megamendungkelabu

Jumat, 16 Februari 2018

Mager

Bogor, beberapa minggu yang lalu. Aku dihadapkan di situasi yang sangat buruk saat menggambar. Psikis hamba kesepian! Sudah satu bulan psikis hamba berada di suatu tempat asing tanpa tersentuh stimulan obrolan kreatif yang bisa memantikkan rasa bahagia dalam berkarya. Sentuh hamba! Belai hamba! Uwuwuwuwuwu!

Kemudian aku tersadar, keadaan yang bernama 'Mager Tingkat Dewa' ternyata sedang menghajarku tanpa ampun! Tanpa banyak basa basi, aku langsung membeli tiket kereta menuju Solo. Kebetulan 2 minggu lagi Ikatan Komikus Solo akan mengadakan pemilihan ketua baru. Sepertinya acara tersebut bakal menyenangkan.

Hah!? Sebentar, sebentar. Mager Tingkat Dewa!? Apaan tuh!? *sambil memicingkan mata ala Jaja Miharja di Kuis Dangdut.

Jadi gini, sepanjang berproses di dunia kreatif (baik itu komik dan yang lainnya), aku bertemu dengan masa-masa di mana tidak bisa berkarya karena 'entah apa'.  Dan ternyata, permasalahan yang sering kusebut 'entah apa' itu, eksis dialami oleh banyak kreator lain dengan sebutan 'Artblock', 'Mager', 'Gabut', 'Bad Mood'
atau 'Attention Deficit Disorder' (istilah keren yang dipopulerkan oleh Richard St John, pengarang buku Eight To Be Great).

Biar aku gak repot ngetik, untuk selanjutnya aku pake kata 'Mager' aja.

Aku menggambar sejak kelas 2 SMP. Dari saat itu sampai detik ini aku sering menemui berbagai 'mager' di berbagai situasi. Setelah berpuasa mendengarkan lagu 'Jaran Goyang'-nya Nella Kharisma selama 3 hari 2 malam, akhirnya aku mendapatkan 'pencerahan'.

Jadi, menurutku, menurut otak kecil primata yang diselimuti rambut kriboku, mager itu bisa diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yang pertama adalah 'Mager Tingkat Kucing', 'Mager Tingkat Manusia', dan 'Mager Tingkat Dewa'.

Mager pertama adalah Mager Tingkat Kucing. Mager Tingkat Kucing adalah sebuah situasi di mana moodmu memburuk saat berkarya namun masih bisa diatasi. Misalnya lapar, haus, galau atau ngantuk. Solusinya jelas, ketika perut kenyang, dahaga sudah binasa, hati sudah penuh rasa cinta, aktivitas tidur sudah melenyapkan rasa kantuk, maka melanjutkan pekerjaan adalah sebuah keniscayaan.

Ini adalah mager paling level paling mudah untuk diatasi.

Mager kedua adalah Mager Tingkat Manusia. Mager Tingkat Manusia adalah sebuah situasi di mana moodmu memburuk saat berkarya namun masih bisa diatasi, tentu saja dengan syarat dan ketentuan berlaku. Misalnya bosen, minimnya inspirasi, perasaan yang penat.

Solusinya tergantung dari kebiasaan kreator. Kalau bosen, ada yang mendengarkan musik, main game, nelpon pacar dan lain sebagainya.

Aku kalau mengalami mager ini biasanya nelpon pacar. Tapi bo'ong, ding. a
Akukan masih jomblo bro! *ceritane promo ben payu.

Dan level mager tingkat manusia ini gampang-gampang susah untuk diatasi, tergantung kamunya.

Mager ketiga adalah Mager Tingkat Dewa. Mager Tingkat Dewa adalah sebuah situasi dimana moodmu memburuk saat berkarya dan sulit untuk diatasi.

Solusi untuk mager yang ini cukup ekstrem. Kamu mau tidak mau harus meninggalkan sejenak pekerjaan dan pergi menenangkan diri. Harus minggat!

Di buku 'Men are From Mars, Woman are From Venus', John Gray memberi petunjuk mengenai bagaimana para manusia  mengatasi 'Mager Tingkat Dewa' dari masa ke masa.

Dari zaman dulu kala, situasi maha kalut  semacam 'Mager Tingkat Dewa' tersebut diselesaikan dengan cara yang berbeda, tergantung dengan jenis kelaminnya. Jika ia wanita, maka para wanita tersebut akan pergi bergosip untuk meluapkan keresahan mereka.

Jadi misteri abadi dari  umat manusia tentang 'mengapa wanita suka bergosip' sudah terpecahkan.

Jika ia pria, maka mereka akan pergi meninggalkan gua hanya untuk menenangkan diri atau berburu serigala dengan gerombolan kawannya. Jadi misteri abadi dari umat manusia tentang 'mengapa pria suka main/nonton sepak bola' juga sudah terpecahkan.

Dan sialnya, berburu srigala di era saat ini sangat tidak relevan dengan perkembangan zaman. Adanya hanya 'Duo Serigala' atau 'Serigala Berbulu Domba'. Dua-duanya susah diburu. Ya okelah, jika tidak ada serigala, setidaknya  aku masih bisa bertemu dan dengan kawan-kawan di luar gua.

Bukan untuk berburu serigala, namun berburu cerita (dan berburu cinta, eak). Mendengarkan cerita dan bercerita adalah solusi yang paling sederhana untuk mengatasi mager tingkat dewa.

Saat keadaanmu sedang melemah dan bertemu dengan kawan-kawan yang membara, saat itulah perputaran dan pertukaran energi terjadi.

Mau curhat soal ide komik, ayok! Mau pamer karya terbaru, boleh! Mau ngebacot  soal pentingnya punya pacar kepada teman yang jomblo, bisa! Bisa dikeroyok bogem mentah.

Dan begitulah. Setelah naik kereta dan berjibaku dengan pegelnya duduk di bangku kelas ekonomi, Beberapa hari yang lalu pertemuan (agak) rutin antar komikus se-Solo raya itu berhasil menjadi ajang kangen-kangenan untuk berkontemplasi mengenal dunia komik secara personal.

Dan tentu saja berhasil menghalau Mager Tingkat Dewa yang menggelayutiku sejak dua minggu lalu. Tunggu sebentar, jadi intinya pria dan wanita sama-sama suka bergosip, dong!?

Mujix
Manfaatkan waktu luangmu sebelum masa sempitmu, manfaatkan masa lajangmu sebelum masa 'digondeli bojo lan anak-anakmu'.
Simo, 22 Februari 2018

Senin, 12 Februari 2018

Penderitaan

Azab karena membeli isi pensil mekanik murahan, menyebabkan seorang komikus berjuang keras menghapus pensil di sketsa komiknya. Tak hanya itu, saat penghapus karetnya habis, ia terpaksa memakai penghapus seadanya. Alih-alih membuat kertas menjadi makin bersih, penghapus tak bernama itu malah membuat kertas gambarnya makin kotor.

Penderitaan komikus itu ditambah dengan banyaknya karakter yang harus digambar di tiap halaman. Jika biasanya hanya ada satu atau dua tokoh utama, untuk projek kali ini tokoh utamanya ada enam! Ada enam, saudara-saudara!! Tambah satu karakter lagi, mereka kalau dikumpulin bisa dipake buat manggil dewa naga Shen Lon.

Belum lagi masalah pengurangan jatah halaman yang membuat alur cerita jadi payah. Solusinya ya memasukkan banyak panel dalam satu halaman. Atau memperbanyak narasi yang membuat komik terlalu penuh. Dua-duanya sama-sama menyebalkan.

Projek komik kali ini seperti jatuh cinta dengan orang yang salah, melelahkan. Dan kau tahu apa yang lebih mengejutkan lagi!? Komik ini belum selesai.

Dan seperti sikap orang-orang yang jatuh cinta (terlepas ia tahu entah benar atau salah) dengan orang yang salah, mereka enggan berhenti dan akan terus mencintai. Hingga habis waktu. Hingga jawabannya ketemu. Hingga jadi komik karya terbaru.

Apakah boleh merasa lelah? Boleh. Jika lelah berjalanlah pelan. Apakah boleh menyerah? Tentu saja. Hidup kau suka-suka kaulah.

Namun untuk seorang komikus yang sedang berjuang keras menghapus sketsa pensil itu, berjalan pelan lebih baik daripada berhenti.

Selamat Hari Komik dan Animasi Nasional, bagi yang merayakan.

Mujix
I love you, you love me.
We are happy family.
Ciyee kakak adikkan, ciyeee.
Bogor, 12 Februari 2018

Rabu, 07 Februari 2018

Rentenir

Siang ini aku menggambar di ruang tamu. Mamak, bapak dan tamunya sedang bergosip di luar. Aku sengaja tidak menyalakan musik agar bisa fokus ke komik yang tengah aku kerjakan. Dari meja gambar ini aku bisa mendengar apapun yang sedang mereka bicarakan di luar.

Mereka (yang didominasi oleh bapakku) ngobrol soal kandang burung murai. Mereka membicarakan soal sang tamu yang ingin pergi ke Solo. Mereka membicarakan mengenai uang. Ngalor ngidul hingga sampai ke tema soal penawaran dana segar dari rentenir.

Mamakku berkisah, pada suatu hari seorang rentenir datang. Rentenir itu menawarkan uang pinjaman beberapa juta. Mamakku menolaknya dengan tegas. Beliau tahu meminjam uang dari rentenir itu mempunyai bunga yang tidak wajar. Mamakku dicecar dengan berbagai hinaan. Namun yang membuat ibuku murka ialah saat sang rentenir mengatakan kalau warungnya yang menjual sayur adalah sampah.

Kemarahan meluap, mamakku lalu bilang walau ini warung sampah, warung ini sudah membuat anak-anaknya menjadi sarjana.

Aku mendengar kisah itu sambil tersenyum haru. Suka atau tidak suka aku dibiayai bisa sekolah setinggi universitas karena orang tuaku berjualan sayur di berbagai tempat. Karena tahu fakta tersebut, aku sangat berhati-hati dalam membuat permintaan. Tidak memiliki komputer, motor alias sarana transportasi, dan keadaan keuangan yang random, kurasa cukup untuk menggambarkan seberapa 'berdarah' masa-masa itu. Aku jadi teringat perjuangan yang berdarah-darah dulu demi mengejar gelar sarjana tidak sia-sia.

Rentenir itu akhirnya pergi dengan sangat dongkol dan malu disemprot mamakku. Mamakku hebat. Aku hampir bertepuk tangan saat beliau mengakhiri ceritanya dengan sangat heroik.

Mujix
Berjalan di jalan pedang. Hampir tergelincir.
Bogor, 18 Mei 2018