Ayam Betina
“Yooon!!! belehen
pitik ikii karo Pakdhe No! (Yoooon!!! Sembelih ayam ini dengan Pakdhe No!)”
Nenekku berteriak di sebuah sore buta. Beliau membawa ayam
betina berwarna putih untuk disembelih.
Terus? Terus beliau menyuruhku menyembelih ayam tersebut di rumah pakdhe.
Mendadak aku galau tujuh turunan. Aku paling benci untuk urusan bunuh membunuh.
Dengan nadanya yang tinggi sang nenek berhasil membuatku beranjak sambil
membawa ayam malang tersebut. Besok di kampungku ada acara yang bernama ‘sadranan’.
Acara ini berupa ritual doa bersama di kuburan sekaligus ungkapan rasa syukur
para penghuni kampung dalam rangka menyambut bulan Ramadhan.
“Mbah! Aku ora tego ki
mbeleh pitik iki!? (Mbah! Aku tidak tega menyembelih ayam ini!?)”
Aku merengek dan beralasan agar aku bisa lepas dari
peristiwa ‘pembunuhan sepihak’ tersebut. Sang Nenek malah pasang wajah keras
sambil mencemooh ucapanku.
“Ora tego piye! Mbung
kari mbeleh ngono wae kok!! (Tidak tega bagaimana! Cuma tinggal menyembelih
begitu saja kok!!)” Ucapnya dengan nada tinggi.
Oke, Fix! Aku tidak bisa menyanggah dan menyangkal. Segera
saja dengan perasaan gamang, aku berangkat ke rumah pakdhe. Sepanjang
perjalanan, ayam betina itu terus berkeok. Seakan memohon untuk dilepaskan agar
ia bisa hidup bebas seperti hari-hari sebelumnya. Jujur saja, aku benar-benar
merasa kasihan pada ayam betina itu. Aku sangat suka makan ayam, apalagi kalau
dibakar dan diberi sambal bawang goreng. Tapi aku sangat tidak suka melihat
adegan penyembelihan ayam. Darah merah yang mengucur, gerakan random dari ayam
yang menggelepar, hingga tatapan pilu yang perlahan habis ditelan ajal. Semua
adegan itu sangat melemahkan batin. Untuk aku yang cukup mempercayai
kepercayaan ‘reingkarnasi’, Adegan penyembelihan ayam adalah ujian berat.
“Keook!! Keoook!! Keoook!” Ayam betina itu masih berteriak
di tanganku. Dari kejauhan pakdheku sudah muncul sambil membawa sebilah parang.
Aku semakin gundah sambil menelan ludah. Tiba-tiba saja aku mengangkat ayam
tersebut. Aku memandang matanya dengan tatapan nanar. Maaf, sepertinya aku memang
tidak bisa menyelamatkanmu.
“Pakdhe, Aku ora tego
ki mbeleh pitik iki!? (Pakdhe! Aku tidak tega menyembelih ayam ini!?)”
Aku merengek dan beralasan agar aku bisa lepas dari
peristiwa ‘pembunuhan sepihak’ tersebut. Pakdheku menjawab dengan nada tinggi.
“Ngopo!? Wedi opo!? (Mengapa!? Takut apa!?)”
Aku menjawab sekenanya.
“Aku wedi karo getih!
Ngerti abang-abang mancur soko gulu ngono kui marai mules! (Aku takut
dengan darah! Melihat sesuatu yang merah dan mengalir dari leher membuat
perutku mual!)”.
Pakdheku diam saja. Lalu dia beranjak ke belakang mengambil
tali rafia, kemudian dengan gesit ia mengikat kedua kaki ayam betina.
“Yowis, tak belehe
dewe, mengko tak idake nganggo sikil! (Ya sudah, nanti aku sembelih seorang
diri, nanti sayapnya aku injak saja dengan kakiku!)” Ucap pakdheku sambil
membawa ayam tersebut ke kebun. Aku menyerahkan ayam tersebut dengan perasaan
lega. Segera saja aku melarikan diri dari pertempuran itu. Menunggu di halaman
depan sambil berharap upacara penyembelihan itu segera selesai.
Beberapa menit
kemudian pakdheku memanggil. Ayam betina itu telah mati. Lehernya menjuntai
hampir putus dengan darah yang berhenti mengucur. Aku membayangkan arwah ayam
tersebut sudah pergi meninggalkan bumi dan siap bereingkarnasi menjadi makhluk
yang lebih baik.
Selamat jalan ayam.
Semoga kepergianmu tidak sia-sia.
Mujix
Semua data di komputerku hilang gara-gara hardisk rusak.
Separuh jiwaku hilang begitu saja. Benar-benar alasan yang tepat
untuk bermalas-malasan. Sial.
Simo, 12 Mei 2017