Draft SMS di hari Rabu
Malam itu tepat
jam 11.11 pm saat aku beranjak dari sofa berwarna coklat di ruang tamu. Di
kejauhan terdengar suara tadarus yang terus berkumandang menandakan bahwa aku
masih terjebak di bulan Ramadhan. Kalau boleh jujur, aku cukup merindukan
atmosfer seperti ini. Alasan berpindah tempat dari sofa di ruang tamu menuju
ruang kerja kali ini sebenarnya cukup sepele. Aku sepertinya harus menulis
tentang ‘draft sms’ yang hingga hari
ini belum terhapus.
Draft sms yang
kuketik sejak tanggal…
Tunggu sebentar… Tanggalnya mana nih?
Kok enggak ada?
Kampret. Anggap
saja tanggal tersebut tidak terlalu penting untuk dituliskan di postingan ini.
Kembali ke topik draft sms. Bukan ke
Topik Savalas, maupun Topik Hidayat. Ciyeee buat yang mau nge-lucu tapi enggak
lucu.
Draft sms tersebut kira-kira tertulis seperti ini:
“Dibikin tokoh
komik sama seseorang itu kayak dibikinin lagu cinta sama pacar. Gregetnya
bakalan nongol kalau sudah selesai :j”
Catatan aneh itu
muncul secara tiba-tiba beberapa bulan yang lalu. Catatan aneh itu terketik
secara tiba-tiba setelah aku terbangun dari sebuah mimpi yang aneh. Semacam lucid dream. Sejenis mimpi dimana kamu
bisa mengingatnya dengan sangat jelas. Aku mohon jangan tanya tanggal ya.
Intinya beberapa bulan yang lalu.
Beberapa bulan yang lalu itu mungkin saat
heboh berita ‘Syahrini membelikan rumah untuk Soni Wakwaw’, atau kalau enggak
ketika ramai gossip ‘perseteruan Daus Mini dengan mantan istriya yang kini
sudah cerai’.
Tunggu sebentar, perasaan berita-berita itu enggak heboh-heboh
amat deh. Ah, pokoknya aku hanya ingin memberi informasi bahwa draft sms ini sudah terketik cukup lama
di masa lalu.
Di masa lalu.
Masa dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’.
Masa dimana aku sedikit kebingungan menjawab pertanyaan dari ‘dia’ tentang alasan
‘kenapa aku mengambil sosok dia inspirasi untuk karakter utama’.
Yeah, ini
cerita tentang dia.
‘Dia’ yang lain, bukan ‘dia’ yang sering aku curhatkan di blog ini. Ini cerita tentang ‘dia’ yang mengajariku bahwa setiap pertemuan memiliki kisah yang bisa diceritakan kepada orang lain. Baiklah, mari kita kembali ke masa lalu sejenak. Masa lalu dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’.
‘Dia’ yang lain, bukan ‘dia’ yang sering aku curhatkan di blog ini. Ini cerita tentang ‘dia’ yang mengajariku bahwa setiap pertemuan memiliki kisah yang bisa diceritakan kepada orang lain. Baiklah, mari kita kembali ke masa lalu sejenak. Masa lalu dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’.
***
Ini adalah di
masa lalu.
Masa dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’. Petang itu aku berada di wedangan di daerah Kerten. Aku dan teman-teman kontrakan biasa menyebutnya ‘Wedangan Bu Gendut’.
Masa dimana aku mulai mengerjakan bab 3 dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’. Petang itu aku berada di wedangan di daerah Kerten. Aku dan teman-teman kontrakan biasa menyebutnya ‘Wedangan Bu Gendut’.
Wedangan itu seperti wedangan
umumnya di Kota Solo. Sebuah gerobak angkringan ditutupi terpal berwarna merah
dengan lampu bohlam berwarna coklat kemerah-merahan.
Lampu bohlam itu memang
tidak terlalu terang, namun sudah lebih dari cukup untuk sekedar memperlihatkan
apa saja benda-benda atau makanan yang berada di wedangan itu. Kursi kayu agak
panjang berwarna coklat itu sepertinya sudah tertempel permanen dengan suasana
petang yang beranjak hitam kelam. Duduk di kursi itu dengan setengah sadar,
memandang layar handphone yang terang benderang, ditemani secuil perasaan aneh
bergelayut didalam hati.
Ajegile, hidupku petang itu benar-benar hidup.
Ajegile, hidupku petang itu benar-benar hidup.
Petang itu aku
hanya memesan teh panas. Aku tidak sedang berselera makan nasi kucing, nasi
kucing yang isinya telur dadar. Nah, aneh kan, masa nasi kucing isinya telur
dadar. Nasi kucing umumnya di kota solo,
biasanya isinya tuh cuilan bandeng, cuilan teri, atau kalau enggak cuilan
perasaan cinta yang tertinggal di hati mbak mantan.
Aku hanya ingin
sendirian dan memikirkan pesan balasan apa yang aku harus kirim untuknya.
Suasana petang itu tidak terlalu ramai, hanya ada Bu Gendut dan suaminya yang
hilir mudik mengantarkan pesanan. Wardrobe
resmi Bu Gendut di wedangan itu sepertinya sudah pakem sejak dulu kala. Bu Gendut selalu memakai baju merah bercorak bunga dan rok berwarna coklat. Dipadu
dengan make up-nya yang super duper
tebal, makin gahar dengan lipstick
merah darah dibibirnya yang cukup tebal. Ini mau jualan wedangan atau kondangan
nikah sih?
Teh panas
pesananku sudah datang. Bu Gendut mengantarkan minuman favoritku sambil
memberikan lip service formalitas
kepada pembeli.
“Lhooh, Mas koncone kok gak di ajak mangan kene?”
Bu Gendut bertanya sambil meletakkan teh panas di hadapanku. Dasar,
kenapa teman-teman kontrakan malah menjulukinya ‘Bu Gendut’ sih? Padahal bagiku
yang paling menonjol dari ibu itu adalah alisnya yang ditato berwarna biru tua
dengan bentuk lancip. Harusnya mereka menjulukinya ‘Bu Tato Alis Lancip Warna
Biru’.
Apa? Terlalu panjang dan aneh?
Kalo dipikir-pikir, iya juga sih.
“Koncoku do pulang kampung bu.” Aku
menjawab sekenanya.
Aku tidak mungkin bilang kalau teman-temanku tidak datang ke wedangan itu gara-gara porsi nasinya yang sedikit. Mereka lebih memilih makan di warung di dekat masjid karena porsinya yang lebih banyak dengan harga murah.
Yes, kebohonganku yang entah keberapa untuk hari itu.
Aku tidak mungkin bilang kalau teman-temanku tidak datang ke wedangan itu gara-gara porsi nasinya yang sedikit. Mereka lebih memilih makan di warung di dekat masjid karena porsinya yang lebih banyak dengan harga murah.
Yes, kebohonganku yang entah keberapa untuk hari itu.
Entah sejak
kapan aku benar-benar mulai lihai dalam berbohong. Dan detik itu aku
benar-benar tengah pusing memikirkan kebohongan apa untuk membalas pesan singkatnya.
Bunyi pesan singkat itu sebenarnya simple:
“Mas, kenapa sih
kamu menjadikan aku sebagai karakter utama di buku komikmu?”
Jawaban jujurnya
sebenarnya juga simple, di otakku ada suara teriakan “Itu karena aku naksir
kamu, Bego”. Sudah bisa ditebak, dan seperti kisah-kisah sebelumnya, aku
tidak punya nyali untuk mengetik teriakkan itu menjadi sms.
Sepertinya aku
benar-benar menjadi pria dewasa. Pria dewasa yang pengecut. Berbeda sekali
dengan saat-saat aku muda dulu, dimana ‘menyatakan perasaan’ semudah membeli
kacang kulit di Alfamaret.
Aku menghela
nafas panjang, memalingkan pandanganku ke jalan raya yang masih cukup terang
benderang. Berharap kilaunya dapat memberikan kebohongan yang sederhana untuk memperjelas
keadaanku sekarang.
Apa benar aku naksir dia? Jangan-jangan cuman penasaran
doang? atau mungkin sebenarnya aku enggak punya rasa apa-apa sama dia, terus
sok-sok-an 'punya rasa' biar aku bisa bersemangat karena memiliki ‘alasan yang
sentimentil’ untuk mengerjakan komik itu.
Rumit.
Awal semua
ceritaku dan dia, kalau dipikir-pikir lagi dimulai pada tahun 2010. Satu tahun
setelah masa-masa paling rumit dalam hidupku. Berarti saat itu aku berusia 22
tahun.
Waktu dimana aku berusaha move on
dari banyak hal.
***
Hari itu hari
rabu di tahun 2010, aku masih mencoba move
on dari banyak hal. Aku memutuskan untuk menyerah terhadap Sanasuke, aku
memutuskan untuk berhenti berharap terhadap Popok, dan aku memutuskan untuk
mengulang mata kuliah Agama Islam.
Agama Islam adalah
matakuliah abadi bagiku. Tahun itu aku terpaksa harus mengulang mata kuliah
tersebut dikarenakan 2 tahun kemarin tidak lulus gara-gara kecelakaan. Bah,
kecelakaan yang membuatku mengerti bahwa mengendarai sepeda motor itu harus
berhati-hati.
Btw aku tidak mengendarai sepeda motor, aku membonceng orang yang
bahwa mengendarai sepeda motor. Nah itu kampretnya, supirnya yang meleng, aku
yang jadi korban. Kakiku sukses nyungsep dan hampir tergilas ban mobil Avanza
berwarna hitam.
Hingga hari ini hatiku suka miris kalau liat mobil Avanza
berwarna hitam. Miris. Semiris datang ke kondangan nikahannya mbak mantan.
Sedangkan tahun
kemarin aku tidak lulus mata kuliah Agama Islam gara-gara galau sepeda
kesayanganku hilang dicolong maling. Gituh.
Jadi, ini sudah
ketiga kalinya aku mengambil mata kuliah Agama Islam.
Ketiga kalinya sodara-sodara!
Ketiga kalinya sodara-sodara!
Aku memandang
kertas berwarna coklat yang para mahasiswa di ISI Surakarta menyebutnya ‘KRS’.
Kartu Rencana Studi. Kalau cuman berencana terus kapan studinya? Hari ini
adalah jadwal kuliah pertamaku sebagai mahasiswa semester 8, dengan mata kuliah
Pendidikan Agama Islam yang seyogyanya diluluskan di semester 1.
Jadi, mulai
hari itu 'sang mahasiswa semester 8' bakal sering bercengkrama dengan mahasiswa
semester 1. Saat itu aku benar-benar
mempertanyakan keadilan hidup.
Langit pagi itu
cerah, angin berhembus kencang dan mengakibatkan daun-daun kering itu
berguguran. Musim kemarau terkadang menjadi musim favorit. Aku berjalan pelan
menuju gedung F dengan muka masam.
Bah sepanjang tahun sejak aku menjadi mahasiswa
tingkat akhir, mukaku memang selalu masam. Apalagi jika melihat sisa SKS yang belum aku
tempuh di kartu KRS. Makin asem, tinggal bawa buah-buahan sama garam, tinggal
diulek semua sama ni muka. Jadi deh rujak buah rasa muka masam mahasiswa
semester lama.
Hampir semua
mahasiswa baru sudah masuk di ruangan nan pengap tersebut. Walau pengap,
ruangan itu sangat ngangenin. Apalagi jika kamu adalah mahasiswa lama yang
jarang kuliah di kampus.
Ruangan itu cukup lebar dan luas. Ukurannya agak lupa. Hal yang paling aku ingat dari ruangan tersebut adalah jendela-jendela kacanya yang dicat warna abu kekuning-kuningan dengan tanda silang cat putih. Sebuah papan tulis berwarna putih kusam berdiri dengan gagah di samping meja dosen.
Ruangan itu cukup lebar dan luas. Ukurannya agak lupa. Hal yang paling aku ingat dari ruangan tersebut adalah jendela-jendela kacanya yang dicat warna abu kekuning-kuningan dengan tanda silang cat putih. Sebuah papan tulis berwarna putih kusam berdiri dengan gagah di samping meja dosen.
Seperti biasa, aku selalu mengambil tempat
duduk paling belakang. Meletakkan tas Consina-ku di kursi perkuliahan dengan
mencatolkannya pada kayu tempat
punggungku bersandar. Aku memandang sekeliling dengan tatapan kosong.
Gila, Aku tidak mengenal satupun mahasiswa di ruangan itu.
Gila, Aku tidak mengenal satupun mahasiswa di ruangan itu.
Aku saat itu
adalah aku yang malas untuk melakukan apapun. Bahkan perkuliahan mata kuliah
Agama Islam itu pun aku enggak yakin bakal bisa lulus atau enggak. Aku bahkan
sudah memikirkan suasana perkuliahan mata kuliah Agama Islam pada tahun
berikutnya.
Sialan. Aku harus benar-benar meluruskan pemikiran burukku ini.
Sialan. Aku harus benar-benar meluruskan pemikiran burukku ini.
Aku
harus menemukan alasan agar aku bisa terus rajin kuliah mata kuliah Agama
Islam. Sebuah alasan yang bisa membuatku bersemangat untuk pergi ke kampus.
Baiklah aku akan
mencoba jatuh cinta dengan salah satu mahasiswi di ruangan ini.
Yak! Sudah
kuputuskan. Aku akan jatuh cinta dengan perempuan berambut pendek itu. Dia
manis, kelihatannya cerewet dan bersemangat. Kurasa sosok itu sudah lebih dari
cukup untuk kujadikan alasan agar aku bisa terus menerus ke kampus untuk
meluluskan mata kuliah Agama Islam yang terus tertunda.
Sebuah alasan yang
konyol.
Begitulah
pertemuanku dengan dia terjadi begitu saja. Kukatakan sekali lagi, Aku akan
jatuh cinta dengan perempuan berambut pendek itu. Semenjak saat itu aku menamai
‘perempuan berambut pendek’ itu dengan sebutan ‘Rabu’.
Kenapa?
Mungkin karena aku selalu jatuh cinta padanya di setiap hari Rabu.
Kenapa?
Mungkin karena aku selalu jatuh cinta padanya di setiap hari Rabu.
Jatuh cinta fiktif yang sudah
aku control dengan logika tingkat dewa.
***
Namanya ‘Rabu’.
Nama yang aneh. Aku tersenyum kecil jika mengingat semua kebodohan mengenai
‘suasana perkuliahan mata kuliah Agama Islam’, Menjuluki seseorang yang bahkan
belum aku kenal namanya dengan nama hari. Mencoba jatuh cinta secara fiktif
sekedar menemukan alasan agar aku bersemangat ke kampus setiap hari Rabu. Dasar
pemuda kribo yang aneh.
Sepertinya pesan singkat itu harus segera kubalas.
Sepertinya pesan singkat itu harus segera kubalas.
Wedangan bu
Gendut perlahan-lahan mulai ramai. Aku berpindah dari kursi depan menuju kursi
kayu samping yang masih kosong. Aku berjalan perlahan, mengambil gelas teh
panasku yang sedikit berkurang dan meletakkannya dengan pelan.
Kusandarkan
punggungku di tembok pagar, memejamkan mataku sejenak sambil memilah dan
memilih kata-kata yang tepat. Enaknya aku bales apa ya?
Tek..tek..tek…
Aku mengetik
pesan itu dengan seksama. Hanya beberapa kalimat. Kupandangi pesan yang kuketik
itu dengan penuh pertimbangan. Kuyakinkan diriku, kupencet tombol send dan voila…
Pesan yang
berbunyi:
“Rahasia, kalau
komiknya udah kelar semua, nanti aku bilangin ke kamu.” Itu akhirnya terkirim.
Pesan itu aku yakin akan melintasi jagad ruang dan waktu meluncur menuju handphone ke gadis perempuan berambut pendek yang dulu pernah kucintai secara fiktif.
***
Aku tiba-tiba
berada di lereng bukit nun jauh di sana. Dia berada di sampingku, gadis
perempuan berambut pendek yang dulu pernah kucintai secara fiktif. Dia memakai jumper berwarna hitam. Kita hanya berdua
saja, menunggu kembang api yang akan dinyalakan di balik perbukitan. langit
malam ini cerah. Kita berdua yakin, sisa-sisa api dari festival kembang api
dibalik bukit pasti terlihat dari tempat ini.
Aku masih saja
memperhatikan pucuk-pucuk daun pinus yang tengah menyelimuti bukit itu dengan
rimbun. Suara pelan dan cukup lirih terdengar, mengejutkanku dan membuatku
menoleh ke arahnya. Dia memandangku perlahan.
“Mas, kenapa sih
kamu menjadikan aku sebagai karakter utama di buku komikmu?”
Aku diam. Sama
diamnya dengan dia saat memandang langit gelap bergradasi biru tua dengan
bercak-bercak bersinar putih yang membuatnya makin anggun malam ini.
“ Ctaaar!!!
Byarrr!!! Byarrrr!!! Prak!!!!! ”
Kembang api
berasal dari belakang bukit itu membuyarkan keheningan kami. Aku bahkan belum
sempat menjawab pertanyaannya.
Kilau kembang
api yang berpijar di malam hari memang benar-benar keren. Aku tersenyum kecil.
Aku rasa aku sudah menemukan jawabannya.
Aku menoleh
kearahnya. Dia memandangku dengan wajah berbinar dan penuh perhatian.
“Dibikin tokoh
komik sama seseorang itu kayak dibikinin lagu cinta sama pacar.”
Aku berkata
kepadanya dengan suara bergetar. Suasana dingin malam itu memaksaku untuk
memasukkan tangan ke jaket tebal ini. Matanya yang bulat menyiratkan tanda
Tanya besar mengenai pernyataanku. Segera saja kuperjelas dengan satu kalimat
spontan.
“ Gregetnya
bakalan nongol kalau sudah selesai :j”
Kata-kataku itu
melintasi jagad ruang dan waktu meluncur menuju alam bawah sadarku dan
membangunkan aku dengan segumpal perasaan hangat di dada.
Mimpi aneh itu membuatku sedikit bimbang mengenai ‘seberapa fiktifkah’ sebenarnya aku mencintai dia?
Mimpi aneh itu membuatku sedikit bimbang mengenai ‘seberapa fiktifkah’ sebenarnya aku mencintai dia?
***
Pagi itu suasana
perpustakaan ISI Surakarta sangat lengang. Sepertinya aku terlalu pagi datang
ke tempat ini. Sudah satu tahun lebih semenjak aku menjadi sarjana dan keluar
dari kampus ini. Perpustakaan ini mendadak menjadi lebih canggih.
Aku menengok
jam dinding di dalam perpustakaan tersebut, baru pukul 09.30 WIB. Masih tersisa
setangah jam lagi sebelum aku bertemu dengan gadis perempuan berambut pendek
yang dulu pernah kucintai secara fiktif.
Aku mengeluarkan
satu buku ‘Proposal Untuk Presiden’ dari tas Consina-ku. Ada sebidang tempat
kosong dibawah ucapan terimakasih. Tugasku kali ini adalah mengisi bidang
kosong itu dengan tanda tangan. Enaknya aku isi apa ya? Berbagai
alternatif ilustrasi dan kata-kata bijak
bersliweran di otak sejak kemarin malam, namun semuanya terlalu norak untuk aku
tulis di buku ini.
Apa ya?
Aku mencoba menginventaris semua ide yang ada.
Apa ya?
Aku mencoba menginventaris semua ide yang ada.
Gimana kalau Gambar aku dan Rabu menghadap
kamera, kami berdua tersenyum. Tangannya mengacungkan huruf ‘v’, sementara aku
sok cool. Di atas kami ada kata-kata bijak “ Bagi dunia, mungkin kamu hanya
seseorang. Namun bagi seseorang kamu adalah dunia”.
Norak. Enggak jadi aku
gambar.
Lanjut ke ide selanjutnya.
Atau gini, Gambar sederhana versi lucid
dream di atas bukit saat menanti kembang api. Keren sih, tapi kayaknya bakal
menjadi gambar yang membingungkan.
Apalagi jika dipasangkan dengan
kata-kata “Dibikin tokoh komik sama seseorang itu kayak
dibikinin lagu cinta sama pacar. Gregetnya bakalan nongol kalau sudah selesai
:j”.
Mengerikaaan!!!! Cari alternative ide yang lain.
Mengerikaaan!!!! Cari alternative ide yang lain.
Apa ya?
Aku mencoba untuk kembali ke niat awal aku membuat komik ini. Media pengingat.
Oh iya, hanya sekedar media pengingat. Tak kurang dan tak lebih. Kedua ide sebelumnya hanya angan-angan kosong dengan balasan penuh harap yang berlebihan.
Aku mencoba untuk kembali ke niat awal aku membuat komik ini. Media pengingat.
Oh iya, hanya sekedar media pengingat. Tak kurang dan tak lebih. Kedua ide sebelumnya hanya angan-angan kosong dengan balasan penuh harap yang berlebihan.
Sekali lagi aku memikirkan segalanya dengan
lebih sederhana.
Kurasa aku sudah menemukan sesuatu yang
ingin aku gambar. Segera saja kucorat-coret halaman ucapan terimakasih itu
dengan pensil.
Sret… sret… sret..
Setelah kurasa sketsa itu cukup mantap, aku
segera menebalinya dengan spidol hitam. Hanya perlu beberapa menit untuk
membuat sketsa itu menjadi tampak jelas dan artistik.
Sekarang aku hanya
tinggal menambahkan satu kalimat yang mewakili perasaan fiktifku Selama ini.
Tidak terlalu sulit.
Aku tersenyum puas.
Aku menutup buku
tersebut dan menunggu dia datang. Menunggu dia datang dan mengakhiri semua
kisah fiktif tersebut.
***
Hari ini Adalah
satu tahun semenjak aku galau di wedangannya Bu Gendut dan satu tahun saat lucid dream itu terjadi. Aku enggak
nyangka komik debutku dengan dia sebagai karakter utamanya bisa kelar dan
bahkan terbit di Toko Buku. Katanya sih bulan Juli bakal mulai menyebar. Aku
bercerita banyak hal di Bab 3.
Bab paling melelahkan dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’.
Bab paling melelahkan dari komik ‘Proposal Untuk Presiden’.
Di bab ini aku melakukan beberapa penelitian. Aku mengirimkan banyak
SMS untuk dia mengenai hal-hal yang bersifat personal. Aku melakukan wawancara
dengan beberapa teman jurnalis dan bahkan aku men-download banyak data untuk
kepentingan logika dunia sang karakter mahasiswi magang. Komik ‘Proposal Untuk
Presiden’ sudah selesai.
Hari ini adalah
lima tahun semenjak aku mengambil Mata Kuliah Agama Islam. Gadis yang kucintai
secara fiktif itu ternyata benar-benar
membuatku bersemangat untuk menyelesaikan Mata Kuliah Agama Islam.
Antara
percaya dan tidak percaya, aku akhirnya lulus Mata Kuliah Agama Islam. Entah
fiktif atau bukan aku tidak perduli. Berkat dia aku bisa lulus Mata Kuliah Agama
Islam. Kalau pengen lebai. Berkat dia aku bisa menjadi Sarjana Seni Men!
Ah sepertinya memang terlalu lebai.
Doi kurasa bakal mrinding dangdut kalau denger aku berteriak-teriak pakai kalimat tersebut.
Ah sepertinya memang terlalu lebai.
Doi kurasa bakal mrinding dangdut kalau denger aku berteriak-teriak pakai kalimat tersebut.
Hari ini. Satu
hari setelah aku beranjak dari sofa berwarna coklat di ruang tamu. Malam ini
suara tadarusan yang kudengar semalam telah hilang entah kemana. Aku masih
terus berjuang untuk menyelesaikan postingan ini. Kopi hitam di mug sudah mulai
mendingin. sedingin masa lalu yang tidak bisa kau ulangi lagi.
Kalau boleh jujur, aku kangen masa-masa itu. Masa-masa dimana aku meletakkan tas Consina-ku di kursi perkuliahan dengan mencatolkannya pada kayu tempat punggungku bersandar.
Kalau boleh jujur, aku kangen masa-masa itu. Masa-masa dimana aku meletakkan tas Consina-ku di kursi perkuliahan dengan mencatolkannya pada kayu tempat punggungku bersandar.
Aku kangen bau pengap ruangan gedung
F, langit cerah pagi itu, angin kering yang berhembus kencang dan mengakibatkan daun-daun
kering itu berguguran. Beneran kangen Men...
Namun yang paling aku kangenin adalah perasaan jatuh cinta tiba-tiba.
Namun yang paling aku kangenin adalah perasaan jatuh cinta tiba-tiba.
Entah fiktif atau dengan siapapun tidak jadi soal.
Hari ini adalah
satu minggu setelah pertemuanku dengan Rabu di perpustakaan ISI Surakarta.
Tidak ada pertemuan yang dramatis. Percayalah, kami hanya ngobrol seperlunya,
menyerahkan komik, kemudian kami berpisah dan melanjutkan hidup masing-masing.
Kalian ingin tahu gambar apa yang aku coretkan di halaman ucapan terimakasih untuknya? Gambar tersebut adalah ilustrasi aku dan dia yang berjalan saling memunggungi. Dia berjalan tersenyum dengan mata terpejam dan aku hanya menoleh dengan tanda Tanya kecil. Di sampingnya ada tulisan cukup kecil, tulisan yang kurasa paling pas untuk cerita aneh nan fiktif kami.
Tulisan itu berbunyi “ Setiap pertemuan memiliki kisahnya masing-masing. Enjoy everything”.
Kalian ingin tahu gambar apa yang aku coretkan di halaman ucapan terimakasih untuknya? Gambar tersebut adalah ilustrasi aku dan dia yang berjalan saling memunggungi. Dia berjalan tersenyum dengan mata terpejam dan aku hanya menoleh dengan tanda Tanya kecil. Di sampingnya ada tulisan cukup kecil, tulisan yang kurasa paling pas untuk cerita aneh nan fiktif kami.
Tulisan itu berbunyi “ Setiap pertemuan memiliki kisahnya masing-masing. Enjoy everything”.
Aku mungkin tidak bisa mengulang
masa-masa perkuliahanku, namun aku akan mencoba untuk mengulang perasaan jatuh
cinta secara tiba-tiba dengan orang lain mulai hari ini.
Psssttt!!!!, kalau kalian juga pernah mendapatkan SMS yang berbunyi:
“Mas, kenapa sih kamu menjadikan aku sebagai karakter utama di buku komikmu?”
segera saja balas dengan pesan: “Itu karena aku naksir kamu, Bego”.
Niscaya akan ada kisah yang berbeda dengan apa yang kalian baca di postingan ini.
Begitulah kisah ‘draft sms’ yang hingga hari ini belum aku hapus.
Dengan terpostingnya tulisan ini aku akan menghapus ‘draft sms’ tersebut dan semoga juga aku bisa menghapus kisah fiktifku dengan Rabu.
Mujix
aku paling suka
ending yang nge-twist
dan tidak tertebak.
apakah kisah aneh ini sudah berakhir?
sepertinya belum
Simo, 30 Juni 2015