megamendungkelabu

Jumat, 12 April 2024

Rombongan Sholat Ied

Entah sejak kapan aku mulai bisa memaklumi sebuah perubahan. Hal ini makin kuat aku rasakan saat berjalan sendirian menuju lapangan untuk sholat Idul Fitri. Untuk pertama kalinya, aku berangkat ke lokasi sholat seorang diri. Apakah itu sesuatu yang spesial? Tidak terlalu, namun patut untuk dijadikan refleksi diri. 

Di sepanjang ingatanku, ritual pergi ke lapangan untuk sholat Ied selalu ada teman, yakni kedua saudaraku, mas dan adik. 

Bapakku penganut Islam kejawen abangan (jangan tanya detailnya, soalnya aku juga tak terlalu paham) yang beribadah dengan caranya sendiri, otomatis tak ikut gabung rombongan kami. 

Ibukku juga hampir sama, bedanya lebih rajin sholat dan beribadah. Hanya saja beliau juga tak pernah ikut sholat Ied. Alasannya sederhana, ibukku menyiapkan berbagai hal seperti camilan dan persiapan perayaan di rumah, otomatis tak ikut gabung rombongan kami.

Tersisa kakakku dan adikku. Mereka selalu menjadi rekan menuju ke lapangan untuk sholat Ied. Hidup berjalan, kakakku sekarang sudah menikah dan hidup dengan keluarganya sendiri di rumah yang berbeda. Otomatis absen dari rombongan sejak beberapa tahun terakhir. Dan begitulah, tahun-tahun setelahnya hanya tinggal aku dan adikku. Berdua saja berjalan menuju lokasi sholat Ied hingga tahun kemarin. 

Iya hingga tahun kemarin. Tahun ini adikku berbuat ulah dengan main judi dan terjebak pinjaman on line. Dua hal tersebut membuatnya penjadi penghutang handal di kampung. Banyak orang terkena imbasnya, yang membuat ia memiliki banyak masalah personal dengan mereka. Alhasil semua hal tersebut memicu untuk membuat adikku enggan (atau malu!?) untuk keluar rumah. Atau setidaknya seperti itu dugaan kasarku. 

Entah benar atau tidak, berbagai macam alasan itu membuat ia tidak mau menjalankan sholat Ied tahun ini. Yah bapakku dan adikku memang sebelas dua belas soal ritual keagaaman. 

Aku memasang muka masam saat ia menolak ajakanku untuk ke lapangan pagi itu. Dan seperti yang aku bilang di awal, aku sudah mulai bisa memaklumi sebuah perubahan. Aku berangkat ke lapangan untuk sholat Ied dengan langkah tegap seperti biasanya. 

Jalanan di lebaran kali ini agak lengang. Aku memang sengaja berangkat belakangan karena malas bertemu banyak orang yang ke lapangan menggunakan kendaraan. Iya bagi sebagian besar orang di kampung ini, mobil atau motor adalah benda wajib yang dipakai untuk mengantarkan mereka ke tempat sholat Ied. 

Banyak kendaraan otomatis kamu harus lebih waspada dengan berbagai skenario insiden merepotkan di sepanjang jalan. Aku sedang malas berjalan dengan rasa was-was, untuk itulah berangkat belakangan adalah solusi. 

Udara pagi ini dingin bersinergi dengan langit mendung abu-abu. Perasaanku gamang. Kala memikirkan jika lebaran kali ini adalah lebaran paling memprihatinkan yang kutemui sejauh ini (ya benar, urusan pinjol, hutang,  dan judi itu benar-benar menguras semua hal di hidupku tahun ini,  yang sialnya masih belum kelar seluruhnya). 

Sebenarnya aku lelah. Sebenarnya aku capek. Namun apa jadinya jika semua keluarga merasa lelah dan capek!? Bapak dan ibukku sudah terpukul bagai sudah jatuh tertimpa tangga. Agar semua tak makin buruk, untuk itulah aku selalu memakai mode 'normal' dan 'I am okay'. 

Pelan dan pasti jalanan kampung ini aku lalui sendiri. Sesekali aku dilewati oleh beberapa orang yang berangkat memakai kendaraan. Terkadang mobil, terkadang keluarga baru yang berboncengan. Tanpa sadar di dalam hati aku membatin 'Sial, kapan ya aku bisa punya mobil, kapan ya aku nikah'. Aku lalu menghela nafas panjang dan terus berjalan. 

Aku iri? Iya aku iri. Beberapa tahun belakangan aku mengijinkan diriku sendiri untuk meluapkan apapun yang aku rasakan dengan sadar. Mau itu rasa iri, sombong, sedih, gembira, bahagia atau rasa apapun. Ya karena aku sadar bahwa aku adalah manusia.

Aku yakin selalu ada maksud dari setiap kejadian. Perjalanan sendiri ke tempat aholat Idul Fitri, problem hutang adikku, rasa iri di hatiku, dan lain sebagainya. 

Kayaknya emang ada alasan kenapa aku masih mengalami apa yang aku alami sekarang. Seberapa penting, seberapa bermanfaat tidak ada yang tahu kecuali Tuhan Sang Pencipta Jagad. Aku mencarinya di sela-sela perjalanan singkat menuju lapangan sholat Idul Fitri kali ini. Apakah bakal ketemu? Entahlah. 

Mujix
Puyeng gak luh!? 
Ya dunia orang dewasa emang keras
Simo, 12 April 2024

Selasa, 09 April 2024

Mamak dan Bapak di Pagi Hari Sebelum Lebaran

Mamak sudah berdandan. Beliau mau ke pasar untuk membeli bahan makanan untuk lebaran. Sekonyong-konyong datang ibu-ibu dari desa seberang. Ia datang buat menagih hutang dari anak sang mamak semata wayang. Tidak ada uang. Hanya ada rasa gamang. Matanya nanar menatap ke depan. Benar-benar lebaran yang tidak mengenakkan. 

Bapak tidak berdandan. Beliau mengepel lantai rumah penuh kotoran. Kepalanya pening memikirkan hutang anak semata wayang. Ia membersihkan lantai rumah demi mamak yang banyak pikiran. Matanya nanar menatap lantai dipan. Benar-benar lebaran yang tidak mengenakkan. 

Aku sedang berdandan. Mamak dan bapak aku ajak berbincang. Lalu kuberi mereka uang. Di mata mamak terdendap banyak pikiran. Di mulut bapak tertahan beberapa tangisan. 

Kukatakan kalau semuanya akan baik-baik saja. Biar semua ditanggung anak semata wayang yang penuh hutang, aku,  dan kakak pertama yang juga tak terlalu sayang. Mataku nanar menatap udara hampa yang gersang. Sial, benar-benar lebaran yang tidak mengenakkan.

Mujix
Bagaimana cara keluar dari berbagai situasi rumit ini ya? Heheheh
Simo, 9 April 2024