megamendungkelabu

Jumat, 12 Mei 2017

Ayam Betina



“Yooon!!! belehen pitik ikii karo Pakdhe No! (Yoooon!!! Sembelih ayam ini dengan Pakdhe No!)”
Nenekku berteriak di sebuah sore buta. Beliau membawa ayam betina berwarna putih  untuk disembelih. Terus? Terus beliau menyuruhku menyembelih ayam tersebut di rumah pakdhe. Mendadak aku galau tujuh turunan. Aku paling benci untuk urusan bunuh membunuh. 

Dengan nadanya yang tinggi sang nenek berhasil membuatku beranjak sambil membawa ayam malang tersebut. Besok di kampungku ada acara yang bernama ‘sadranan’. Acara ini berupa ritual doa bersama di kuburan sekaligus ungkapan rasa syukur para penghuni kampung dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.

“Mbah! Aku ora tego ki mbeleh pitik iki!? (Mbah! Aku tidak tega menyembelih ayam ini!?)”
Aku merengek dan beralasan agar aku bisa lepas dari peristiwa ‘pembunuhan sepihak’ tersebut. Sang Nenek malah pasang wajah keras sambil mencemooh ucapanku.

“Ora tego piye! Mbung kari mbeleh ngono wae kok!! (Tidak tega bagaimana! Cuma tinggal menyembelih begitu saja kok!!)” Ucapnya dengan nada tinggi.

Oke, Fix! Aku tidak bisa menyanggah dan menyangkal. Segera saja dengan perasaan gamang, aku berangkat ke rumah pakdhe. Sepanjang perjalanan, ayam betina itu terus berkeok. Seakan memohon untuk dilepaskan agar ia bisa hidup bebas seperti hari-hari sebelumnya. Jujur saja, aku benar-benar merasa kasihan pada ayam betina itu. Aku sangat suka makan ayam, apalagi kalau dibakar dan diberi sambal bawang goreng. Tapi aku sangat tidak suka melihat adegan penyembelihan ayam. Darah merah yang mengucur, gerakan random dari ayam yang menggelepar, hingga tatapan pilu yang perlahan habis ditelan ajal. Semua adegan itu sangat melemahkan batin. Untuk aku yang cukup mempercayai kepercayaan ‘reingkarnasi’, Adegan penyembelihan ayam adalah ujian berat.

“Keook!! Keoook!! Keoook!” Ayam betina itu masih berteriak di tanganku. Dari kejauhan pakdheku sudah muncul sambil membawa sebilah parang. Aku semakin gundah sambil menelan ludah. Tiba-tiba saja aku mengangkat ayam tersebut. Aku memandang matanya dengan tatapan nanar. Maaf, sepertinya aku memang tidak bisa menyelamatkanmu.

Pakdhe, Aku ora tego ki mbeleh pitik iki!? (Pakdhe! Aku tidak tega menyembelih ayam ini!?)”
Aku merengek dan beralasan agar aku bisa lepas dari peristiwa ‘pembunuhan sepihak’ tersebut. Pakdheku menjawab dengan nada tinggi. 

“Ngopo!? Wedi opo!? (Mengapa!? Takut apa!?)”
Aku menjawab sekenanya. 

Aku wedi karo getih! Ngerti abang-abang mancur soko gulu ngono kui marai mules! (Aku takut dengan darah! Melihat sesuatu yang merah dan mengalir dari leher membuat perutku mual!)”.
Pakdheku diam saja. Lalu dia beranjak ke belakang mengambil tali rafia, kemudian dengan gesit ia mengikat kedua kaki ayam betina. 

“Yowis, tak belehe dewe, mengko tak idake nganggo sikil! (Ya sudah, nanti aku sembelih seorang diri, nanti sayapnya aku injak saja dengan kakiku!)” Ucap pakdheku sambil membawa ayam tersebut ke kebun. Aku menyerahkan ayam tersebut dengan perasaan lega. Segera saja aku melarikan diri dari pertempuran itu. Menunggu di halaman depan sambil berharap upacara penyembelihan itu segera selesai.

Beberapa menit kemudian pakdheku memanggil. Ayam betina itu telah mati. Lehernya menjuntai hampir putus dengan darah yang berhenti mengucur. Aku membayangkan arwah ayam tersebut sudah pergi meninggalkan bumi dan siap bereingkarnasi menjadi makhluk yang lebih baik.  
Selamat jalan ayam. Semoga kepergianmu tidak sia-sia. 

Mujix
Semua data di komputerku hilang gara-gara hardisk rusak.
Separuh jiwaku hilang begitu saja. Benar-benar alasan yang tepat 
untuk bermalas-malasan. Sial. 
Simo, 12 Mei 2017


Senin, 08 Mei 2017

Kuda, Kusir, dan Jalan Raya.

Sore ini aku melihat kuda. Ada dua kuda, tepatnya. Dan dua kuda itu tengah ketakutan di tengah jalan raya. Kuda itu adalah bagian dari sebuah delman yang mencoba menyebrang dari Pasar Kartosuro. Aku entah mengapa tiba-tiba tertarik memperhatikan gelagat dua kuda tersebut. 

Suara ringkikan dan pergerakan penuh ragu-ragu terpancar dari kedua kuda tersebut sore itu. Aku melihatnya seperti itu. Aku kasihan. Kenapa harus selalu seperti itu? Harusnya kuda berada di habitat aslinya. Menjalani kehidupan per-kuda-annya dengan bahagia. Bukan terjebak di jalan raya dengan semua ketidaktahuannya. 

Dua kuda itu benar-benar ketakutan. Untuk itulah dunia ini menciptakan profesi bernama ‘kusir’. Seperti dilagu-lagu anak itu, Pak Kusir duduk di muka. ‘Muka’ di lagu tersebut bukan berarti ‘wajah’ lho ya, muka di lagu tersebut maksudnya ‘depan’, ‘di depan’ sebagai orang nomer satu yang mengendalikan roda paling pen ting dari benda bernama delman, yaitu kuda. Dua kuda yang  hingga detik itu masih saja ketakutan.

Tali kekang itu ditariknya dengan perlahan. Sesekali Pak Kusir menahan dan sesekali melepas kekangannya mengikuti arus lalu lintas yang sangat gila-gilaan. Masih teringat dengan jelas  muka seorang ibu-ibu yang  nggrundel saat melihat para kuda itu menghalangi laju binalnya motor matic yang ia kendarai.

Dengan sekali sentakan, para kuda tersebut berhasil menyebrang jalan! Didalam hati aku ikut bersorak. Aku melihat sebuah momen yang sangat dramatis sore ini. Aku melihat ada dua kuda yang mencoba mengatasi rasa takut! Aku melihat sebuah hubungan yang saling melengkapi antara kuda dan pak kusir. Sore ini aku melihat kuda. Ada dua kuda, tepatnya. Dan dua kuda itu memberi pelajaran kepadaku mengenai keberanian dan kepercayaan.

Mujix
Tanganku agak sedikit sakit
karena tertusuk sesuatu! Asem!
Kartosuro, 08 Mei 2017