ini adalah perpaduan kalimat dari dua bulan yang berbeda. Malam ini aku sudah berada di bulan Februari. Aku akan menceritakan beberapa peristiwa setelah mati listrik tersebut. Siap-siap yah.

Saat itu semuanya menjadi tidak terkendali.  Aku  untuk kesekian kalinya lagi-lagi menjalani hari yang buruk. Tidak ada hal khusus yang aku lakukan. Hanya hidup mengalir menuruti kemana hati dan pikiran pergi. Tidak ada karya yang tercipta, tidak ada impian yang ingin aku wujudkan di dunia nyata. Hanya satu hal yang eksis saat itu, satu hal tersebut bernama Tuhan.

Berpuluh-puluh keluhan aku kirimkan via pikiran dab lisan kepada Tuhan. Entah sampai atau tidak aku tak terlalu perduli. Aku mendamprat-Nya sepuasku. Dan seperti hari-hari yang lalu, Dia hanya diam membisu.

Beberapa hari sudah aku berputus asa. Tidak ada tangisan atau air mata, yang kulakukan lebih nista daripada itu, yang kulakukan adalah bermalas-malasan dan hidup bagaikan binatang yang tidak memiliki akal serta perasaan. Dan ternyata hidup sepwrti itu membuat punggung menjadi pegal. Yah, ternyata lebih enak menjadi manusia yang memiliki mimpi. Oke. Berputus asanya sudah cukup. Aku harus melakukan sesuatu untuk keadaan yang absurd ini. Meeh..

Hal pertama yang aku lakukan adalah nge-tweet. What!? Beneran. Akhirnya aku curhat lewat twitter. Batasan karakter di situs tersebut mengajarkanku untuk tetap melakukan sesuatu dalam keadaan apapun. Walaupun sedang terjebak di situasi yang sulit.

Kata demi kata terangkai sederhana menyuarakan kegelisahanku malam itu. Demi waktu dan seisinya, perasaanku menjadi sedikit lebih baik. Bosen merangkai kata, aku berpindah aktivitas merapikan meja kerja. Buku demi buku aku atur kembali. Kertas demi kertas aku rapikan dengan perlahan. Sepertinya aku akan beraktivitas lagi. Walau masih lelah, saat ini setidaknya aku tidak ingin mengalah lagi.

Mujix
Baik dan buruk siapa yang tahu?
Hanya perlu melaju
ke tempat tujuan kan?
Simo, Januari 2016